Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI kurus itu menolak mentah-mentah ketika Tempo menitipkan surat permohonan wawancara. "Jangan di sini. Saya diperintahkan tidak menerima tamu ataupun surat," katanya dari balik gerbang rumah dua lantai di Jalan Taman Bendungan Jatiluhur I Nomor 9, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Penolakan serupa ia lontarkan kepada pegawai Mahkamah Agung yang sore itu datang mengantarkan surat untuk Royani, si pemilik rumah. Kurir berbaju batik itu membawa surat panggilan dari Badan Pengawas Mahkamah Agung. "Kan, sudah saya bilang, enggak bisa," ujar pria yang mengaku pembantu keluarga Royani itu, seraya membanting pintu.
Royani sehari-hari bekerja sebagai sopir Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Ia menjadi sorotan karena diduga terhubung dengan jaringan suap yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Nama Royani muncul pertama kali pada 29 April lalu, dalam daftar pemeriksaan saksi kasus suap yang melibatkan Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Sampai panggilan kedua awal Mei lalu, Royani selalu mangkir.
Pada Kamis pekan lalu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menemui Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. Pembicaraan mereka antara lain soal pencarian Royani, yang tiba-tiba raib. Pimpinan KPK curiga ada yang sengaja menyembunyikan Royani. Menurut pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak, Royani salah satu kunci untuk membongkar mafia peradilan di Mahkamah Agung. "Ada yang tak ingin dia bersaksi karena bisa memberatkan posisinya," kata Yuyuk.
Penyidik KPK menangkap Edy Nasution ketika menerima suap dari pegawai swasta bernama Doddy Aryanto Supeno pada medio April lalu. Keduanya ditangkap di tempat parkir Hotel Acacia, Kramat, Jakarta Pusat. Penyidik KPK menyita tas kertas motif batik berisi uang Rp 50 juta dari tangan Edy. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, suap untuk Edy diduga bermotif pengaturan peninjauan kembali perkara perdata di Mahkamah Agung. Duit itu bagian dari komitmen Rp 500 juta untuk Edy. Sebelum menyerahkan Rp 50 juta, Doddy memberikan Rp 100 juta kepada Edy pada Desember tahun lalu di tempat yang sama. "Di belakangnya ada kasus besar yang kerap disebut gunung es," ujar Agus.
Seorang penegak hukum mengatakan suap-menyuap ini antara lain berkaitan dengan pendaftaran peninjauan kembali oleh PT First Media atas putusan Pengadilan Arbitrase Singapura yang memenangkan Grup Astro. First Media, anak usaha Grup Lippo, harus membayar ganti rugi kepada Grup Astro sebesar US$ 230 juta dan Rp 6 miliar. First Media balik menggugat Astro, tapi ditolak sejak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai Mahkamah Agung. Putusan arbitrase bersifat final. "Kalau ada permainan, di tingkat PK bisa saja lolos," kata si penegak hukum.
Setelah menangkap Edy Nasution, penyidik KPK bergerak cepat menggeledah empat lokasi. Salah satunya rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir V, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dari rumah jembar tersebut, KPK menyita tiga tas hitam berisi uang dan beberapa kardus dokumen. Hari itu juga KPK meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah Nurhadi ke luar negeri.
Penegak hukum lain mengatakan Royani adalah kunci pembuka selubung suap yang diduga melibatkan pejabat Mahkamah Agung. "Dia operator yang mengambil uang suap," ucap penegak hukum di lembaga antirasuah tersebut. "Royani tahu banyak pergerakan Nurhadi," ujarnya.
Menurut Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, Royani adalah pegawai di bagian sekretariat kepaniteraan. "Tapi sesekali menjadi sopir Pak Nurhadi," katanya. Badan Pengawas Mahkamah pun sudah berkali-kali mengirimkan surat ke rumah Royani. Namun hasilnya nihil. "Kami terbuka untuk membantu KPK mencari dia," ujar Hatta.
Ketua rukun tetangga di Bendungan Hilir, Budi Ar Siregar, menuturkan, Royani dan keluarganya hampir sebulan meninggalkan rumah mereka. "Enggak tahu pada ke mana," kata Budi. Istri Royani, Nur Aini Harahap, sesekali mendatangi rumah itu. "Biasanya tak sampai 30 menit, lalu pergi lagi."
Menurut Budi, Royani yang berstatus duda dua anak menikahi Nur Aini, janda dua anak, tujuh tahun lalu. Rumah yang kini mereka tempati warisan dari orang tua Aini. Tetangga mengenal bapak Aini sebagai juragan toko kelontong. Keluarga Aini membeli rumah tersebut pada 1990-an. Menurut Budi, rumah dengan luas di atas tanah 100 meter persegi itu harga pasarnya kini sekitar Rp 4 miliar.
Sebelum tinggal di Bendungan Hilir, Royani tercatat bermukim di Jalan Raya Pos Pengumben, Jakarta Barat. Kamis pekan lalu, Tempo menyambangi rumah toko dua lantai itu. Seorang penyewa menyebutkan ruko itu dulu milik orang tua Royani. Setelah orang tua Royani meninggal, tempat usaha tersebut diwariskan kepada kakak Royani. Penyewa yang minta namanya tak disebutkan ini mengatakan Royani tinggal di salah satu rumah toko itu sebelum istri pertamanya meninggal.
Ada enam unit ruko yang dibangun orang tua Royani. Setiap ruko ukurannya sekitar 20 meter persegi. Dulu Royani tinggal di ruko yang diapit toko ban dan warung kelontong AA Ujang. Menurut penyewa ruko lain, petugas Mahkamah Agung dan KPK pun beberapa kali mendatangi tempat ini.
Karena Royani tak kunjung memenuhi panggilan, KPK membentuk tim khusus untuk melacak jejak dan menjemput paksa dia. Tim ini sudah memetakan beberapa tempat yang kemungkinan besar menjadi tempat persembunyian Royani. "Kami menyiapkan strategi khusus," ujar Yuyuk Andriati.
Royani mulai bekerja di Mahkamah Agung pada 2000. Lulus sekolah menengah atas, ia menjadi pegawai golongan II-A. Royani naik golongan III-A setelah mendapat gelar sarjana dari Universitas Terbuka, dua tahun lalu. Kenaikan pangkat Royani, menurut beberapa pegawai Mahkamah Agung, tak lepas dari rekomendasi Nurhadi.
Setelah naik golongan, gaji Royani di Mahkamah Agung sekitar Rp 6 juta per bulan. Gaji bulanan Royani tak sesuai dengan nilai transaksi dan saldo di empat rekening bank miliknya yang terpantau penegak hukum. Sepanjang 2010-2013, Royani berkali-kali menyetor tunai Rp 100-600 juta. Pernah satu kali Royani menyetor uang tunai Rp 3 miliar ke rekeningnya sendiri.
Sebagian uang tak lama ngendon di rekening Royani. Ia tercatat berkali-kali mentransfer uang ke rekening lain. Salah satunya ke rekening istri seorang pejabat Mahkamah Agung sebesar Rp 600 juta. Tapi tak semua uang tandas. Menurut pantauan terakhir penegak hukum, di rekening Royani masih tersisa uang sekitar Rp 7 miliar.
Setelah diperiksa KPK pada Selasa pekan lalu, Nurhadi mengatakan tak ada aliran suap dari Edy Nasution dan kawan-kawan untuk dirinya. "Enggak ada," ucap Nurhadi singkat. Ia juga menyangkal jika disebut menyembunyikan Royani. "Ada di kantor kok orangnya," katanya sambil masuk ke mobil Nissan X-Trail yang menjemputnya.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, membantah celetukan Nurhadi yang menyebut Royani ada di kantor. Biro Kepegawaian Mahkamah Agung bahkan menyiapkan sanksi bagi Royani yang absen hampir satu bulan. Hatta Ali mengatakan sudah meneken surat pemecatan Royani pada Kamis pekan lalu.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengibaratkan Royani sebagai keping puzzle terpenting untuk merangkai gambaran mafia peradilan. "Paniteranya kan sudah ada. Puzzle lain juga sudah disusun, tinggal beberapa lagi," ujar Agus. "Kalau sudah lengkap, ketahuan deh pelaku utamanya."
Syailendra Persada, Linda Trianita, Muhamad Rizki, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo