MESTINYA Tumbuh, 35 tahun, yang masih nona itu bersenang-senang
bersama keluarga dan sanak familinya Tapi taunya ia berhadapan
dengan maut. Lima orang yang menyebabkan kematian nona Tumbuh,
dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta di awal
minggu kedua bulan Jun ini. Ceritanya, demikian.
Di hari Raya Idul Fitri, di tahun 1972, Tumbuh bertolak dari
desanya. di Sitran, Kelurahan Sumberarum, Kecamatan Moyudan,
Kabupaten Sleman. Dengan mengenakan rasukan (baju kebaya),
sinjang (kain) serta payung di tangan, ia berhalal bi halal
dengan sanak familinya di Sejati Dukuh, lalu ke Kelurahan Duren
dan selanjutnya bermaksud menemui kemenakannya di Sentolo, di
Kabupaten Kulon Progo. Tapi entah bagaimana, bukannya Sentolo
yang ia injaki namun ia ada di Wetan Progo, di Desa Bakal Dukuh,
Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Nona Tumbuh sesat. Hari itu
sudah jam 19.00, tanggal 9 Nopember. Bukan familinya yang ia
jumpai tapi bala yang mengancam. Kedatangannya di malam hari di
dea itu disambut dengan keroyokan. Ia dikira "duyung" atau
seorang wanita yang suka melarikan anak.
Lurah serta Ketua Dukuh dan Kepala Keamanan setempat yang
menerima laporan adanya wanita aneh itu, tanpa fikir dan tanpa
usut kebenarannya memberikan tanggapan yang justru mendapat
tafsiran yang lain dari orang kampung yang melapor. "Nek yo
duyung dikecegi wae", kata Lurah, yang kalau di Indonesiakan:
kalau itu duyung diikat saja. Maklum orang desa yang sukar
membedakan mana itu instruksi dan mana ucapan biasa, pokoknya
tugas dijalankan. Oleh lima orang penduduk yang masing-masing A
alias S, K, P, Twh dan Tgm, mulai mengikat nona Tumbuh.
Mula-mula ke batang kuweni, lalu diteruskan ke kursi kayu
menggunakan tali plastik dan rotan. Sementara itu P menghantam
lagi tengkuk perempuan itu dengan sepotong besi. Tapi matinya
Tumbuh, menurut visum dokter, karena kelemasan akibat terlalu
lama dikebat. Sedangkan Mukardi, kakak korban, nampaknya
meragukan visum tersebut karena menurutnya di bagian belakang
Tumbuh ada pukulan yang membekas.
Membunuh Kambing
Rupanya atas dasar visum itulah, Pengadilan Negeri Yogya
membebaskan para terdakwa dari tuntutan primer: yaitu
pasal-pasal KUHP tentang pembunuhan. Tapi terbukti pada tuduhan
subsider yaitu melakukan penganiayaan yang mengakibatkan orang
lain meninggal dunia. Terdakwa-terdakwa S, 40 tahun, dan K, 30,
kebagian penjara masing-masing satu tahun, lalu P, 25, kebagian
yang paling gede 1 tahun 3 bulan, Twh, 30, dapat 8 bulan, dan
Tgm, 28 dihukum 6 bulan penjara. Semuanya potong tahanan. Hanya
P yang ditahan sejak 19 April 1976, sedang lainnya sejak 1
April (tahun itu juga).
Keputusan ini tidak jauh berbeda dari tuntutan jaksa sebelumnya.
"Korban bukanlah orang gila, tapi lemah ingatan", begitu kata
Jaksa A. Slamet SH yang tentunya berdasarkan visum. Begitu palu
Hakim Ketua Majelis, Suyono SH menyentuh bibir meja, tinggal
langkah lunglai para keluarga korban yang meninggalkan ruang
sidang yang sebelumnya dengan tekun mendengarkan hakim
membacakan keputusannya sambil bersipu di lantai jubin. "Sangat
ringan", ujar Mukardi, "sama dengan hukuman membunuh kambing".
Selama sidang, para terdakwa pun tidak puas kalau Lurah, Dukuh
dan Keamanan daerahnya itu dianggap suci dalam peristiwa ini,
sebab menurut mereka pejabat inilah yang jadi pegangan mereka
dalam bertindak. Jaksa A. Slamet, dari Kejaksaan Negeri Bantul
menjanjikan untuk juga menuntut Lurah serta Dukuh dan Keamanan
termaksud, segera setelah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini