Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Memangkas Bibit, Menuai Protes

Beleid baru soal terorisme terus digodok pemerintah. Kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia menghantui.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USTAD Abu Bakar Ba’asyir berdiri di hadapan jemaahnya yang menyemut di Masjid Ikhwanul Qorib, Jalan Babakan Priangan, kawasan Buahbatu, Bandung, Agustus tahun lalu. Gaya pakaian Amir Jamaah Ansharut Tauhid itu tidak pernah berubah, berpeci haji dan berbalut gamis putih yang menutup hingga mata kaki. Walau tak lantang, isi ceramah Ba’asyir, kala itu, cukup menantang.

Dalam tablig akbar malam itu, Ba’asyir membahas bahwa demokrasi adalah sikap yang kurang ajar. Ia mengajak jemaahnya melawan semua sistem politik dan musuh yang selalu memojokkan Islam. Ajakan itu disambut pekik takbir jemaah.

Itulah ceramah terakhir sang Amir yang gegap-gempita. Tiga hari kemudian, setelah Ba’asyir berceramah di Tasikmalaya, ia ditangkap aparat di Banjar Patroman, Jawa Barat, dalam perjalanan pulang menuju Solo.

"Kalau nanti, bakal tidak ada ruang untuk penyebaran kebencian," ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai kepada Tempo dua pekan lalu. Ia mengkategorikan ceramah Ba’asyir yang menyebarkan permusuhan itu sebagai contohnya.

Larangan berceramah yang menyebarluaskan kebencian diatur dalam beleid baru, perubahan terhadap Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Saat ini aturan sedang digodok sebuah tim khusus perancang undang-undang di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. "Pemerintah ingin memangkas bibit terorisme," kata pensiunan bintang dua kepolisian itu.

Prakarsa berawal pada 2009. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang kala itu masih berbentuk desk antiteror di kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mewacanakan adanya revisi terhadap beleid antiteror. Tujuannya agar terorisme bisa dicegah sejak dini. Dalam sebuah seminar di Jakarta, Ansyaad mengemukakan ide itu di depan khalayak. Berbekal draf awal buatan timnya, ide itu ditangkap Kementerian Hukum dan HAM. "Drafnya masih sangat kasar pada awalnya," ujar sekretaris tim perancang beleid antiteroris, Reza Fikri Febriansyah, saat ditemui di kantornya pekan lalu.

Beleid perubahan ini masuk prioritas Program Legislasi Nasional 2010-2014. Saat ini tim yang terdiri atas 34 anggota dari bermacam instansi yang berkepentingan itu bertemu setiap dua kali dalam satu bulan. Biasanya, dalam setiap pertemuan, bongkar-pasang pasal selalu terjadi. "Dinamis, selalu banyak pertimbangan dan masukan baru," ujarnya.

Dalam draf terakhir hasil pertemuan 10 Agustus lalu di Hotel Sahira, Bogor, sedikitnya 18 pasal tambahan akhirnya disetujui. Misalnya soal peredaran bahan kimia yang memiliki potensi dibuat menjadi bahan peledak. Dalam rancangan aturan baru, pemilik toko kimia diberi tanggung jawab atas peredaran barang dagangannya. Mereka bisa dijerat pidana jika tidak berhati-hati dalam transaksi. Berjualan tanpa izin saja ancamannya 12 tahun. "Apalagi bila terbukti bahan kimia dari tokonya jadi bahan peledak di tangan teroris," kata Reza. "Ancaman maksimalnya 15 tahun."

Pasal lain mengatur soal ceramah yang berisi kebencian. Dalam pasal 13-E diatur aktivitas ceramah bisa dipidanakan. Ancamannya tidak main-main, lima tahun penjara bagi sang penyebar kebencian dan maksimal 12 tahun penjara apabila terbukti, akibat ceramahnya, terjadi tindakan terorisme. Pada pasal ini diterapkan delik materiil. Akibat terorismenya harus terjadi dulu, baru si penyebar kebenciannya bisa ditangkap. "Jadi tidak setelah turun mimbar bisa langsung ditangkap," kata Reza.

Soal hukum acaranya, perkembangan terbaru adalah mengeliminasi laporan intelijen sebagai alat bukti utama. Aturan yang disepakati terakhir, laporan intelijen hanya menjadi bukti penguat. Itu diputuskan karena, kalau laporan telik sandi menjadi alat bukti, konsekuensinya para agen telik sandi harus muncul di setiap persidangan terorisme. "Penahanan awal diperpanjang menjadi 30 hari. Pertimbangannya teknis penyidikan," ujar Reza.

Reza bilang, dalam beleid ini, ada terobosan mutakhir dalam hukum acara persidangan teroris, yakni dibakukannya penggunaan teleconference dalam pemeriksaan saksi. Itu pernah dilakukan saat persidangan Ba’asyir.

Reza dan Ansyaad mengakui revisi yang diajukan ini memancing pro dan kontra karena seolah-olah bisa membuka ruang bagi aparat untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Namun protes dan kritik akan dijadikan masukan, karena aturan ini masih dalam penggodokan. Target tim perancangan, beleid selesai pada Desember 2011, dan bisa diberikan ke Dewan Perwakilan Rakyat awal 2012.

Suara dukungan jelas datang dari kalangan pemerintah. Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto setuju dengan revisi yang dilakukan terhadap beleid terorisme. Ditemui Tempo saat di gedung DPR beberapa waktu lalu, ia menyebutkan perlu ada semacam upaya ekstra untuk memerangi terorisme. Salah satu jalannya melalui perubahan aturan yang memberi ruang yang lebih lebar kepada penyidik.

Aturan baru ini menuai hujan kritik. Para penggiat hak asasi manusia, salah satunya Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menolak mentah-mentah revisi yang bakal diajukan pemerintah. Hukum yang seharusnya melindungi justru menjadi teror bagi masyarakatnya. "Seperti kembali ke Orde Baru," seru Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam siaran persnya saat awal ide revisi bergulir.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yosep Adi Prasetyo menegaskan, aturan mengenai penyebaran kebencian tidak perlu dimasukkan ke Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ia khawatir muatan revisi seperti itu berpotensi menimbulkan polemik baru di masyarakat. "Bukannya memangkas, malah menimbulkan kebencian baru," ujarnya.

Koordinator Eksekutif Kontras Haris Azhar menilai rentang waktu 30 hari tanpa pendampingan hukum untuk penahanan awal berpotensi melanggar hak asasi manusia. Aturan ini banyak bertabrakan dengan beleid lainnya, bahkan konstitusi. Jika tidak ada perspektif hak asasi manusia dalam beleid ini, katanya, "Revisi ini ngawur."

Sandy Indra Pratama, Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus