Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

KontraS Tolak Wacana Penerapan Hukum Rajam di Aceh

Menurut Fatia, hukum rajam merupakan hukuman kuno yang masih digunakan hingga saat ini dengan alasan menggunakan hukum Islam.

11 September 2020 | 10.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Fatia Maulidiyanti Koordinator KontraS 2020-2023 yang menjadi Dewan Juri Udin Award. Foto: KontraS.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, menolak wacana penerapan hukum rajam serta hukuman ganda bagi pelaku pelecehan seksual di Provinsi Aceh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Dari kaca mata HAM, jelas hukuman rajam dari awal kami menolak. Karena ini merupakan bentuk penyiksaan," kata Fatia kepada Tempo, Jumat, 11 September 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fatia menjelaskan, hukuman rajam jelas melanggar Pasal 6 Konvensi Anti Penyiksaan. Rasa sakit yang ditimbulkan dari hukuman ini, kata Fatia, merupakan bentuk penyiksaan.

Menurut Fatia, hukuman rajam merupakan hukuman kuno yang masih digunakan hingga saat ini dengan alasan menggunakan hukum Islam. Padahal, ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menghukum seseorang.

Komisi I DPR Aceh sebelumnya mewacanakan penerapan hukuman rajam serta hukuman ganda bagi pelaku pelecehan seksual di provinsi tersebut.

Menurut Ketua Komisi I DPR Aceh Tgk Muhammad Yunus M Yusuf, hukuman rajam serta hukuman ganda bagi pelaku kekerasan seksual bertujuan menimbulkan efek jera maupun pembelajaran agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

Yunus mengatakan pelaku zina dalam Islam bisa dihukum mati. Hukuman rajam, kata dia, merupakan hukuman mati yang dilakukan secara perlahan-lahan. Sedangkan untuk hukuman ganda, ujar Yunus, pelaku selain dihukum cambuk berdasarkan hukum syariat Islam di Aceh, juga bisa dikenakan hukuman pidana.

Menurut politikus Partai Aceh itu, sebelum wacana ini dikembangkan, perlu ada kesimpulan bersama para pihak, yaitu pengadilan negeri, mahkamah syariah, kepolisian, Pemerintah Aceh dan lain-lain. "Tujuannya bagaimana menguatkan pelaksanaan hukuman syariat Islam di Aceh. Jadi, perlu formulasi bagaimana perbuatan pelecehan seksual tersebut mendapatkan hukuman setimpal," kata Yunus.

Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus