Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mayat-mayat Kuartal I

Mayat-mayat tak dikenal yang dibunuh/ditembak di beberapa kota dan daerah bertambah banyak. Korban dan pelaku umumnya tidak diketahui. Menurut penyidikan polisi, korban terbanyak dari residivis. (krim)

22 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI waktu mesin ketel di pabrik gula Prajekan di Bondowoso, Jawa Timur, dihidupkan. Saluran pipa ke ketel raksasa - tinggi 10 m dan bergaris tengah 25 m, yang digunakan menyimpan tetes - ternyata tersumbat. Pengecekan pun dilakukan. Dan - masya Allah - di situ terdapat sesosok mayat wanita telanjang. Tubuhnya telah mengering dan rambutnya sudah rontok. Diperkirakan, mayat tadi sudah berada di sana empat bulan. Namun, sampai kini, setelah dua bulan ditemukan, siapa, dari mana asalnya, dan mengapa mayat itu sampai berada dalam ketel tak pernah diketahui. Nasibnya sama dengan mayat wanita lain yang ditemukan didermaga pelabuhan Meneng, Banyuwangi, Jawa Timur. Mayat itu ditemukan, bulan lalu, masih berpakaian lengkap. Yang tak lengkap adalah anggota tubuhnya: tanpa kepala, kedua lengan tangan dan lengan kaki putus - entah oleh perbuatan siapa. Mayat-mayat tak dikenal, yang diduga keras tewas akibat pembunuhan, sampai kini memang tetap banyak dijumpai. Tapi, tak seperti yang dijumpai di Bondowoso dan Banyuwangi, mayat tanpa identitas yang dijumpai di beberapa kota lain umumnya adalah laki-laki. Menurut kepala penerangan Polda Jawa Barat, Letkol J.J. Manurip, sejak Januari sampai Mei lalu tercatat 68 mayat tak dikenal di Jawa Barat. Pada tiga bulan pertama, rata-rata hanya ditemukan 10 mayat per bulan. Tapi pada bulan April, tiba-tiba melonjak menjadi 16. Dan bulan Mei, melonjak lagi menjadi 23 korban. Berdasarkan pemeriksaan, bisa disimpulkan bahwa para korban itu tewas akibat pembunuhan. Ada yang karena senjata api, senjata tajam, atau dihajar benda tumpul. Itu pula yang terjadi di Sumatera Utara. Khusus di Medan, jumlah mayat tak dikenal mencapai delapan kali lipat dibanding korban pembunuhan yang bisa dikenali. Atau, dalam angka, untuk bulan Februari sampai Mei 40 : 5. Salah satu korban yang ditemukan belum lama ini ditembak dari jarak sangat dekat. "Kelihatannya, korban disuruh membuka mulut, laras pistol dimasukkan dan: dor," kata sebuah sumber, sambil memperagakan bagaimana kira-kira si penembak beraksi. Di Jakarta, pembunuhan dengan senjata api memang dominan. Dari 88 kasus pembunuhan selama Januari-Mei, menurut Dokter Abdul Mun'im dari LKUI, hampir 29% atau 25 korban tewas oleh senjata api. Dan korban inilah, umumnya, yang ditemukan tanpa identitas apa pun di saku baju atau celananya. Mereka itu, seperti yang dijumpai pada tahun-tahun lalu, tergeletak di tepi jalan yang sepi atau di tepi sungai. Ciri-cirinya: masih muda - berusia 20-30 tahun - bertubuh kekar, dan banyak di antaranya yang bertato. Ada, kata Mun'im, korban yang tubuhnya terkena luka tembak dari depan dan belakang. Luka tembak itu sedemikian rupa sehingga sulit ditentukan dalam posisi bagaimana korban dan si penembak saat kejadian berlangsung. Tapi hal itu mungkin tak perlu benar. Sebab, hampir bisa dipastikan, kasusnya tak akan sampai ke pengadilan. "Mau diusut bagaimana? Korbannya saja tak diketahui, konon pula pelakunya," kata sebuah sumber. Yang bisa dilakukan adalah membuat foto korban serta mengambil sidik jarinya. Lalu dicocokkan dengan file yang ada. Apakah itu catatan tentang residivis atau yang lain yang ada di tiap Polda, misalnya dari mereka yang pernah mengurus SIM. Ternyata, kata Kolonel Usman Ibrahim, kepala Ditserse Polda Jakarta, korban yang tak bisa dikenali itu banyak yang cocok dengan dokumentasi tentang residivis. "Sangat mungkin, mereka berkelahi sesamanya karena merasa disaingi atau berebut rezeki," katanya. Di kota-kota lain pun hampir bisa dipastikan bahwa mayat yang tak dikenal adalah residivis. Yang ditemukan di pekuburan Bergota, Semarang, beberapa waktu lalu, misalnya. Pada mulanya, korban berambut hitam lebat, berkumis tipis, dan berkulit sawo matang itu tak diketahui siapa. Setelah dibawa ke rumah sakit Dr. Karyadi, ia dipastikan polisi bernama Heru Subandrio, 30, penduduk Kampung Pancakarya di Semarang Utara. Ia, semasa hidupnya, dikenal sering melakukan pemerasan dan penodongan di sekitar terminal dan Pasar Johar. Anggota keluarga korban yang dihubungi, menurut sumber TEMPO, umumnya enggan mengurus mayat seperti Heru. Malah ada yang mengatakan tidak kenal. "Mereka malu bila diketahui tetangga bahwa anggota keluarga atau keturunannya ada yang menjadi penjahat," seperti kata sebuah sumber di Medan. Akibatnya, petugas rumah sakit - setelah beberapa hari mayat itu tetap tak ada yang mengambil atau mengurus - menguburkannya. Surasono Laporan biro Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus