Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di kursi terdakwa, Dharmadas Narayanan tertunduk lesu ketika jaksa membacakan tuntutan atas dirinya. "Terdakwa kami tuntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dikurangi masa tahanan," ujar jaksa Paridi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.
Menurut jaksa, Dharmadas telah menggunakan surat kuasa palsu yang dapat merugikan PT Wisma Karya Prasetya, anak perusahaan grup Texmaco milik Marimutu Sinivasan, hingga ratusan miliar rupiah. Jenis kejahatan itu diatur Pasal 263 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukumannya maksimal enam tahun penjara.
Seusai sidang, Dharmadas, 62 tahun, mengaku kecewa terhadap tuntutan jaksa. Kata dia, surat kuasa itu ia terima dari orang-orang kepercayaan Marimutu. Surat itu ia teken di depan notaris dan banyak saksi. Dharmadas pun kerap menerima surat kuasa dengan cara serupa sejak 2004.
Protes juga disampaikan Dewi Dharmadas, istri Dharmadas, yang selalu menemani suaminya selama sidang. "Suami saya hanya pekerja," ujar Dewi. "Ini rekayasa untuk memasukkan suami saya ke penjara."
Dharmadas bergabung dengan grup Texmaco pada 4 November 1995. Dia meniti karier sebagai manajer di PT Polysindo Eka Perkasa, salah satu anak perusahaan Texmaco penghasil benang dan serat polimer. Tiga tahun kemudian, Dharmadas dipromosikan menjadi General Manager Power Plant and Utilities PT Polysindo.
Meski berstatus karyawan PT Polysindo, Dharmadas bertanggung jawab atas pengoperasian dan perawatan pembangkit listrik tenaga gas milik PT Wisma Karya. Pembangkit ini memasok energi listrik dan uap untuk PT Polysindo serta semua perusahaan di Kompleks Industri Texmaco, Karawang.
Ketika krisis ekonomi melanda pada 1998, grup Texmaco pun limbung. Dengan kredit macet sebesar Rp 29 triliun, semua perusahaan di bawah bendera Texmaco masuk pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Terbelit urusan utang, Marimutu Sinivasan hengkang ke India. Dia masuk daftar buron Interpol sejak 30 Juni 2006. Di Indonesia, Marimutu meninggalkan dua perusahaan yang kembang-kempis: PT Polysindo, yang dinyatakan pailit pada 2005, dan PT Wisma Karya, yang terus merugi.
Sewaktu Marimutu di luar negeri, pada pertengahan Maret 2006, Dharmadas dipanggil Sankaran Sundararaman ke kantor pusat PT Wisma Karya di lantai 10 gedung Sentra Mulia, Kuningan, Jakarta Selatan. Dharmadas mengenal Sankaran sebagai pejabat divisi legal grup Texmaco dan orang kepercayaan Marimutu Sinivasan.
Waktu itu Sankaran menyodorkan selembar surat kuasa berkop PT Wisma Karya. Surat bernomor 06/WKP/L.D/III/06 tanggal 13 Maret 2006 itu dibubuhi meterai dan tanda tangan mirip milik Marimutu Sinivasan. Dalam surat itu, Marimutu memberikan kuasa kepada Dharmadas untuk meneken power supply agreement, loan agreement, dan perjanjian lain dengan investor. Tanpa meminta dulu konfirmasi kepada Marimutu, Dharmadas meneken surat kuasa itu.
Pada 14 Agustus 2006, Dharmadas kembali dipanggil ke Sentra Mulia. Kali ini, di samping Sankaran Sundararaman, hadir notaris Dewantari Handayani dan sejumlah pegawai PT Wisma Karya. Dharmadas diminta meneken tiga dokumen perjanjian: servicing loan agreement, sale and purchase agreement, dan power utility agreement.
Dalam servicing loan agreement, PT Wisma Karya meminjam dana US$ 1,74 juta kepada Damiano Investments BV asal Belanda. Bunganya 15 persen per tahun. Dana itu untuk pemeliharaan turbin dan mesin pembangkit listrik PT Wisma Karya. Adapun sale and purchase agreement berisi penjaminan suku cadang terpasang kepada Damiano. Sedangkan power utility agreement berisi perjanjian jual-beli listrik dan uap antara PT Wisma Karya dan PT Polysindo mulai 2006 sampai 2013.
Sebelum meneken perjanjian, Dharmadas kembali disodori surat kuasa berkop PT Wisma Karya bernomor 06/WKP/LD/VII/06 tanggal 28 Juli 2006. Meski nomor dan tanggalnya berbeda, isi surat kuasa itu sama persis dengan surat terdahulu. Dalam surat itu pun ada tanda tangan mirip punya Marimutu Sinivasan.
Disaksikan notaris dan beberapa pegawai PT Wisma Karya, Dharmadas meneken tiga perjanjian, mewakili PT Wisma Karya. Adapun pihak Damiano diwakili Sankaran Sundararaman. Sedangkan Polysindo diwakili Vasudevan Ravi Shankar, menantu Marimutu Sinivasan.
Tiga bulan kemudian, pada 16 Agustus 2006, Dharmadas kembali meneken perjanjian. Polysindo memberikan pinjaman kepada Wisma Karya sebesar Rp 36,2 miliar. Pinjaman itu, menurut Dharmadas, untuk menutupi berbagai dana talangan yang dibayarkan Polysindo, antara lain buat membayar gaji karyawan dan tunggakan pajak.
Sebelum meneken perjanjian itu, Dharmadas disodori lagi surat kuasa (dua lembar) bertanggal 13 Maret 2006. Nomornya sama dengan surat kuasa pertama. Bedanya, wewenang yang diberikan kepada Dharmadas diperluas dan dirinci hingga sembilan poin, meliputi semua kegiatan operasional perseroan.
Setelah status buronnya dicabut Markas Besar Kepolisian RI, pada Mei 2008, Marimutu Sinivasan pulang ke Tanah Air. Dia berkali-kali memanggil Dharmadas dan bertanya seputar kondisi perusahaan. Sejak Marimutu pergi, memang banyak yang berubah. Komposisi kepemilikan saham di Polysindo, misalnya. Sebelum perusahaan itu dipailitkan pada 2005, Marimutu adalah pemegang saham mayoritas. Melalui PT Multikarsa Investama, dia menguasai 59,8 persen saham.
Sewaktu Marimutu Sinivasan kembali, saham dia di Polysindo telah tergerus utang yang dikonversi menjadi saham. Saham Multikarsa tinggal 5,2 persen. Sisanya, 56 persen, dikuasai Damiano dan 37 persen dimiliki publik. PT Polysindo pun telah berganti nama menjadi PT Asia Pacific Fibers Tbk.
Dharmadas mulai terkaget-kaget ketika Marimutu Sinivasan mengungkit-ungkit surat kuasa. Pada 27 September 2010, di depan pengacara dan notaris, Dharmadas diminta meneken surat pernyataan. Dia diminta menyatakan tak pernah bertemu dengan Marimutu ketika meneken surat kuasa pada 2006. Dharmadas pun diminta mengaku tak pernah menerima surat kuasa itu langsung dari Marimutu.
Anehnya, pada 29 Maret 2010, Dharmadas kembali diberi surat kuasa. Kali ini dia diminta mewakili Wisma Karya memperpanjang kontrak jual-beli gas dengan Perusahaan Gas Negara. Pada Agustus 2011, Dharmadas pun menerima salinan statement of consent, release, and discharge (pernyataan persetujuan, pelepasan, dan pembebasan). Dalam surat berbahasa Inggris itu, Marimutu Sinivasan menyebutkan bahwa surat kuasa yang ia berikan kepada Dharmadas sebelum tanggal itu sifatnya legal, sah, dan mengikat.
Ternyata urusan surat kuasa tak selesai di situ. Pada 20 Februari 2012, Marimutu Sinivasan melaporkan Dharmadas ke Badan Reserse Kriminal Polri. Marimutu menuduh Dharmadas menggunakan surat kuasa palsu untuk membuat berbagai kontrak yang merugikan PT Wisma Karya hingga Rp 591,84 miliar.
Dharmadas pun menjadi tersangka. Pada 14 Oktober 2014, kejaksaan menahan dia di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Karena riwayat penyakit jantung serta jaminan pengacara dan istrinya, status Dharmadas berubah jadi tahanan rumah.
Di persidangan, dalam surat dakwaannya, jaksa mengemukakan hasil uji laboratorium forensik Bareskrim Polri tanggal 10 Mei 2012. Tim forensik menyebutkan tanda tangan pada surat kuasa tanggal 18 Juli 2013 "non-identik" atau "berbeda" dengan tanda tangan Marimutu Sinivasan.
Pada 12 Januari lalu, ketika bersaksi di persidangan, Marimutu Sinivasan berkukuh tak pernah memberikan surat kuasa kepada Dharmadas. Marimutu pun membantah membuat surat release and discharge. Meski begitu, ketika dicecar ketua majelis hakim Nani Indrati, Marimutu mengakui bahwa uang yang dipinjam Dharmadas masuk ke rekening Wisma Karya. "Ya, uang diterima," ucap Marimutu.
Seusai sidang tuntutan, Marimutu Sinivasan membuka motif dia melaporkan Dharmadas. Kata dia, Dharmadas dan kawan-kawan telah merampas perusahaan miliknya. "Target setelah putusan, perusahaan kembali ke saya," ujar Marimutu.
Jajang Jamaludin, Hussein Abri Yusuf
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo