Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji materi tersebut diajukan oleh E. Ramos Petege, seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Sidang pengucapan putusan digelar di MK pada Selasa, 31 Januari 2023. Dalam amar putusan, MK menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Lantas, apa saja alasan MK menolak uji materi tersebut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Relasi agama dan negara dalam perkawinan
Dilansir dari situs mkri.id, MK menyatakan bahwa kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat dalam perkawinan. Itu sebabnya melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum.
2. Perbedaan penerapan HAM di Indonesia
MK mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) sebagai hak yang diakui oleh negara Indonesia. Hak tersebut tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun begitu, MK menilai HAM yang berlaku di Indonesia harus sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.
Meskipun Universal Declaration of Human Rights (UDHR) telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia untuk menerapkan HAM, MK menilai penerapan HAM di tiap-tiap negara harus disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial, dan budaya rakyat di negara masing-masing, termasuk soal perkawinan beda agama.
3. Perbedaan UDHR dan UUD 1945
Berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, ada dua hak yang dijamin, yaitu “hak membentuk keluarga” dan "hak melanjutkan keturunan”. Lebih lanjut, pasal tersebut mengatur "perkawinan yang sah" merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Hal itu berarti perkawinan bukan diletakkan sebagai hak, melainkan prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Itu sebabnya dalam konteks perlindungan hak untuk menikah, MK menilai ada perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945. Dalam hal ini, MK tetap menitikberatkan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara. Meskipun begitu, MK menyebut tak akan mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR.
HAN REVANDA PUTRA