Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UAP panas keluar dari pipa setinggi sekitar dua meter di dekat perkebunan teh lereng Gunung Patuha, Jawa Barat. Mesin dari pembangkit listrik tenaga panas bumi proyek Patuha Unit 1 itu telah "bekerja" sejak Oktober tahun lalu. Menghasilkan daya 55 megawatt, listrik itu digunakan Perusahaan Listrik Negara untuk kebutuhan listrik di wilayah Jawa Barat.
Proyek Patuha Unit 1 merupakan hasil kerja sama Geo Dipa Energi dengan kontraktor Marubeni Corporation dan Matlamat Cakera Canggih. Proyek ini pernah mangkrak hampir tujuh tahun. Padahal, awalnya, proyek ini ditargetkan beroperasi mulai 2007.
Penyebab mangkraknya adalah sengketa antara PT Geo Dipa Energi dan PT Bumi Gas Energi. Geo Dipa merupakan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang pembangkit listrik panas bumi (geotermal), sedangkan Bumi Gas pemenang tender proyek Patuha Unit 1 sesuai dengan perjanjian tahun 2005. Sengketa ini sudah sampai Mahkamah Agung dan lembaga itu telah mengeluarkan dua putusan peninjauan kembali (PK) atas sengketa tersebut.
Tapi bukan berarti "perang" itu selesai. Pada 3 Desember 2014, Geo Dipa mengajukan permohonan peninjauan kembali atas dua putusan peninjauan kembali yang dianggap bertentangan dalam kasus yang sama. "Kami butuh kepastian hukum," kata kuasa hukum Geo Dipa, Imam Haryanto, Rabu pekan lalu.
Menurut Imam, pihaknya telah berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung dalam membuat rumusan PK tersebut. Delapan jaksa ditunjuk mewakili Geo Dipa. Salah satu dasar permohonan PK mereka, menurut Imam, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang menyatakan PK dapat diterima apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih PK yang bertentangan.
"Pertempuran" pun terjadi. Dua pekan setelah permohonan pengajuan kembali, Markas Besar Kepolisian RI menetapkan mantan Direktur Utama Geo Dipa Energi Syamsuddin Warsa sebagai tersangka dalam kasus penipuan. Bumi Gas sejak 2012 melaporkan Syamsuddin, yang mereka tuding telah melakukan penipuan sehingga menyebabkan Bumi Gas—sebagai pemenang tender—tak dapat melanjutkan proyek. "Bumi Gas mengalami kerugian kehilangan proyek karena adanya penipuan tersebut," ujar kuasa hukum Bumi Gas, Bambang Siswanto.
Proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Dieng-Patuha dibangun dengan mimpi besar: menyuplai kebutuhan listrik di wilayah Jawa dan Bali. Tapi hantaman krisis ekonomi membuat pemerintah, lewat Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997, menangguhkan proyek tersebut. Langkah ini ternyata menuai gugatan. Himpurna California Energy (HCE) dan Patuha Power Plant (PPP), dua perusahaan Amerika Serikat yang melaksanakan proyek ini, menggugat PLN ke Arbitrase Internasional. Hasil akhir sengketa itu: PLN dinyatakan kalah dan pemerintah harus membayar US$ 261 juta kepada Overseas Private Investment Corporation, lembaga yang menanggung risiko kerugian HCE dan PPP.
Setelah pembayaran denda, semua aset yang dimiliki HCE dan PPP diserahkan ke Pertamina dan PLN. Pertamina dan PLN, pada 23 Mei 2002, menandatangani perjanjian kerja sama tentang pendirian perusahaan patungan dan joint development agreement tentang rencana pembangunan PLTP Dieng-Patuha. Perusahaan itu bernama PT Geo Dipa Energi. Komposisi sahamnya: 66,67 persen milik Pertamina dan 33,33 persen PLN.
Geo Dipa pun melanjutkan proyek PLTP Dieng-Patuha yang tersendat. Geo lantas membuka tender pembangunan pembangkit 2 x 60 megawatt di Dieng, Jawa Tengah, dan pembangkit 3 x 60 megawatt di Patuha, Jawa Barat. Bumi Gas Energi keluar sebagai pemenang. Perusahaan itu mengalahkan 18 perusahaan lewat tender pada 22 Oktober 2002. Pengumuman pemenang tender itu diterima Bumi Gas lewat surat pada 5 Maret 2003. "Sehari kemudian, Geo Dipa mengirimkan surat yang isinya masih butuh persetujuan pemegang saham," kata Direktur Bumi Gas Energi David Randing. Kontrak kerja sama dilakukan lewat skema build on transfer selama 15 tahun.
Empat belas bulan kemudian, pada 17 Maret 2004, pemegang saham Geo Dipa baru mengesahkan kemenangan Bumi Gas. Pada 1 Februari 2005, ditandatangani perjanjian kerja sama antara Geo Dipa dan Bumi Gas dengan nilai proyek US$ 488,888 juta.
Menurut Imam, setelah sepuluh bulan perjanjian ditandatangani, Bumi Gas ternyata tak mampu menyelesaikan pekerjaan proyek. Setelah Geo Dipa mengirimi lima surat peringatan, pada 7 Mei 2007, mereka kemudian mengirimkan surat yang menyatakan Geo Dipa telah gagal memenuhi perjanjian.
Namun Bumi Gas menolak jika dituding tidak memenuhi janji. Mereka mengklaim telah mengupayakan proyek itu selesai dengan menunjuk pembangunan infrastruktur, yang menghabiskan dana Rp 150 miliar. Selain itu, ada penyebab lain. Terhambatnya proyek, kata David, karena ketidakjelasan izin usaha panas bumi atau—istilahnya—wilayah kuasa pertambangan yang dimiliki Geo Dipa.
Menurut David, pihaknya telah menjajaki pendanaan ke beberapa pihak, antara lain PT Pradigma Sejahtera, CNT Group Construction Limited, dan Affin Investment Bank. Para peminjam selalu meminta kejelasan mengenai izin usaha. "Kami berulang kali meminta Geo Dipa menunjuk, tapi tak pernah diberikan," ucap David. Karena tak ada kejelasan izin usaha, kata David, CNT membatalkan pinjamannya pada November 2005. Padahal perusahaan asal Hong Kong ini sudah mencairkan kredit pertama sebesar US$ 5,16 juta pada 29 April 2005.
Ketidakjelasan izin usaha ini, menurut Bambang, bisa berdampak pidana. Padahal, kata dia, dalam kontrak pada 1 Februari 2005, Geo Dipa menyatakan memiliki izin usaha. "Jika pengusahaan sumber daya panas bumi dilakukan tanpa izin usaha, yang melakukan bisa dikenai pidana," ujar Bambang. Sanksi itu, dia melanjutkan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
Imam menampik jika penguasaan wilayah penambangan itu disebut tidak jelas. Menurut dia, wilayah kerja penambangan dimiliki Pertamina berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1974. "Dan Pertamina adalah pemilik Geo Dipa," katanya. Menurut Imam, lewat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2192K/30 MEM/2014, keluar penegasan pengusahaan area Patuha diserahkan kepada Geo Dipa. Keputusan yang ditandatangani Menteri Jero Wacik pada 27 Maret 2014 itu diberlakukan mulai 1 Januari 2007.
Nah, karena Bumi Gas dianggap tak memenuhi kewajibannya, Geo Dipa lantas membawa perkara ini ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). "Tuntutannya pembatalan perjanjian," ujar Imam.
Pada 17 Juli 2008, BANI mengabulkan permohonan Geo Dipa. Bumi Gas melawan dengan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim pada 15 Januari 2009 memutuskan tidak menerima permohonan dengan alasan permohonan kurang pihak. Proses pengadilan yang dilanjutkan ke tingkat kasasi pada 19 Mei 2009 dan peninjauan kembali pada 25 Mei 2010 menghasilkan putusan sama. "Permohonan kurang pihak karena tidak menyertakan Geo Dipa Energi sebagai pihak termohon," kata Bambang.
Atas putusan inilah Bumi lantas mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada September 2010. Bambang menunjuk dasar hukumnya, yakni hakim belum masuk ke perkara dengan amar putusan tidak menerima alias "NO" atau niet-ontvankelijk verklaard. "Sehingga masih dapat diperkarakan kembali," ucap Bambang.
Pengadilan tingkat pertama menolak gugatan itu. Tapi, di tingkat kasasi dan PK, Bumi Gas menang. Hakim menyatakan Geo Dipa telah melakukan penipuan dan kebohongan dalam proses tender PLTP Dieng-Patuha. "Sehingga putusan BANI tidak berlaku," kata Bambang. Putusan PK diketuk pada 24 Oktober 2012. Putusan itulah yang kini dipersoalkan pihak Geo Dipa.
Bambang menyatakan keheranannya atas PK yang kini diajukan pihak Geo Dipa. Menurut dia, dua PK yang dipersoalkan pihak Geo tersebut tak bertentangan dan karena itu tak melanggar surat edaran Mahkamah Agung. Karena pengadilan menerima PK Geo Dipa, Bambang mengadukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo