Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menghentikan penyelidikan kasus dugaan penipuan jual beli mobil McLaren Senna yang dilaporkan pengusaha Tony Trisno. Polisi menyebut kasus tersebut bukan tindak pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Wishnu Hermawan, membenarkan penghentian penyidikan tersebut. Dia menyatakan penghentian penyidikan tersebut dilakukan berdasarkan hasil gelar perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Betul (soal SP3). Itu hasil gelar perkara dengan Irwasum, Divisi Propam, Divisi Hukum, Biro Wassidik, dan penyidiknya,” kata Whisnu saat dikonfirmasi oleh Tempo, Senin, 30 Januari 2023.
Berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan penyelidikan yang dibuat oleh Bareskrim Polri kepada Tony Trisno tertanggal 27 Januari 2023, gelar perkara tersebut dilakukan pada 1 September 2022. Gelar perkara tersebut merekomendasikan kasus dengan Nomor Laporan Polisi tertanggal 12 Juni 2021 yang dilaporkan oleh Tony Trisno ke Bareskrim bukan merupakan tindak pidana sehingga penyelidikannya dihentikan.
“Laporan dengan sangkaan Pasal 378 dan 372 KUHP terkait penipuan, perbuatan curang, dan tindak pidana penggelapan, yang diduga dilakukan terlapor Ian Rian Susanto dihentikan karena bukan merupakan tindak pidana terhitung tanggal 26 Januari 2023,” bunyi surat ketetapan penghentian penyidikan yang dilihat Tempo.
Berdasarkan ketetapan tersebut, Bareskrim menghentikan penyidikan dugaan penipuan terkait pembelian satu unit mobil McLaren Senna warna hitam. Adapun benda sitaan yang disita selama penyidikan dikembalikan kepada yang berhak. Melalui surat ini Bareskrim Polri juga memberitahukan penghentian penyelidikan kepada Kejaksaan Agung RI serta pihak terkait.
Tanggapan kuasa hukum Tony Trisno
Menanggapi SP3 kasus kliennya, kuasa hukum Tony Trisno, Heroe Waskito mengatakan pihaknya sudah mengkonfirmasi menerima pemberitahuan penghentian penyidikan laporan kliennya. Ia mengatakan akan mengambil langkah hukum selanjutnya.
“Kita akan cari upaya hukum lain. Bisa jadi (membuat laporan baru) atau melakukan gugatan perdata. Ini yang masih kami pelajari,” kata Heroe saat dihubungi Tempo.
Selanjutnya, awal mula kasus Tony Trisno vs Ian Rianto Susanto
Kasus ini bermula dari pembelian mobil McLaren Senna oleh Tony Trisno. Dalam wawancara dengan Tempo Oktober lalu, Tony menceritakan dirinya awalnya ditawari Ian untuk membeli mobil yang hanya diproduksi sebanyak 500 buah di dunia tersebut pada akhir 2018, beberapa bulan setelah mobil tersebut diperkenalkan di Geneva Internasional Motor Show. Ian Rian Susanto yang merupakan petinggi PT Mega Performa Indonesia, dealer resmi McLaren di Indonesia.
“Saya ditawarin waktu itu harganya Rp 18,5 miliar,” kata Tony ketika bertemu Tempo di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan, 25 Oktober 2022.
Kedua belah pihak pun sepakat pembayaran dilakukan secara mencicil sebanyak enam kali. Yanto, sapaan Ian, meyakinkan Tony bisa memasukkan mobil tersebut melalui skema import sementara dengan mendapatkan rekomendasi dari pengelola Sirkuit Sentul. Yanto menyatakan bahwa dia akan melaporkan ke pihak bea cukai bahwa mobil yang mengambil nama dari pembalap legendaris Inggris, Ayrton Senna, tersebut digunakan untuk balapan.
Menjelang pembayaran lunas pada April 2019, Tony meminta Yanto untuk mendatangkan mobil itu lebih cepat. Dia bahkan menyanggupi permintaan Yanto untuk membayar biaya ekspedisi sebesar Rp 275 juta.
“Saya bayar, mobilnya datang di Singapura. Mobilnya sudah dikasih stiker semua tanda mobil balap,” kata Tony.
Mobil tak kunjung datang
Setelah menunggu beberapa lama, mobil super yang diklaim memiliki kecepatan maksimal 340 km per jam itu tak kunjung datang. Belakangan Yanto berdalih ada masalah dalam pengurusan fasilitas import sementara mobil tersebut.
“Dia bilang mobil itu sebenarnya bukan jatah Indonesia, tapi jatah UK,” kata Tony. “Dia sempat ngomong jangan bilang siapa-siapa kalau mobil itu beli sama dia.”
Tony pun mulai merasa dirinya dibohongi oleh Yanto. Dia sempat meminta pembatalan pembelian mobil karena sejak awal Yanto tak menyatakan bahwa mobil itu bukan untuk Indonesia. Yanto membujuk Tony untuk tak membatalkan pesanannya itu dengan jaminan keamanan.
“Dia bilang,’Tenang, gue kan bos di sini (McLaren Indonesia). Semuanya aman.’,” kata Tony menirukan pernyataan Yanto.
Kesabaran Tony kembali habis setelah pada Februari 2020 mobil tak kunjung datang. Dia pun kembali meminta agar Yanto mengembalikan uangnya. Kali ini, Tony menawarkan Yanto untuk memotong 30 persen dari uang yang telah dia bayar.
“Jadi saya tawarin cut loss. Tapi dia bilang nggak punya uang,” kata Tony.
Selanjutnya, penjualan kembali mobil McLaren Senna batal dan laporan ke Polda Metro Jaya
Yanto pun menawarkan agar mobil itu dijual ke pihak lain. Pada akhir Februari 2020, Yanto kembali menghubunginya dengan menyatakan ada pihak yang mau membeli mobil itu seharga Rp 12 miliar. Tony menyetujui harga itu dan meminta Down Payment (DP) sebesar Rp 2 miliar.
Yanto berkilah pembelinya baru akan memberikan DP pada 9 Maret 2020. Tony pun mengalah. Sehari sebelum pembayaran DP, Tony kembali menghubungi Yanto. Dia mengingatkan agar uang itu segera ditransfer pada pagi hari.
Pada keesokan harinya, Tony pun mengecek rekeningnya dan tak melihat ada uang masuk dari Yanto. Dia pun kembali menghubungi Yanto dan menanyakan uang DP tersebut.
“Dia bilang belum terima uangnya. Saya WA (Whatsapp) itu sekitar jam 10.00 WIB, saya bilang ke dia, saya kasih waktu satu jam kalau tidak transaksi batal,” kata Tony.
Bukannya mentransfer uang Tony, Yanto justru menagih uang pembayaran mobil lainnya senilai Rp 880 juta. Tony pun emosi. Dia meminta Yanto untuk memotong Rp 888 juta itu dari penjualan mobil McLaren Senna senilai Rp 12 miliar tersebut. Yanto tak terima dengan penawaran Tony dan berkeras meminta pembayaran Rp 880 juta.
“Saya bilang ke dia, ‘Ini kan mobil juga masih di tangan elu.’,” kata Tony menirukan ucapannya kepada Yanto.
Kesal karena terus didesak untuk membayar sejumlah uang, Tony membatalkan niat untuk menjual mobil tersebut. Yanto lantas mentransfer uang DP tersebut ke Tony pada sore hari. Merasa telah membatalkan penjualan itu, Tony kemudian mengembalikan uang Rp 2 miliar itu keesokan harinya.
“Jam 8 pagi saya transfer kembali,” kata Tony.
Tony pun sempat menanyakan perihal pemindahan mobil McLaren tersebut kepada Yanto pada Maret 2020. Tony mengaku mendapat informasi bahwa mobil tersebut sudah tak lagi berada di gudang awal. Yanto tak menyanggupi permintaan Tony dengan alasan aki mobil tersebut soak.
“Jadi mobilnya belum jadi dijual, dia sudah pindahin ke gudang lain,” kata Tony.
Akibat pembatalan kesepakatan itu, Tony mengaku sempat dilaporkan Yanto ke Polda Metro Jaya. Melalui seorang perantara, Tony mengaku dipaksa berdamai dengan Yanto dengan ancaman akan dipidanakan. Takut masuk penjara, Tony pun terpaksa menandatangani perjanjian perdamaian pada Mei 2020.
Selanjutnya, Tony mendapat kabar mobil yang dia beli telah terdaftar di Inggris
Selesai masalah itu, Tony pun terus berupaya agar mobil McLaren Senna itu terjual. Seorang koleganya berhasil mendapatkan calon pembeli yang kemudian terbang langsung ke Singapura untuk mengecek kondisi mobil tersebut. Nyatanya, aki mobil tersebut tak mengalami masalah seperti pengakuan Yanto.
Yang membuat Tony semakin terkejut adalah karena mobil itu ternyata mobil bekas. “Jadi mereka ngecek ke McLaren ternyata mobil itu sudah ter-register (terdaftar) di UK (Inggris). Mobil itu mobil bekas,” kata Tony yang kemudian membatalkan penjualan mobil tersebut.
Kesal karena merasa dibohongi, Tony pun kembali menghubungi perantara yang memaksanya berdamai dengan Yanto. Dia menceritakan kondisi mobil tersebut, namun justru dia disuruh menjualnya kembali ke Yanto.
"“Karena saya tidak mau pusing lagi dengan urusan mobil ini, yaudah saya jual aja lagi ke Yanto Rp 9,5 miliar," kata dia.
Pengusaha di bidang perkapalan tersebut kembali dikejutkan setelah seorang koleganya memberitahukan bahwa mobil itu masuk ke Indonesia. Tony mendapatkan tangkapan layar mobil itu muncul di akun media sosial sebuah bengkel. Hal itu yang kemudian membuat Tony melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri pada 22 Juni 2021.
Tempo sempat mencoba mewawancarai Ian Rian Susanto pada November 2022, namun dia menyatakan sedang berada di luar negeri. Dia sempat berjanji akan memberikan penjelasan jika telah berada di Indonesia, akan tetapi hingga saat ini Tempo tak menerima penjelasan dari yang bersangkutan.
Selanjutnya, penjelasan Penyidik Bareskrim soal penghentian penyelidikan kasus ini
Seorang penyidik yang tak mau disebutkan namanya menyatakan bahwa kasus ini sudah direkomendasikan untuk dihentikan dalam gelar perkara sejak beberapa waktu lalu. Dia membenarkan bahwa penyidik tak menemukan tindak pidana.
“Tapi kami masih harus melaksanakan rekomendasi untuk mengkonfrontir Tony dengan Yanto dulu,” kata dia.
Berdasarkan penyelidikan, menurut dia, mobil ini awalnya memang dikuasai oleh seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Inggris. Orang inilah yang menawarkan McLaren Senna kepada Yanto yang kemudian menawarkan kepada Tony. Dari transaksi ini, Yanto disebut telah mengantongi keuntungan sebesar Rp 500 juta.
“Setelah lunas, ada kendala kan. Istilah mereka jalur Sentul bermasalah,” kata dia.
Berdasarkan pengakuan Yanto, mobil itu tak bisa dimasukkan melalui fasilitas impor sementara karena ada perubahan aturan dari Peraturan Kementerian Keuangan (Permenkeu) No.178 Tahun 2017 ke Permenkeu No.106 Tahun 2019.
Aturan baru itu, menurut penyidik, menyebutkan bahwa barang yang masuk melalui fasilitas impor sementara hanya bisa berada di Indonesia selama 3 tahun. Padahal, menurut penelusuran Tempo, dalam aturan No.178 Tahun 2017 aturan soal batas waktu 3 tahun itu juga telah tertulis dengan jelas.
Bahkan batas waktu tersebut telah ada dalam Permenkeu Nomor 140 Tahun 2007 yang mengatur soal Impor Sementara. Ketiga Permenkeu itu pun merujuk pada Undang-Undang No.17 Tahun 2006 soal Kepabeanan.
Pasal 10D ayat 1 undang-undang tersebut secara tegas mengatakan bahwa, “Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun.”
Kepada penyidik, Yanto mengaku telah menyarankan Tony untuk memasukkan mobil itu lewat jalur resmi, tetapi Tony tidak mau. Si penyidik juga membenarkan bahwa Yanto kemudian berupaya menjual mobil ini ke orang lain berdasarkan perintah Tony. Namun belakangan Tony membatalkan penjualan itu.
“Ini yang kemudian tidak jadi penjualan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya,” kata dia.
Selanjutnya, Polisi anggap kasus ini buka penipuan atau pun penggelapan
Penyidik Dittipideksus Bareskrim tak mau mempermasalahkan soal laporan Yanto terhadap Tony di Polda Metro Jaya tersebut. Alasannya, telah terjadi kesepakatan damai antara Yanto dengan Tony.
Selain itu, penyidik juga menilai kasus ini buka penggelapan atau pun penipuan karena Tony telah secara sah menjual kembali mobil itu kepada Yanto.
“Apakah Yanto menipu Tony? Tidak, si Tony sudah terima mobilnya kok meskipun secara fisik belum. Dia sudah ngecek barang itu di Singapura, dan dia sudah menerima uang dari penjualan itu. Apa yang digelapkan? Penipuan? ,” kata si penyidik.
Soal tudingan bahwa mobil itu merupakan mobil bekas, si penyidik mengaku telah menerima bukti tanda registrasi mobil itu di Inggris dari Tony. Akan tetapi, menurut dia, bukti itu didapatkan secara informal.
Dia mengaku telah meminta Kantor Interpol Jakarta mengirim surat kepada Kantor Interpol Inggris untuk memastikan kebenaran tanda registrasi tersebut. Mereka pun menyatakan telah mengirim surat kepada pihak Bareskrim Inggris agar membantu koordinasi dengan pihak McLaren pusat.
“Tapi sampai sekarang belum ada balasan,” kata dia.
Si penyidik pun mengaku telah menelusuri keberadaan mobil itu di Indonesia. Dia menyatakan mobil tersebut telah dimasukkan secara resmi ke Indonesia oleh Yanto yang kemudian menjualnya ke orang lain.
“Dokumen kepabeanannya lengkap. Kalau memang itu mobil bekas, kenapa bisa masuk ke Indonesia? Kan peraturannya tidak boleh.”
Selanjutnya, Tony Trisno dan kasus Richard Mille dan diagram suap
Nama Tony Trisno sebelumnya mencuat setelah berseteru dengan pihak Richard Mille Indonesia. Dia melaporkan pihak Richard Mille Indonesia karena dianggap melakukan penipuan dalam hal jual beli dua arloji mewah bernilai Rp 77 miliar.
Tony merasa tertipu oleh pihak Richard Mille Indonesia karena diminta mengambil sendiri arloji pesanannya itu di Singapura meskipun merasa membelinya di Indonesia. Sementara pihak Richard Mille berkeras Tony membeli kedua arloji edisi terbatas itu di Negeri Singa.
Bareskrim Polri juga telah menghentikan penyelidikan kasus ini. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Wishnu Hermawan, menyatakan tidak ada tindak pidana dalam kasus ini. Dia menyatakan telah memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa keberadaan kedua arloji itu di Singapura.
"Ada kok di sana, Tony tinggal ambil saja," kata Wishnu dalam wawancara dengan Tempo, 7 November 2022.
Selain itu, nama Tony Trisno juga sempat mencuat dalam dua buah diagram yang muncul pada Oktober 2022. Dalam diagram pertama, Tony disebut menyuap sejumlah anggota polisi agar laporan kasusnya berjalan.
“Saat keluar diagram pertama itu, saya bingung, kok disebut suap. Pas diagram kedua baru benar, saya diperas,” kata Tony.
Kasus pemerasan terhadap Tony Trisno ini pun telah ditangani oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri saat masih dipimpin oleh Irjen Ferdy Sambo, terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Sejumlah anggota polisi telah mendapatkan sanksi dalam kasus ini dan Tony pun telah menunjukkan bukti pengembalian uangnya dari sejumlah polisi yang memerasnya tersebut.
FEBRIYAN| MUH RAIHAN MUZAKKI| HAMDAN CHOLIFUDIN ISMAIL| EKA YUDHA SAPUTRA