Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, menolak wacana penerapan hukum rajam serta hukuman ganda bagi pelaku pelecehan seksual di Provinsi Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dari kaca mata HAM, jelas hukuman rajam dari awal kami menolak. Karena ini merupakan bentuk penyiksaan," kata Fatia kepada Tempo, Jumat, 11 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatia menjelaskan, hukuman rajam jelas melanggar Pasal 6 Konvensi Anti Penyiksaan. Rasa sakit yang ditimbulkan dari hukuman ini, kata Fatia, merupakan bentuk penyiksaan.
Menurut Fatia, hukuman rajam merupakan hukuman kuno yang masih digunakan hingga saat ini dengan alasan menggunakan hukum Islam. Padahal, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menghukum seseorang.
Komisi I DPR Aceh sebelumnya mewacanakan penerapan hukuman rajam serta hukuman ganda bagi pelaku pelecehan seksual di provinsi tersebut.
Menurut Ketua Komisi I DPR Aceh Tgk Muhammad Yunus M Yusuf, hukuman rajam serta hukuman ganda bagi pelaku kekerasan seksual bertujuan menimbulkan efek jera maupun pembelajaran agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
Yunus mengatakan pelaku zina dalam Islam bisa dihukum mati. Hukuman rajam, kata dia, merupakan hukuman mati yang dilakukan secara perlahan-lahan. Sedangkan untuk hukuman ganda, ujar Yunus, pelaku selain dihukum cambuk berdasarkan hukum syariat Islam di Aceh, juga bisa dikenakan hukuman pidana.
Menurut politikus Partai Aceh itu, sebelum wacana ini dikembangkan, perlu ada kesimpulan bersama para pihak, yaitu pengadilan negeri, mahkamah syariah, kepolisian, Pemerintah Aceh dan lain-lain. "Tujuannya bagaimana menguatkan pelaksanaan hukuman syariat Islam di Aceh. Jadi, perlu formulasi bagaimana perbuatan pelecehan seksual tersebut mendapatkan hukuman setimpal," kata Yunus.