Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ya sudahlah. Kalau nanti ada yang kena tikam, biarkan saja.”
“Aku akan tetap ikut bersidang.”
PERCAKAPAN di aplikasi WhatsApp itu berakhir emosional. Golfried Siregar, si pengirim pesan, menyudahi pembicaraan dengan meminta penerima pesan berhati-hati. Pria 34 tahun itu menyampaikan situasi sudah masuk siaga satu. Apalagi, beberapa hari sebelumnya, paman Golfried memintanya tak ikut bersidang lagi karena akan ada “sesuatu” jika ia tetap melanjutkan niatnya.
Tangkapan layar percakapan yang diper-oleh Tempo tersebut menunjukkan Golf-ried mengirim rangkaian pesan pada 3 Februari 2019. Penerimanya seorang pengurus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara. Waktu itu Golf-ried masih menjadi pengurus Walhi Sumatera Utara. Ia mengundurkan diri dari Walhi dua bulan lalu.
Saat itu, Walhi tengah menggugat izin pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Walhi meminta Pengadilan Tata Usaha Negeri Medan mencabut izin tersebut. “Setelah percakapan itu, Golf-ried dan pengurus Walhi sering menerima ancaman,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara, Amin Multazam Lubis, kepada Tempo, Kamis, 7 November lalu.
Tepat delapan bulan kemudian, di bawah gerimis, Golfried terkapar di pinggir Jalan Tritura, atau biasa disebut underpass Titi Kuning, Medan. Saat ditemukan sekitar pukul 00.55 pada Kamis, 3 Oktober lalu, itu, ia sudah kehilangan kesadaran. Kepalanya remuk. Sepeda motor Honda CBR 150 berkelir merah milik Golfried terjelapak di depannya. Tukang becak motor beserta penumpang yang tengah melintas membawa Golfried ke Rumah Sakit Mitra Sejati, yang tak jauh dari lokasi Golfried ditemukan. Pihak rumah sakit kemudian merujuk Golfried ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan, karena alasan kelengkapan peralatan.
Polisi memeriksa kondisi Golfried saat masih dirawat di Rumah Sakit Mitra Sejati. Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Besar Medan Ajun Komisaris Besar Juliani Prihartini mengatakan polisi menerima laporan kecelakaan lalu lintas di underpass Titi Kuning. Polisi mendatangi dan melihat korban mengalami luka pada mulut, kuping, dan bagian kepala. “Hidungnya pun mengeluarkan darah,” ujar Juliani, Jumat, 11 Oktober lalu. Mereka menghubungi istri Golfried, Resmi Barimbing, dan mengabarkan “kecelakaan” itu.
Golfried meninggal tiga hari kemudian. Selama tiga hari itu, dia tak sadarkan diri. Dokter Rumah Sakit Adam Malik menangani luka parah di kepala Golfried dengan sejumlah operasi. Menurut Resmi, dokter menyebutkan tempurung kepala Golfried sudah rusak berat. “Dokter sempat mengatakan butuh keajaiban dari Tuhan untuk dia bertahan,” kata Resmi sambil tertunduk, Selasa, 5 November lalu.
Setelah Golfried dinyatakan meninggal, polisi mengautopsi tubuhnya. Selain mendapati luka di bagian kepala, dokter menemukan kandungan alkohol di dalam perut Golfried. Mereka juga tak menemukan luka di leher, dada, dan organ vital lain. Hasil visum ini menguatkan keyakinan kepolisian bahwa Golfried mengalami kecelakaan tunggal. “Saat awal kejadian memang dugaan kecelakaan lalu lintas,” ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Andi Rian Djajadi, Rabu, 6 November lalu.
Keluarga dan teman-teman Golfried sesama aktivis tak mempercayai kesimpulan polisi. Mereka menemukan sejumlah kejanggalan di tubuh Golfried. Resmi melihat ada luka lebam di mata kanan Golf-ried. Di sekujur tubuh suaminya tak terdapat luka lecet yang signifikan seperti pada korban kecelakaan lalu lintas di atas aspal. Di celana sebelah kanan terdapat noda tanah. Tempat Golfried ditemukan seluruhnya berlapis aspal dan beton. “Kematiannya masih terasa janggal,” kata Resmi.
Direktur Walhi Sumatera Utara Dana Prima Tarigan meminta polisi merinci penyebab pecahnya kepala sang kolega. Dia juga mempertanyakan alasan polisi yang hanya menyebutkan hasil autopsi bahwa ada kandungan alkohol di lambung Golfried. “Mengapa seluruh hasil autopsi tidak diungkap ke publik? Hanya bagian lambung saja?” tutur Dana kepada Tempo, Kamis, 7 November lalu.
Tak ada satu pun saksi yang melihat Golfried tersungkur di jalan. Polisi memperkirakan kecepatan sepeda motor Golfried saat itu hanya 40 kilometer per jam. “Bagaimana mungkin kepala bisa hancur dengan hanya kecepatan segitu?” ujar Dana.
Resmi masih menyimpan banyak pertanyaan. Saat Golfried masih dirawat, dia sempat melihat hasil roentgen kepala suaminya yang memperlihatkan tengkorak yang rusak. Resmi menerima foto roentgen yang berbeda pasca-kematian Golfried. Di foto itu, tak terlihat bagian tempurung kepala Golfried yang pecah. “Kami tetap perlu kejelasan mengenai kematian Abang,” kata perempuan 31 tahun itu.
Lokasi ditemukannya Golfried Siregar di sekitar underpass Tritura, Kota Medan./TEMPO/ Linda Trianita
KONTRAS Sumatera Utara bersama Aliansi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan (Sikap) menelusuri hari terakhir kematian Golfried Siregar. Koordinator Kontras Sumatera Utara, Amin Multazam Lubis, mengatakan banyak fakta yang tak sinkron antara penyelidikan polisi dan fakta yang mereka temukan. Fakta yang paling mencolok adalah jam kepulangan Golfried dari rumah bibinya, yang biasa dipanggil Mak Tua, di Jalan Bajak 1, Medan Amplas, Medan.
Polisi menyebutkan Golfried beranjak dari rumah Mak Tua pukul 23.55. Sementara itu, sejumlah saksi yang ditemui Kontras dan Sikap mengatakan Golfried pulang sekitar pukul 22.30. “Jeda waktu ini penting untuk bisa mengungkap keberadaan Golfried di malam pembunuhan,” ujar Amin.
Jarak antara rumah Mak Tua dan lokasi penemuan tubuh Golfried hanya sekitar 2 kilometer. Tempo mencoba melewati rute perjalanan Golfried pada malam itu dengan mengendarai sepeda motor yang melaju dengan kecepatan 40 kilometer per jam. Hasilnya, lokasi itu cukup ditempuh dengan waktu 3-4 menit. Artinya, ada rentang waktu yang panjang antara kepergian Golfried dari rumah Mak Tua dan “kecelakaan”.
Golfried berangkat dari rumahnya di Jalan Bunga Wijaya Kesuma, Medan Selayang, menuju rumah Mak Tua pada Rabu, 2 Oktober lalu, sekitar pukul 16.30. Kepada Resmi Barimbing, istrinya, Golfried meminta izin ke rumah Mak Tua karena ingin bertemu dengan kerabat dan teman di sana. Ketika berkuliah, Golfried tinggal di rumah itu. Di lingkungan tersebut, ia memiliki banyak teman.
Golfried berada di sekitar rumah Mak Tua sepanjang malam itu. Ia menerima kunjungan tiga sahabat untuk berdiskusi soal laporan pemutusan hubungan kerja yang dialami seorang teman mereka. Setelah berdiskusi, Golfried pergi ke warung kopi milik Kennedy Silaban yang berada di depan rumah Mak Tua. Menurut Kennedy, Golfried minum kopi dan bermain kartu hingga pukul 22.25. Setelah itu, ia bergeser ke lapo tuak di sebelah warung kopi milik Kennedy. Ricky Manurung dan Adi menemani Golfried meminum tuak di sana. “Saya hanya melihat Golfried meminum seteguk tuak itu,” ucap Ricky, Kamis, 7 November lalu.
Hujan mengguyur Medan malam itu. Dari lapo tuak, Golfried kembali ke warung kopi Kennedy dan berteduh. Saat itu sekitar pukul 22.36. Kennedy, yang melihat Golfried berteduh sendirian sambil mengenakan helm, menawarkan makanan. Tak lama kemudian Golfried beranjak. Kennedy meminta bekas tetangganya itu waspada. “Hati-hati kau, ya.... Licin ini jalan,” kata Kennedy menirukan ucapannya kepada Golfried.
Sikap bersama Tempo menemukan rekaman kamera pengawas (CCTV) milik toko dan bengkel mobil yang berada tak jauh dari rumah Mak Tua. Video rekaman yang ditunjukkan kepada Tempo itu memperlihatkan ada dua pria yang mengendarai sepeda motor jenis matic menunggu di ujung gang sejak pukul 21.37. Salah seorang pria sempat berputar-putar ke jalan lain dengan mengendarai sepeda motor.
Celana yang dipakai Golfried Siregar saat kejadian./ Foto-foto: Dok. Keluarga
Saat video rekaman menunjukkan pukul 22.40, penunggang sepeda motor mirip milik Golfried tampak mendatangi dua pria yang berboncengan di sepeda motor matic. Dalam rekaman terlihat, sepeda motor mirip milik Golfried itu ditunggangi dua orang. Salah seorang pria di sepeda motor matic berpindah ke sepeda motor mirip milik Golfried—sehingga berbonceng tiga. Setelah itu, mereka pergi dengan sepeda motor matic berada di depan sepeda motor mirip milik Golfried.
Itu adegan terakhir yang menjadi petunjuk keberadaan Golfried. Belum ada fakta yang bisa menjelaskan kenapa Golfried membutuhkan 1-1,5 jam dari sekitar rumah Mak Tua menuju lintas bawah Titi Kuning. Tempo bersama Kontras dan Sikap mencari kamera CCTV yang diperkirakan merekam keberadaan Golfried. Dari beberapa lokasi yang didatangi, hampir semua kamera dalam keadaan rusak atau sedang dalam keadaan tidak merekam.
Kamera yang paling memungkinkan merekam detik-detik “kecelakaan” Golfried berada di pos satuan pengamanan kompleks rumah toko Titi Kuning Mas. Jarak kamera dengan lokasi kejadian hanya 20 meter. Tapi kamera itu rusak sebulan terakhir.
Siswanto, anggota satpam kompleks ruko Titi Kuning Mas yang bertugas saat tubuh Golfried ditemukan, mengaku tak mendengar kegaduhan ataupun melihat “kecelakaan” tersebut. Padahal titik Golfried ditemukan terlihat jelas dari jendela pos satpam, yang berjarak sekitar 20 meter dari jalan. Siswanto saat itu berada di dalam pos. “Dari sini bisa mendengar jelas kendaraan yang lewat meski sudah sampai underpass,” ujarnya.
Helm yang dipakai Golfried Siregar saat kejadian. Goresan pada sepeda motor milik Golfried Siregar/ Foto-foto: Dok. Keluarga
Tempo juga mendatangi mes PT Inalum yang berada di sebelah kompleks ruko Titi Kuning Mas. Anggota satpam yang piket pada malam itu, Aris Sitompul, juga mengaku tak mendengar sama sekali dan tak mengetahui ada kecelakaan di sana. Ia memastikan tidak sedang tidur kala itu. “Saya jaga, harus tetap bangun. Tapi tidak dengar apa-apa,” ucap Aris. Di mes ini terdapat CCTV, tapi jangkauannya hanya sampai ke halaman gedung, tidak ke jalan raya.
Siswanto dan Aris justru merasa heran ketika belakangan mengetahui ada kecelakaan di turunan underpass Titi Kuning, yang tak jauh dari posisi mereka berada. Polisi memastikan waktu kejadian “kecelakaan” setelah mendapat keterangan dari Ramli Lubis, pemilik rumah yang berjarak sekitar 70 meter dari lokasi terkaparnya Golfried.
Dinihari itu, Ramli tengah bersama Marhaini Hasibuan, istrinya. Mendengar suara ribut di luar, Marhaini membangunkan suaminya. Ramli bergegas ke luar dan menghampiri keramaian. “Sudah ada sekitar lima orang yang berkumpul,” kata Ramli.
Tak lama kemudian, satu becak motor berisi lima penumpang melintas di seberang jalan. Mereka berputar arah dan mendekati keramaian. Pemilik becak dan tiga penumpang mengantarkan Golfried ke Rumah Sakit Mitra Sejati. Belakangan, polisi menangkap pemilik becak dan dua penumpang yang mengantar Golfried karena mereka mencuri sejumlah barang milik Golfried.
Goresan pada sepeda motor milik Golfried Siregar/ Foto-foto: Dok. Keluarga
Barang-barang tersebut adalah dua unit telepon seluler merek Samsung dan Nokia, laptop, cincin kawin, serta dompet berisi uang Rp 150 ribu. Hampir semua barang sudah ditemukan, kecuali cincin dan telepon merek Nokia. “Pengendara becak dan dua penumpang sudah menjadi tersangka. Satu penumpang lain masih buron,” ujar Komisaris Besar Andi Riani.
Penetapan status tersangka kepada para pencuri itu tetap tak menjawab kematian Golfried. Seorang pengurus Walhi Sumatera Utara mengaku masih menerima ancaman meski tak sesering saat mereka getol menggugat keberadaan PLTA Batang Toru. Golfried, kata dia, adalah pengurus yang paling sering menerima ancaman. “Teman-teman lain sudah banyak yang jiper,” ucapnya.
Selain aktif dalam tim yang beranggotakan 35 pengacara penggugat izin pembangunan PLTA Batang Toru, Golfried melaporkan dugaan pemalsuan tanda tangan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan pembangkit listrik itu ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Laporan itu kandas karena dianggap tak cukup bukti.
Pengelola PLTA Batang Toru, PT North Sumatera Hydro Energy, menolak anggapan kematian Golfried terkait dengan pembangunan pembangkit. “Kami justru mendukung kepolisian bisa mengungkap kematian almarhum seterang mungkin agar PLTA tak dikaitkan lagi,” kata Direktur Komunikasi PT North Sumatera Hydro Energy Firman Taufick kepada Tempo, Kamis, 7 November lalu.
LINDA TRIANITA, MEI LEANDHA (MEDAN), MUSTAFA SILALAHI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo