Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan lambannya pengusutan kasus teror terhadap Tempo, menunjukkan adanya impunitas pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Direktur LBH Pers Mustafa Layong, mengatakan bahwa kasus ini bukan hanya bentuk intimidasi terhadap satu media, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sudah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri pada Jumat lalu. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut yang jelas. Bahkan, ketika aparat (kepolisian) datang ke kantor Tempo, mereka tidak bisa menunjukkan surat tugas resmi,” ujar Mustafa dalam konferensi pers Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) via Zoom, Ahad, 23 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mustafa, teror kepala babi terhadap Tempo bukan kejadian yang berdiri sendiri. Sebelumnya, kekerasan terhadap jurnalis sudah sering terjadi, tapi sangat sedikit yang berujung pada penegakan hukum yang tegas. Ia pun menyinggung laporan teror yang dialami oleh jurnalis Tempo Hussein Abri Dongoran, yang dua kali mengalami perusakan mobil tapi hingga kini laporannya di Polda Metro Jaya mandek.
“Kami melihat pola impunitas yang terus berulang. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis seolah kebal hukum, karena hingga saat ini tidak ada kasus yang benar-benar diusut tuntas."
Selain itu, Mustafa juga mengkritik pemahaman aparat penegak hukum terhadap Undang-Undang Pers yang masih minim. Dalam proses pelaporan, lanjut dia, LBH Pers mengalami kesulitan karena polisi terlihat belum sepenuhnya memahami bahwa kekerasan terhadap jurnalis bisa masuk dalam tindak pidana serius.
Ia pun menceritakan proses laporan yang masuk ke Bareskrim Polri. Selaku kuasa hukum Tempo, KKJ bersama LBH Pers harus berkonsultasi lama dengan penyidik hanya untuk menjelaskan bagaimana UU Pers bekerja.
Pukul 10.30 WIB, kata dia, mereka membuat laporan di Mabes Polri. Kemudian istirahat salat Jumat dan dilanjutkan hingga pukul 16.30 WIB. Ia menjelaskan ada banyak proses konsultasi dan berdebat dengan aparat penegak hukum soal UU Pers. "Teman-teman APH, polisi, belum begitu memahami atau bahkan belum mengenal UU Pers yang melindungi kerja-kerja jurnalistik. Kesannya pasal 18 bukan pasal pidana," kata Mustafa.
Terlebih, sehari setelah melapor, kantor Tempo kembali dikirimi 6 bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Ia menilai, seolah pelaku tidak takut dengan ancaman hukum. "Mungkin mereka yakin tidak pernah ditangkap."
Sikap aparat yang lamban ini, menurut Mustafa, bisa semakin memperburuk kondisi kebebasan pers di Indonesia. KKJ bersama LBH Pers mendesak Mabes Polri untuk segera mengusut tuntas kasus ini. Mereka juga menuntut transparansi dari pihak kepolisian dalam menangani kasus-kasus serupa agar kekerasan terhadap jurnalis tidak terus berulang.