Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Loyo karena Status

Enam tahun berdiri, Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman seperti macan ompong. Keberadaannya tengah dikaji Lembaga Administrasi Negara.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG berlantai lima di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, itu terlihat lengang. Tak tampak kesibukan di gedung yang dulu merupakan kantor Bank Danautama itu. Gedung merah marun itu juga tak berpapan nama layaknya sebuah kantor. Kesan tak terawat terpancar kental dari gedung itu. Catnya mulai memudar dan rumput di halamannya tumbuh liar tak terurus.

Inilah kantor Komisi Hukum Nasional atau lebih dikenal dengan KHN. Dua pekan lalu, saat Tempo menyambangi kantor komisi yang menempati lantai tiga dan empat itu, suasana ”kurang darah” juga terpancar di sana. Tak ada seorang tamu pun yang terlihat di ruang tamu yang luasnya hanya seukuran 2x3 meter persegi itu. Suara ”berisik” layaknya sebuah kantor juga tak terdengar. ”Ramainya suasana pada Selasa dan Rabu karena hari itu ada rapat,” ujar Vera, salah seorang pegawai KHN.

Didirikan di era Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000, Komisi Hukum Nasional mempunyai tugas penting. Menurut Keputusan Presiden No. 15/2000 tentang lembaga ini, KHN bertugas memberikan saran kepada presiden dalam hal kebijakan hukum. Saat Gus Dur menjadi presiden, anggota komisi ini memang kerap dipanggil ke Istana. ”Diminta masukan soal hukum,” ujar Jacob Elfinus ”J.E.” Sahetapy, pakar hukum pidana yang memimpin komisi ini sejak didirikan enam tahun silam.

Kendati saat itu anggaran dari pemerintah tak mengalir lancar, toh masalah dana tak jadi kendala. Itu karena adanya kucuran duit dari lembaga donor seperti The Asia Foundation, The Open Society, Civil Society Support and Strengthening Program (CSSP), dan Partnership for Government Reform. Kucuran dana ini membuat komisi itu aktif melakukan penelitian-penelitian tentang hukum.

Tapi ”era sejahtera” ini berlalu dengan cepat. Setelah Gus Dur lengser, peran komisi ini mulai redup. Presiden Megawati emoh meliriknya. ”Sama sekali tak digubris,” ujar Sahetapy. Kini, pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, komisi ini bisa dibilang sudah menjadi macan ompong. Kerjanya tak lebih dari sekadar mengirim rekomendasi. Menurut Sahetapy, sejak era Megawati, komisinya sudah mengirim sekitar 30 rekomendasi ke presiden, seperti peningkatan peran biro hukum pemerintah, program legislasi nasional, dan rekrutmen hakim karier. Rekomendasi itu lebih banyak masuk laci ketimbang dipakai. ”Hanya dipakai sebagian,” ujar Sahetapy.

Kepada Tempo, seorang karyawan lain berbisik, tanda-tanda kantornya mulai kurang darah terjadi sejak 2003. Ketika itu bantuan dari lembaga donor mulai mandek. Akibatnya, beberapa proyek penelitian ikut berhenti. Lalu, gaji karyawan pun dipangkas. Peneliti junior, yang sebelumnya bergaji Rp 2 juta per bulan, kini hanya Rp 1 juta. Gaji karyawan pun praktis tak berubah sejak empat tahun silam. ”Akibatnya, banyak karyawan yang pindah,” ujar karyawan itu.

Jumlah karyawan Komisi Hukum Nasional kini memang terus menyusut. Dulu lebih dari 35 orang, sekarang tak lebih dari 25 orang. Selain bekerja di sini, kebanyakan mereka juga memiliki pekerjaan sampingan. Status mereka pun bukan pegawai, tapi bekerja dengan sistem kontrak. ”Jadi, kalau KHN bubar, ya bubar saja,” kata Sahetapy.

l l l

SETALI tiga uang adalah wajah Komisi Ombudsman Nasional. Komisi yang juga dibentuk saat Gus Dur berkuasa ini nasibnya sama seperti Komisi Nasional: loyo. ”Bagaimana mau ada kegiatan kalau dana dari atas seret?” ujar seorang karyawan kepada Tempo yang menyambangi kantor itu, Senin dua pekan silam.

Menempati rumah berlantai dua di Jalan Adityawarman, Jakarta Selatan—persis di belakang Markas Besar Polri—kantor komisi ini seperti bukan sebuah kantor. Satu-satunya ”penanda” adalah sebuah ruang di depan yang disekat kaca, difungsikan sebagai ruang administrasi, serta adanya seorang satpam.

Seperti Komisi Hukum Nasional, tugas komisi ini juga penting: mengawasi pelayanan lembaga hukum, seperti kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan. Saat berdiri pada 2000, komisi ini banjir pengaduan. ”Sebagian besar tentang lembaga peradilan,” ujar Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman Nasional. Dalam setahun, menurut Antonius, Komisi Ombudsman rata-rata menerima seribu pengaduan.

Dari jumlah tersebut hanya sekitar 30 persen yang layak ditanggapi. Tanggapannya berupa rekomendasi yang dikirim ke lembaga yang diadukan. ”Tapi, yang langsung menanggapi rekomendasi Komisi Ombudsman kecil, lebih banyak yang menyatakan sedang diproses,” ujar Antonius. Dia mengakui masih banyak instansi yang belum paham tugas komisinya. ”Penghargaan untuk komisi ini masih kurang.”

Seperti Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman pun kini mengandalkan dana operasional mereka dari Sekretariat Negara. Tahun lalu anggaran lembaga ini Rp 9 miliar, kini melorot jadi Rp 6 miliar. Itu pun keluarnya seret. ”Akibatnya, gaji kami juga sering terlambat, tanggal 20 baru dibayar,” ujar seorang karyawan.

l l l

KOMISI Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman adalah sejumlah lembaga yang kini keberadaannya sedang ”dite-ropong” dan dikaji Lembaga Administrasi Negara (LAN). Menurut Kepala LAN Sunarno, banyak lembaga nonstruktural yang tidak efektif dan tidak efisien karena tugasnya sama dengan lembaga lain. Dalam waktu dekat, menurut Sunarno, pihaknya akan menyerahkan hasil kajian lembaganya ke pemerintah. ”Biar pemerintah yang mempertimbangkan, dipertahankan atau dihapus lembaga itu,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, setuju dengan pendapat Sunarno. Menurut dia, pemerintah dan DPR harus turun tangan ”meluruskan” tumpah-tindih yang terjadi di sejumlah lembaga hukum. Komisi Hukum Nasional, ujar Denny, mempunyai wewenang yang sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Sedangkan Komisi Ombudsman wewenangnya tumpang-tindih dengan Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Kalau tidak efektif, lebih baik komisi seperti itu dibubarkan,” ujar Denny.

Suara lain datang dari anggota DPR Ferry Mursidan Baldan. Menurut Ferry, penyebab munculnya masalah ini adalah pemerintah kerap memakai keputusan presiden (keppres) untuk melahirkan lembaga baru. ”Kalau dasarnya undang-undang, mandatnya jelas,” katanya. ”Soal anggarannya pun akan jelas,” tambah Ferry. DPR, menurut Ferry, telah meminta pemerintah mengerem diri, tidak royal membentuk komisi baru.

Sahetapy dan Antonius mafhum penyebab mandulnya lembaga mereka lan-taran status pendiriannya yang hanya ”berkelas” keppres. Karena itu, mereka berharap dasar hukum pembentukan komisi mereka ditingkatkan jadi undang-undang. ”Kalau landasan hukumnya kuat, derajat kepatuhan aparat terhadap Komisi Ombudsman akan meningkat,” ujar Anton.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus