Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua PBHI Julius Ibrani menyebutkan perbuatan korupsi tak pernah ada kaitannya dengan gaji ataupun kemiskinan.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suharto, mengakui ada ketimpangan gaji hakim agung dengan hakim di tingkat pertama dan banding.
Sejak 2012, gaji pokok hakim pengadilan tingkat bawah belum naik.
KENDATI mendapat gaji, tunjangan, dan insentif yang besar, sejumlah hakim agung tetap tak tahan dengan godaan korupsi. Contohnya Gazalba Saleh, hakim agung yang dinonaktifkan setelah terjerat dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang penanganan perkara di Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis, 5 September 2024, Gazalba Saleh dituntut jaksa penuntut umum dengan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan. Ia diduga menerima suap sebanyak Rp 37 miliar untuk perkara peninjauan kembali Jafar Abdul Gaffar. Ia juga diduga menerima gratifikasi sebesar S$ 18 ribu serta penerimaan lain senilai S$ 1,12 juta, US$ 181 ribu, dan Rp 9,42 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Gazalba, ada Sudrajad Dimyati, hakim agung pertama yang dipidana karena menerima suap sebesar US$ 80 ribu dalam mengadili perkara Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Pada 30 Mei 2023, hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis kepada Sudrajad pidana penjara 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 3 bulan. Pidana penjaranya kemudian dikurangi setahun oleh hakim Pengadilan Tinggi Bandung.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani menyebutkan perbuatan korupsi tak pernah ada kaitannya dengan gaji ataupun kemiskinan. Menurut dia, tindakan lancung tersebut sudah menjadi karakter manusia, terutama pada birokrat.
"Mau pakai sistem remunerasi, sistem penghargaan jabatan, sistem tunjangan, ataupun sistem gaji yang selangit, itu tidak akan menyelesaikan permasalahan korupsi," tuturnya kepada Tempo, Ahad, 8 September 2024.
Di sisi lain, peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menilai cukup sulit menjustifikasi bahwa perilaku korupsi hakim hanya karena faktor gaji dan remunerasi. "Faktanya, remunerasi hakim pun paling tinggi sejak 2013 dibanding ASN (aparatur sipil negara) lain," tuturnya lewat aplikasi perpesanan.
Menurut Alvin, persoalan korupsi peradilan perlu dipandang lebih sistemik. Ia menilai justru faktor terbesar yang menghambat reformasi yudisial adalah besarnya ruang mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman, baik lewat politisasi seleksi hakim agung, tarik-ulur Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim, maupun minimnya kewenangan pengawasan Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial. "Selain itu, tentu saja krisis integritas para hakim sendiri."
Ketimpangan Gaji Hakim
Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Liza Farihah, melihat ada ketimpangan gaji dan tunjangan hakim agung yang besar dengan gaji hakim di pengadilan tingkat pertama, seperti pengadilan negeri; serta di tingkat banding, yakni pengadilan tinggi.
"Soal THP (take-home pay), yang gede itu hakim agung. Tapi hakim-hakim di pengadilan tingkat bawah menjerit," ucap Liza kepada Tempo.
Ia menuturkan, sejak 2012, gaji pokok hakim pengadilan tingkat bawah belum naik. Belum lagi setiap berapa tahun mereka harus dimutasi atau dipindahkan ke daerah lain, tapi biaya mutasinya selalu kurang. "Sehingga mereka selalu nombok."
Liza menuturkan aturan gaji hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Aturan ini dikeluarkan pemerintah karena para hakim berdemonstrasi pada medio 2011-2012. Setelah itu, ia menilai pemerintah seolah-olah lupa menaikkan gaji hakim di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
"Poinnya adalah gapnya jauh banget antara kesejahteraan hakim agung dan hakim tingkat bawah," tuturnya.
Menurut peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, perlu ada penyesuaian kesejahteraan para hakim, paling tidak, sesuai dengan inflasi.
Selain itu, ia menilai ada ketimpangan di antara pegawai-pegawai lain di lingkungan Mahkamah Agung, yakni antara hakim dan panitera serta antara hakim dan pegawai negeri di pengadilan. Karena itu, Zaenur menyebutkan perlu ada perbaikan struktur kesejahteraan di Mahkamah Agung secara menyeluruh. "Itu butuh political will dari negara," tuturnya.
Perbandingan Gaji Hakim
Juru bicara Mahkamah Agung, Suharto, mengakui ada ketimpangan gaji hakim agung dengan hakim di tingkat pertama dan banding. "Gaji hakim tingkat pertama dan tingkat banding sedang diperjuangkan serta dimohonkan kepada pemerintah untuk naik karena sudah 12 tahun gaji hakim belum naik," tuturnya kepada Tempo, Ahad, 8 September 2024.
Apabila dibanding ASN atau pegawai negeri lain, gaji hakim masih di bawahnya. Khusus untuk hakim agung, gaji Rp 5 juta beserta tunjangan Rp 72 juta sama dengan pejabat negara dari lembaga lain. "Jadi take-home pay bisa Rp 77 juta," ujar Suharto.
Selain gaji tersebut, sejak akhir 2021 ada insentif bagi hakim agung untuk perkara yang diselesaikan dalam waktu 90 hari. Insentif ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Namun ia tak bisa memastikan berapa rata-rata take-home pay hakim agung jika ditambahkan dengan honorarium tersebut.
Dalam sidang suap dan pencucian uang hakim agung nonaktif Gazalba Saleh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Agustus 2024, Kepala Bagian Perencanaan Kepegawaian MA Citra Maulana mengungkapkan honorarium penanganan perkara di Mahkamah Agung jumlahnya bervariasi, dari Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Gaji Hakim Berdasarkan Aturan
Pada bagian lampiran aturan tersebut, terpampang gaji pokok para hakim tingkat pertama di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Hakim dengan golongan III/a memiliki gaji pokok terendah. Hakim dengan masa kerja di bawah satu tahun ini mendapat gaji Rp 2.064.100 per bulan.
Sedangkan yang paling tinggi adalah golongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun. Hakim dengan golongan dan masa kerja ini memperoleh gaji pokok Rp 4.978.000.
Hakim tingkat pertama juga mendapat tunjangan. Paling besar adalah kepala pengadilan kelas IA khusus, yakni sebesar Rp 27 juta. Paling sedikit adalah hakim pratama di pengadilan kelas II, yaitu Rp 8.500.000.
Sedangkan di tingkat banding, kepala pengadilan tinggi mendapat tunjangan hakim Rp 40.200.000. Paling rendah adalah hakim madya muda dengan tunjangan sebesar Rp 27.200.000.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo