Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bisakah Pelecehan Seksual Lewat Manipulasi Foto Dipidanakan

Seorang anak diduga menjadi korban pelecehan seksual. Pelaku merekayasa foto korban seolah-olah hanya mengenakan pakaian dalam.

28 November 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang anak perempuan penyandang disabilitas berusia 12 tahun diduga menjadi korban pelecehan seksual.

  • Foto korban direkayasa seolah-olah hanya memamakai pakaian dalam.

  • Pelecehan seksual melalui media elektronik tergolong tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik.

HALO, pengasuh Klinik Hukum Perempuan. Beberapa waktu lalu, saya membaca berita Tempo.co tentang seorang anak perempuan penyandang disabilitas yang berusia 12 tahun diduga menjadi korban pelecehan seksual. Adapun bentuk pelecehannya adalah memanipulasi foto korban seolah-olah perempuan dewasa yang hanya mengenakan pakaian dalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam berita itu disebutkan pelaku adalah rekan kerja ibu korban. Ia menggunakan artificial intelligence (AI) untuk merekayasa foto korban. Ibu korban yang tidak senang atas perbuatan pelaku kemudian melaporkannya ke polisi. Namun laporan itu ditolak dengan alasan perbuatan tersebut tidak termasuk tindak pidana pelecehan seksual. Apalagi pelaku tidak pernah menyentuh korban. Polisi justru menyarankan ibu korban melaporkan adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya bingung terhadap respons polisi yang menerima laporan tersebut. Sebagai perempuan, saya tentu khawatir. Sebab, manipulasi foto melalui AI yang bernuansa seksual ini akan menjadi ancaman bagi kami, kaum perempuan. Kami akan terus menjadi korban, sedangkan pelakunya tidak bisa dijerat hukum.  

Benarkah perbuatan pelaku itu tidak bisa dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)? Saya berharap mendapat penjelasan yang masuk akal.  

Terima kasih.
Jihan, Jakarta.

Jawaban:

Halo, Jihan. Terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami juga merasa prihatin atas kejadian yang menimpa korban yang terhitung masih belia. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan lebih dulu mengenai artificial intelligence yang kami rangkum dari berbagai sumber. 

AI adalah kecerdasan buatan atau kecerdasan artifisial. AI merupakan teknologi yang dirancang untuk membuat sistem komputer yang mampu meniru kemampuan intelektual manusia. AI juga disebut sebagai media sintetis, media yang dipersonalisasi, konten yang dipersonalisasi. Dalam bahasa sehari-hari bisa disebut deepfake, yaitu istilah umum untuk sebuah proses produksi, manipulasi, dan modifikasi data secara otomatis. Teknologi ini menggunakan algoritma kecerdasan buatan untuk mengubah bentuk asli ke bentuk baru dengan tujuan menyesatkan orang. 

Dalam kasus yang ada ceritakan, foto korban dimanipulasi tanpa izin dan secara tidak patut. Foto hasil rekayasa itu akan menyesatkan orang yang melihatnya sehingga korban merasa malu dan direndahkan martabatnya. Karena itu, manipulasi foto ini adalah salah satu bentuk kekerasan seksual atau pelecehan seksual nonfisik yang dilakukan melalui media elektronik. Dalam bahasa hukum disebut kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Secara umum, KSBE ini biasa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan secara verbal, melalui gerakan tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas. Tindakan atau perbuatan ini dapat dilakukan melalui media sosial, e-mail, atau pesan online, dan media sintetis atau AI.

Berdasarkan UU TPKS, pelecehan seksual yang dilakukan melalui media elektronik dapat digolongkan sebagai tindak pidana KSBE yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS sebagai berikut:

Setiap orang yang tanpa hak: melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UU TPKS, selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya, hakim wajib menetapkan besaran restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 tahun atau lebih. Terhadap ketentuan tersebut, pada kasus-kasus tertentu yang diproses di pengadilan, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak (apabila pelaku adalah ayah dari korban) atau pencabutan pengampunan (apabila pelaku adalah wali dari korban), pengumuman identitas pelaku, dan/atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.

Kekerasan seksual berbasis elektronik ini merupakan delik aduan. Dengan demikian, pelaku dapat diproses secara hukum apabila korban sendiri yang melaporkannya. Namun, apabila korban adalah anak penyandang disabilitas, laporan bisa diwakili oleh orang lain, misalnya orang tua, kerabat, ataupun masyarakat yang mengetahui kejadian tersebut.

Dalam kekerasan seksual nonfisik, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa perbuatan pelaku harus memenuhi unsur “menyentuh korban secara fisik”. Apalagi dalam Pasal 5 UU TPKS diatur mengenai "perbuatan seksual secara nonfisik" yang berbunyi: 

Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik.

Kekerasan seksual nonfisik merupakan perbuatan pelaku terhadap korban tanpa harus ada sentuhan fisik. Misalnya, dalam bentuk gerak tubuh atau aktivitas lain yang tidak patut. Manipulasi foto menggunakan AI yang mengarah pada tubuh dan seksualitas korban termasuk di dalamnya. Dengan demikian, dalam proses hukum, konstruksi yang digunakan adalah UU TPKS. 

Ihwal penggunaan UU ITE dalam kasus ini, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, berpendapat perbuatan pelaku terhadap korban bukan sebatas penyalahgunaan media elektronik, melainkan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), yang merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual. Bila menggunakan UU ITE, perbuatan pelaku yang dipidanakan hanya peristiwa penyebaran foto. Padahal sudah ada unsur kekerasan seksual terhadap korban sebagaimana diatur dalam UU TPKS. Pendapat Ai Maryati ini dimuat dalam pemberitaan Tempo.co pada 18 November 2024.

Dengan demikian, dapat kami simpulkan, dalam kasus ini, UU ITE bisa saja digunakan untuk menjerat pelaku. Namun fakta adanya pelecehan seksual tidak boleh dikesampingkan. Penerapan hukum harus dapat memberikan rasa keadilan dan jaminan dalam penanganan, perlindungan, serta pemulihan korban. Perbuatan pelaku mengakibatkan korban harus menanggung beban trauma berat dan malu berkepanjangan.  

Dengan begitu, apabila aparat penegak hukum menerapkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE pada kasus ini, harus dihubungkan dengan Pasal 14 ayat (1) UU TPKS, atau dalam teori hukum ditulis menjadi Pasal 27 ayat (1) UU ITE juncto Pasal 14 ayat (1) UU TPKS. Rumusan lengkapnya adalah perbuatan pelaku telah secara tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum dan pelecehan seksual nonfisik terhadap anak korban dengan memanipulasi foto tidak patut melalui AI.

Juncto (sering disingkat jo) adalah istilah hukum yang digunakan untuk menghubungkan dua peraturan perundang-undangan, seperti pasal atau ketentuan-ketentuan lainnya. Juncto dapat digunakan untuk mengaitkan pasal-pasal dalam satu peraturan perundang-undangan, atau untuk menghubungkan undang-undang yang satu dengan yang lain.

Demikian penjelasan kami, Jihan. Semoga dapat memberikan pencerahan dan manfaat. Diharapkan juga anak yang menjadi korban bisa mendapatkan keadilan dan perhatian dari aparat penegak hukum. Sudah semestinya aparat penegak hukum menggunakan UU TPKS agar dapat menjamin penanganan, perlindungan, pemulihan, dan restitusi kepada korban.

Sri Agustini 
Advokat Probono LBH APIK Jakarta

Setiap Kamis dwimingguan, Tempo dan Konde.co bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Koalisi Advokat Keadilan Gender, serta Kalyanamitra menyajikan rubrik khusus untuk menjawab persoalan hukum perempuan. Kali ini tentang korban kekerasan seksual yang sering dikriminalisasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus