Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas selembar kasur tipis yang usang, Hardi Tsugumol terbaring di dalam sel. Jika ingin bersandar di dinding, tiga bantal lusuh dia ganjalkan di sekitar punggungnya. Tanpa disangga bantal, tubuhnya melorot, ambruk. ”Badan saya sudah lumpuh,” ujarnya lirih.
Tubuh Hardi, 34 tahun, salah satu terdakwa kasus Timika, sudah berubah drastis dibanding saat dia digelandang ke tahanan Markas Besar Kepolisian, Jakarta, pada Januari 2006. Ketika itu dia masih segar-bugar. Bersama tujuh rekannya ia diterbangkan ke Jakarta untuk diadili. Mereka didakwa sebagai pelaku pembunuhan berencana warga Amerika Serikat dan warga Indonesia di kawasan mil 62-63 Timika, Papua, akhir Agustus 2002.
Kawasan itu merupakan jalur utama keluar-masuknya kendaraan proyek pertambangan emas milik PT Freeport. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana. ”Hanya polisi, tentara, dan karyawan Freeport yang boleh lewat,” kata Jansen Sihaloho, pengacara delapan terdakwa itu.
Sejak awal, delapan pesakitan ini menolak disidangkan di Jakarta. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mereka melakukan gerakan tutup mulut. Hardi paling keras menyatakan penolakannya. ”Ia yang paling gagah,” kata Anita Asterida, jaksa yang menangani kasus ini.
Beberapa kali mengikuti persidangan, tubuh Hardi mulai lemah. Tim pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) sempat beberapa kali meminta pada hakim agar Hardi disembuhkan dulu. Permintaan ini tak digubris. Akibatnya, suatu malam pertengahan Mei lalu, Hardi ambruk. Teman-temannya di tahanan panik. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Polisi Kramat Jati, Jakarta Timur. ”Itu pun setelah kami mendesak penjaga,” ujar Pendeta Ishak Onawame, 54 tahun, rekan Hardi—terdakwa dalam perkara serupa.
Tim dokter menyatakan dia menderita komplikasi penyakit TBC dan hepatitis akut. Dokter memutuskan mengeluarkan cairan dan darah kotor yang terdapat di paru-parunya. Selain menemukan dua penyakit itu, dokter juga memvonis pria ini terkena HIV (human immunodeficiency virus). Tapi perawatan di rumah sakit polisi tidak menyembuhkan dirinya. ”Pulang dari sana, ia lumpuh,” ujar Ishak.
Di ruangan selnya—yang diisi pula oleh tahanan kasus-kasus lain—tubuh Hardi kian loyo dihajar penyakit. Tadinya, dia dan rekan-rekannya masih dapat menikmati satu-satunya hiburan di ruangan itu: sepasang televisi 21 inci. Namun, sepulang dari rumah sakit, mata dan telinga Hardi berangsur-angsur tak berfungsi. Kini, sebuah benjolan sebesar telur puyuh muncul di dekat rahangnya. ”Sakit sekali,” ujarnya kepada Tempo. Sepasang matanya meremang, tak lagi mampu melihat dengan jelas.
Tim pengacaranya amat prihatin dan sudah melaporkan kondisi sang klien kepada majelis hakim. Tak ada jawaban. Menurut Anita, dokter tak bisa memprediksi sampai kapan Hardi bisa bertahan melawan hepatitis dan TBC. ”Perlu penelitian lebih lanjut dengan mengirim sampel darah terdakwa ke Hong Kong atau Jepang,” ujar Anita mengutip surat tim dokter. Biayanya memang mahal.
Rekan-rekan Hardi juga mengirim surat ke majelis hakim, minta Hardi diberi perawatan khusus. ”Ia harus sembuh dulu kalau kami mau disidangkan,” kata Ishak. Dua pekan lalu tim pengacaranya melayangkan pula surat ke majelis hakim. Mereka mengingatkan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mewajibkan majelis hakim memberikan perawatan kepada terdakwa sampai sembuh.
Nah, mengenai soal pemeriksaan sam-pel darah, penggiat masalah HIV/AIDS, Baby Jim Aditya, menyatakan tak perlu sampai ke luar negeri. Menurut Baby, hal itu dapat dilakukan di Rumah Sakit Cip-to Mangunkusumo, Jakarta. Biayanya juga murah. ”Jika mau gratis, bisa dilakukan di Rumah Sakit Dharmais,” ujarnya. Walau berstatus terpidana, menurut Baby, Hardi berhak mendapat pelayanan kesehatan. ”Ini soal hak asasi.”
Alih-alih mendapat perawatan, masa tahanan Hardi di Mabes Polri diperpanjang oleh pengadilan tinggi dari 10 Oktober sampai 8 November 2006. Keluhan kondisi tahanan Mabes Polri yang tidak nyaman juga disampaikan rekan Hardi lainnya. Menurut Antonius Wamang, setiap hari ia dan rekan-rekannya diteror sekelompok tahanan lain. ”Beberapa waktu lalu kami sempat baku hantam,” ujar Antonius.
Aksi teror itu sudah dilaporkan ke polisi dan hakim. ”Mereka dari kelompok teroris,” kata Wamang. Menurut dia, teror sudah mengarah pada ancaman pembunuhan, dan sudah pula diadukan—walau belum ditanggapi. Kini, Wamang dan rekan-rekannya bergiliran setiap malam untuk berjaga. ”Kami minta pindah dari sini. Kami tidak mau mati di sini,” katanya.
Wakil Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Anton Bahrul Alam menyatakan teror itu tidak mungkin terjadi. ”Di sana itu ada yang jaga,” katanya kepada Tempo pada Rabu pekan lalu. Meski begitu, ia memberikan jaminan keamanan kepada delapan terdakwa dari teror itu.
Ternyata bukan soal kesehatan dan teror saja yang membuat gundah para pesakitan kasus Timika. Keputusan jaksa mencabut dakwaan soal kepemilikan senjata dipertanyakan tim pengacara mereka. Sebelumnya, delapan tersangka itu dijerat pasal pembunuhan dan kepemilikan senjata. Dalam berita acara pemeriksaan bahkan dicantumkan barang bukti, antara lain puluhan butir peluru tajam senjata SS1 buatan Pindad, selongsong peluru, dan magasin. Dan terdakwa mengaku sudah siap membuka perihal senjata itu di pengadilan.
Eh, saat sidang digelar, jaksa hanya mendakwa mereka melakukan pembunuhan berencana. Pada pertengahan Oktober lalu Antonius Wamang dituntut 20 tahun penjara. Tujuh terdakwa lain dituntut 6 hingga 9 tahun penjara. ”Senjata itu hanya alat untuk melakukan pembunuhan,” Anita memberikan alasan.
Menurut Ketua Persatuan Bantuan Hukum Indonesia Johnson Panjaitan, penghilangan pasal kepemilikan senjata itu bermotif lain. Yakni, menghindari pencarian si pemilik senjata yang sebenarnya. ”Karena itu, persidangan ini tidak memberikan jawaban atas motif, jaringan, korban, dan konteks peristiwa penembakan, kecuali mengorbankan yang paling lemah,” kata Johnson.
Maria Hasugian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo