Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara: ”Saya Tak Melindungi Atasan”

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGHENTIAN pengusutan- dugaan Jenderal Da’i Bachtiar mendapat uang dari para ter-sang-ka pembobol Bank BNI 46 mendapat sorotan. Banyak yang mempertanyakan sikap yang diambil Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara itu. Kenapa Makbul tak mau memeriksa Da’i? Kamis pekan lalu, wartawan Tempo Erwin Dariyanto me-nemui Makbul di ruang kerjanya un-tuk sebuah wawancara. Petikannya:

Mengapa Anda memutuskan menghentikan penyidikan yang menyebut-nyebut Trunojoyo I dan Bareskrim me-nerima uang?

Kami menemukan barang bukti be-rupa dua kuitansi dari Dicky Iskandar Dinata (Direktur Utama PT Brocollin International, salah seorang ter-dakwa penilapan uang BNI Rp 1,2 triliun). Di sini disebutkan ada uang Rp 8,5 miliar dan Rp 7 miliar yang di-gunakan untuk biaya administrasi dengan kepolisian. Kedua kuitansi ini ditandatangani Adrian Waworuntu. Berarti Dicky sudah menyerahkan ke Adrian. Lalu dia menyerahkan kepada Ishak, salah satu penasihat hukumnya. Ishak beralasan uang itu un-tuk polisi, tapi masuk ke kantong pribadinya. Di sini tidak ada yang menyebut Trunojoyo I.

Pernyataan Anda kok berbeda de-ngan Kepala Polri Jenderal Sutanto sebelumnya?

Maksud Kapolri itu begini, kalau ada informasi baru tentunya diseli-diki. Tapi menyangkut kuitansi, itu sudah selesai. Kalau ada yang baru, ya kami selidiki.

Lalu, kenapa bisa muncul kata-kata ”Trunojoyo I”?

Ini kaitannya dengan pemeriksa-an awal oleh penyidik. Sebenarnya Si-ti Kumalasari tidak tahu kuitan-si itu. Saya tidak tahu kenapa kemu-dian dia sebut Trunojoyo I dan Bareskrim. Bisa saja Kumalasari lupa.

Kesaksian Kumalasari tidak bisa menjadi alat bukti?

Saksi boleh ngomong dan saksi bisa jadi alat bukti apabila lebih dari satu. Jadi, kalau hanya katanya Kumalasari saja, itu bukan kesaksian. Kalau saya tanya ke Kumala, mana kuitansi-nya, dia tidak bisa menunjukkan. Dia cuma pernah melihat. Karena ti-dak didukung saksi lainnya, maka ja-nganlah kita memvonis Trunojoyo I.

Jadi, Trunojoyo I tidak akan di-panggil dimintai keterangan?

Kaitannya tidak ada, buat apa saya memanggil beliau?

Apakah ini bukan berarti Anda -me-lindungi Jenderal Da’i Bachtiar, bekas atasan Anda?

Tidak. Saya membela kebenaran. Sa-ya tidak melindungi atasan, tapi me-nyampaikan kebenaran yang ada. Saya tidak pernah memberikan ke-istimewaan kepada siapa pun.
Atasan Tak Sudi Bersaksi

KOMISARIS Besar Irman Santosa melangkah per-lahan memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Rambut ikalnya yang sudah memutih tampak berantakan. Ia mengangguk memberi hormat kepada majelis hakim yang dipimpin Yohanes E. Binti se-belum duduk di kursi terdakwa.

Kamis pekan lalu, bekas Kepala Unit II Perbankan dan Pencurian Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri ini menjalani persidangan yang ke-14. Pria berusia 54 tahun ini didakwa menerima duit US$ 10 ribu dari Dicky Iskandar Dinata dan 10 lembar cek perjalanan masing-masing senilai Rp 25 juta dari Direktur Kepatuhan BNI Mohammad Arsyad pada 2003. Kala itu ia memang menangani kasus pembobolan bank BNI 46 yang membuat uang negara Rp 1,2 triliun melayang.

Agenda Kamis pekan lalu itu masih sama: mendengar- ke-terangan para saksi. Hingga saat itu, sudah 18 saksi di-ha-dirkan oleh jaksa penuntut umum, di antaranya Ajun Ko-misaris Siti Komalasari (bekas penyidik kasus pembobolan Bank BNI 46), M. Arsjad (mantan Direktur Kepatuhan BNI 46), Tri Koentoro (mantan Kepala Divisi Hukum BNI 46), dan Ajun Komisaris Polisi Aria Devananta.

Sayang, ada satu saksi yang belum bisa dihadirkan di da-lam persidangan. Dialah Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, mantan Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, yang pernah menjadi atasan Irman. ”Padahal, Ismoko saksi kunci dalam kasus ini,” ujar Hironimus Dani, pengacara Irman. Menurut Dani, kehadiran Ismoko di sidang sangat penting. ”Ada banyak hal yang perlu dikonfirmasikan langsung ke dia,” ujarnya.

Nama Ismoko memang kerap dikait-kaitkan dalam kasus ”skandal BNI” ini. Ia, misalnya, disebut-sebut memerintah-kan Irman untuk memeriksa Dicky Iskandar Dinata di Ho-tel Kemang. Juga, memerintahkan Adrian Herling Waworuntu ditahan di ruang penyidik, bukan di sel layaknya seorang tahanan.

Masalah paling penting yang ingin didengar dari Ismoko tentu- saja perihal pengakuan M. Arsjad- di persidangan be-be-rapa waktu- lalu. Ketika itu,- Arsjad -meny-a-takan pernah- memberikan- uang Rp 250 juta un-tuk Irman San-tosa- dan Brig-jen Samuel Ismoko Rp 200 juta. Kini yang -ingin dikorek dari Ismoko untuk apa uang itu dan ke mana meng-alirnya. ”Karena itu, sejak awal persidangan, lewat majelis hakim, kami meminta jaksa penuntut umum menghadirkan Ismoko sebagai saksi,” ujar Dani.

Ismoko tampaknya tak akan hadir dalam sidang anak bu-ah-nya itu. ”Kami menolak hadir sebagai saksi dalam sidang Irman Santosa,” kata Juniver Girsang, kuasa hukum Ismoko. Menurut- Juniver, sesuai de-ngan Kitab Undang-Undang Hukum Acara- Pidana (KUHAP), terdakwa da-lam kasus yang sama dan berkasnya terpisah berhak untuk tidak di-minta kesaksiannnya. ”Ini dilakukan untuk kepentingan diri-nya (Ismoko) sebagai terdakwa,” ujar Juniver.

Ismoko memang sudah jadi terdakwa karena dituduh menerima uang sebesar Rp 225 juta dari BNI saat menangani kasus pembobolan Bank BNI 46 senilai Rp 1,2 triliun. Pro-ses persidangan Ismoko sendiri akan dimulai Selasa pekan ini. ”Karena itulah, ini semua dilakukan agar Irman dan Ismoko tidak saling membebani satu sama lain,” kata Juniver.

Dani tak sependapat dengan Juniver. Menurut dia, -KUHAP tidak mengatur soal keterangan terdakwa yang berlaku hanya untuk terdakwa sendiri. Menurut dia, saksi yang notabene menjadi terdakwa dalam perkara yang sama tetap bisa diminta keterangannya. ”Apalagi Ismoko tidak dalam tugas negara, tempat tinggalnya tidak jauh, ataupun sedang jatuh sakit,” kata Dani. Jadi, kata Dani, tak ada -alas-an bagi Ismoko untuk tidak hadir sebagai saksi dalam kasus Irman Santosa.

Jaksa penuntut umum M.I.F Sihite menyatakan sudah tiga kali meminta hakim agar menghadirkan Ismoko. Bahkan, jika perlu, dengan cara paksa. Menurut Sihite, semua-nya kini tergantung majelis hakim. ”Keputusan memanggil- Ismoko di tangan hakim,” katanya. Sampai persidangan terakhir, ternyata majelis belum memutuskan apakah Ismoko perlu dipanggil secara paksa.

Dani menyatakan akan menghormati apa pun keputusan hakim tentang perlu-tidaknya Ismoko dihadirkan sebagai saksi. ”Tapi, sebelum ada keputusan itu. Sampai detik ter-akhir kami akan terus berusaha untuk menghadirkannya,” katanya. Irman Santosa pun hanya berkomentar singkat perihal keengganan bekas atasannya hadir dalam sidang-nya. ”Mungkin Pak Ismoko tidak enak, seperti saya juga -tidak enak dengan dia,” ujar Irman.

Poernomo Gontha Ridho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus