Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LILIS Lindawati kini tak mau la-gi menyentuh peralatan riasnya. Siang itu pipinya polos tak berbedak. Bibirnya juga tak dipoles gincu. Wajahnya terlihat agak pucat. Satu-satunya yang terlihat menonjol di wajahnya adalah dua garis hitam menyo-lok di kedua alisnya. Perempuan 36 tahun ini memang membentuk kedua alisnya dengan tato. ”Saya tak lagi berdandan, takut nanti disangka pelacur,” ujarnya dengan suara perlahan kepada Tempo.
Ibu dua anak ini masih trauma. Akhir- Februari silam ia ditangkap petugas Ke-tenteraman dan Ketertiban (Trantib)- Pe-merintah Kota Tangerang karena diduga sebagai pelacur. Ia ditangkap di Ja-lan Merdeka di kawasan Pos Gerendeng sekitar pukul 20.00. Saat ditangkap pe-nampilannya memang lain, wajahnya bermake up, memakai kaos berpadu jaket, serta bercelana panjang. ”Mungkin karena saya dandan, saya dituding pelacur,” katanya.
Menurut Lilis, malam itu ia hendak pulang ke rumah dari tempatnya bekerja di sebuah warung makan di kawasan Kali Bokor, Tangerang. Ketika menunggu angkutan umum jurusan Kotabumi, mobil Trantib datang, lalu mengangkut-nya ke kantor Dinas Trantib. ”Saya te-rangkan saya bukan pelacur, tapi mere-ka tak percaya,” ujar Lilis.
Petugas Trantib saat itu memang me-minjaminya telepon seluler untuk mem-buktikan ucapannya. Karena di ru-mah-nya tak ada telepon, ia menghu-bungi te-man suaminya. Tapi, yang ditelepon-nya tak segera mengabarkan penang-kap-annya kepada Kustoyo, suaminya. ”Wak-tu itu hujan lebat dan jarak rumah te-man suami saya ke rumah saya sekitar li-ma kilometer,” katanya.
Sehari dikurung, keesokannya ia disidangkan di halaman Kantor Pemkot- Tangerang. Ia didakwa melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran. Hakim Barmen Sinurat yang mengadil-i Li-lis menyatakan Lilis tak mampu me-nunjukkan identitas dirinya bukan PSK (pekerja seks komersial). Keluarganya pun tak ada yang hadir sehingga tak bisa membuktikan bahwa dia bukan- pelacur. ”Dia sudah diberi kesempatan menghubungi keluarganya, tapi tidak dilakukan,” ujar Barmen kepada Tempo.
Hakim pun menimpakan hukuman- kepada Lilis. Ia diganjar tiga hari ku-rung-an plus denda Rp 300 ribu. Vonis ini tak di-terima Lilis. Kustoyo, yang da-tang belakangan, juga tak rela istrinya- dinyata-kan pelacur. Karena itulah, le-wat- Klinik Hukum Persatuan Advokat In-donesia- me-reka menggugat perdata Pe-merintah- Kota Tangerang. Dalam gugatan yang didaftarkan pada 1 Mei lalu, Lilis menuntut Pemerintah Tangerang membayar ganti rugi terhadap dirinya Rp 500 juta. Itu meliputi kerugian mate-ril dan moral.
Menurut Julianto T. Pakhpahan dari Kli-nik Hukum Persatuan Advokat Indo-ne-sia, ada ketimpangan hukum pada pe-nerapan Perda Larangan Pelacuran i-tu. Penangkapan pelacur, kata Julianto, bi-sa- dilakukan jika betul-betul tertangkap- tangan sedang melakukan praktek pelacuran. ”Jika tidak sedang melacur, tidak boleh ditangkap,” katanya. Jikapun dituding pelacur, kata pengacara ini, harus ada saksi lelaki yang digoda. ”Tidak hanya saksi si penangkap,” katanya.
Rabu pekan lalu, persidangan perda-na kasus gugatan Lilis digelar di Peng-adilan Negeri Tangerang. Lilis tak hadir- dalam sidang yang dihadiri puluhan orang yang datang untuk mendukung atau menolak Perda tentang Larangan Pelacuran itu. ”Dia masih butuh kete-nangan, belum siap menghadapi massa,” kata Julianto.
Majelis hakim meminta kedua belah pihak menyelesaikan kasus ini secara me-diasi dulu. Sebagai mediator, ketua- ma-jelis hakim Joseph Pastra Ziraluo -menun-juk hakim Soeprapto. Tawaran ini diterima kedua pihak. ”Ini sudah -prosedur, kami ikuti saja,” kata ku-asa hukum Pemerintah Kota Tangerang, Rezki Di-ni-ar-ti.
Adapun Kustoyo, setelah penangkap-an istrinya itu, memutuskan pindah kontrakan dari rumahnya di kawasan Pon-dok Jaya, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang. ”Saya khawatir ada- macam-macam terhadap keluarga- saya,” ujar guru SD Negeri V Gerendeng,- Tangerang, ini. Kini mereka menyewa- sebuah rumah petak berukuran 4 x 6 me-ter yang dindingnya separuh tembok- separuh anyaman bambu. Letaknya masih di seputar Sepatan dan harga sewa-nya Rp 175 ribu per bulan.
Soal Lilis berprofesi pelacur juga di-sang-gah keras Cici, adik Lilis. Menurut- perempuan berumur 33 tahun ini, kakak-nya selama ini bekerja di sebuah warung makan dengan upah sekitar Rp 200 sampai Rp 300 ribu per dua minggu. ”Saya yang masukkan dia kerja di sana,” kata-nya. Menurut Cici, sebelum penangkap-an kakaknya tak masuk kerja selama sepekan lantaran Kustoyo sakit. Saat akan masuk kerja, ternyata warungnya sudah tutup. Lalu Lilis pun pulang. ”Saat menunggu kendaraan umum itu ia ditangkap,” ujarnya kepada Ayu Ci-p-ta dari Tempo.
Tapi, Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Pemkot Tangerang, Saeful Rohman, tetap menegaskan Lilis pelacur.- Menurut dia, pihaknya tak sembarang-an melakukan razia PSK. Sebelum beraksi, ujarnya, petugas sudah melakukan pengawasan lebih dulu. ”Kalau tak ada bukti kuat, tidak mungkin seseorang diproses,” katanya. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Tangerang, Erlan Rusnarlan, bahkan mengatakan memiliki bukti-bukti tentang jati diri Lilis yang se-benarnya. ”Bukti-bukti kami jelas, dia PSK,” ujarnya.
Wali Kota Tangerang, Wahidin Halim, juga yakin aparatnya tak main tangkap dalam kasus ini. Menurut Wahidin, -Lilis bukanlah karyawan restoran seper-ti diakuinya. Aparat, ujarnya, sudah me-laku-kan pengecekan ke restoran itu. ”Di sana tak ada karyawan bernama Lilis,” katanya.
Tempo yang menelusuri warung-warung makan di seputar Rawa Bokor Ta-ngerang memang menemukan sejumlah warung di daerah itu yang sudah tu-tup. ”Dulu, itu rumah makan Padang,” ujar Nur-hayati, salah seorang pelayan- wa-rung di daerah itu. Tapi, wanita ini menga-ku tak mengenal ada pelayan bernama Lilis bekerja di sana. ”Kalau ada, saya pasti kenal,” katanya.
Nurhayati, yang mengaku sudah enam tahun bekerja sebagai pelayan warung di Kali Bokor, menyatakan tidak ada di tempatnya penjaga warung bernama Lilis. ”Kami sesama penjaga warung di sini saling mengenal,” katanya.
Apakah Lilis berprofesi PSK? Jawab-an ini pun rupanya sulit didapat. Imas, bekas tetangga Lilis di daerah Gerendeng, tak percaya Lilis pelacur. ”Seper-ti ibu rumah tangga lainnya, dia lebih- banyak di dalam rumah mengurus anak-anaknya,” kata Imas. Imas menge-nal Lilis saat ia dan suaminya tinggal di rumah dinas SD Negeri V Gerendeng. ”Sa-ya tidak pernah melihat dia keluar- malam atau menjadi PSK,” katanya. Da-ri Gerendeng inilah Lilis kemudian pindah ke daerah Sepatan.
Suara lain muncul dari pemilik warung di Sepatan, yang letaknya tak jauh dari rumah Lilis. Kepada Tempo, lelaki- pemilik warung makan itu berujar, ia ke-rap melihat Lilis keluar malam de-ngan berdandan. Lilis, menurut dia, terhitung- jarang bergaul dengan tetangga. ”Kata orang-orang sih dia PSK,” ujar pria itu. Seorang warga lainnya bercerita, Kustoyo bahkan mengenal Lilis pertama ka-li di seputar Jalan Merdeka, tempat sehari-hari Lilis mangkal saat menjajakan diri. Tapi, soal ini dibantah Kustoyo. ”Saya tidak mengenal dia di jalan,” katanya.
Soal Lilis jarang bergaul ini diakui sejumlah perempuan yang pernah menjadi tetangganya di Pondok Jaya. ”Dia jarang kelihatan,” ujar perempuan yang rumahnya berdekatan dengan tempat Lilis dulu mengontrak. Seorang tetangga Lilis lainnya mengaku hanya menge-nal Lilis sebagai istri seorang guru. ”Ta-pi, saya tidak tahu apa aktivitasnya,” ujar perempuan yang rumahnya juga berdekatan rumah Lilis.
Masalahnya, kini semua orang tahu: Lilis dihukum karena dianggap terbuk-ti sebagai pelacur. ”Ini menyakitkan kare-na saya bukan pelacur,” kata Lilis.- Kendati demikian, ia menyatakan akan belajar dari kejadian ini sebagai peng-ala-man berharga dalam hidupnya. Ia ju-ga tak memikirkan gugatannya kepada- Pem-da Tangerang kelak kalah atau me-nang. ”Saya hanya ingin kejadian itu tak me-nimpa orang lain, itu saja,” ujarnya polos.
Lis Yuliawati, Joniansyah (Tangerang)/LRB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo