Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MOMEN

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istri Patek Dijerat UU Imigrasi

SEJAK dibawa dari Pakistan, istri Umar Patek, Ruqayyah binti Husein Luceno alias Fatimah Zahra, ditahan di Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ia dijerat dengan Undang-Undang Keimigrasian karena menggunakan paspor Indonesia meski berkewarganegaraan Filipina.

Menurut polisi, paspor itu dibuat dengan akta dan kartu keluarga palsu. Di paspor, Ruqayyah mengaku lahir pada 13 Mei 1984. Selama bepergian ke sejumlah negara bersama Patek, ia menggunakan paspor tersebut. Polisi masih mencari celah untuk menjeratnya dengan Undang-Undang Terorisme.

Adapun Patek, yang juga ditahan di Kelapa Dua, dikenai pasal berlapis dalam Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Imigrasi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. "Ancaman hukumannya 10 sampai 15 tahun penjara," kata Kepala Bidang Penerangan Umum Kepolisian RI Komisaris Besar Boy Rafli Amar.

Yusril Tetap Dicekal

PENCEKALAN terhadap Yusril Ihza Mahendra tetap berlaku setelah Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan bekas Menteri Kehakiman itu terhadap Kejaksaan Agung. Majelis hakim menganggap gugatan Yusril atas penerbitan surat pelarangan dia ke luar negeri tak berdasar.

"Kami tidak dapat menerima gugatan dan mempertimbangkannya," kata Yodi Martono Wahyunad, ketua majelis hakim PTUN, saat membacakan putusannya pada Senin pekan lalu.

Yusril dilarang ke luar negeri pada 24 Juni lalu, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek Sistem Administrasi Badan Hukum. Namun kejaksaan kemudian meralat surat pencegahan dan penangkalan (cekal) pertama, kemudian menerbitkan surat cekal yang baru.

Yusril menggugat surat cekal pertama ke Pengadilan Tata Usaha. Menurut dia, surat cekal pertama tidak berdasarkan undang-undang, tapi berdasarkan aturan keimigrasian yang sudah tidak berlaku lagi.

Setelah kalah, pada hari yang sama, Yusril langsung menggugat lagi Kejaksaan Agung. Kali ini yang digugat adalah surat cekal pengganti yang dikeluarkan jaksa. "Mudah-mudahan surat cekal itu tidak dicabut lagi begitu Kejaksaan Agung tahu saya menggugatnya," kata Yusril dalam siaran persnya.

Hatta Disebut dalam Sidang Kereta Api

NAMA Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa disebut dalam surat dakwaan bekas Direktur Jenderal Perkeretaapian Soemino Eko Saputro di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin lalu. Menurut jaksa, sewaktu menjabat Menteri Perhubungan, Hatta memerintahkan Soemino mencari kereta rel listrik bekas ke Jepang.

Dalam dakwaan juga diterangkan, pada Oktober 2005, Soemino bersama Jon Erizal, Agung Tobing, Dicky Tjokrosaputro dari PT Powertel, bertemu dengan Hatta di ruangannya untuk membicarakan proyek itu. Selain bekerja di Powertel, Jon Erizal merupakan Bendahara Partai Amanat Nasional, partai yang diketuai Hatta Rajasa.

Sebelumnya, saat diperiksa penyidik pada 2 September 2010, Soemino mengatakan pertemuannya di ruangan Hatta juga dihadiri adik Ani Yudhoyono, Hartanto Edhie Wibowo; dan adik Hatta, Achmad Hafis Tohir, yang juga dari Powertel. Menurut Soemino, keduanya bahkan ikut ke Jepang untuk mencari kereta bekas. Hatta membantah ikut campur dalam urusan pengadaan kereta bekas itu.

Vonis Penyuap Gayus

ROBERTUS Santonius, terdakwa kasus penyuapan Gayus Tambunan, dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider dua bulan penjara. Ketua majelis hakim tindak pidana korupsi Tjokorda Rae Suamba menyatakan Robertus terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.

Vonis yang dijatuhkan hakim hanya setengah dari tuntutan yang dibacakan jaksa Adi Prabowo pada 9 Agustus 2011. Oleh jaksa, Robertus dituntut penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara karena terbukti melanggar dakwaan primer.

Robertus didakwa menyuap Gayus Rp 925 juta agar perkara banding pajak PT Metropolitan dimenangkan hakim Pengadilan Pajak. Namun dakwaan itu dibantah Gayus ketika bersaksi untuk Robertus pada 18 Juli lalu. Dia mengaku hanya meminjam uang kepada Robertus.

Jaksa tidak langsung menyatakan banding, dan masih menggunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir. Robertus juga belum menyatakan banding dalam persidangan hari ini. "Yang Mulia, saya masih merasa bingung," ujarnya.

Bocah Indonesia Disidang di Australia

SEBANYAK 24 dari 52 anak Indonesia berusia di bawah 17 tahun disidangkan di Australia. "Sidang ini untuk menentukan usia mereka, bukan soal kasusnya," kata Michael Tenne, juru bicara Kementerian Luar Negeri. Setelah umur diketahui, baru kasus pokoknya diadili.

Cara ini ditempuh karena anak-anak yang sebagian besar berasal dari kawasan timur Indonesia itu tak memiliki dokumen apa pun. Dalam persidangan itu, untuk melihat usia mereka, kedua pemerintah memakai pendekatan medis, yakni memindai tulang gigi dan pergelangan tangan.

Hingga kini pemerintah sudah memulangkan sedikitnya enam anak di bawah umur ke Tanah Air. Warga Indonesia yang diduga terlibat penyelundupan manusia ke Australia terancam hukuman lima tahun penjara.

Surat Presiden untuk Nazaruddin

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membalas surat yang dikirim Muhammad Nazaruddin. Dalam surat tertanggal 21 Agustus 2011 itu, Yudhoyono meminta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut berbicara terbuka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tersangka kasus suap wisma atlet ini juga diminta menyerahkan semua data tentang kasus korupsi kepada penyidik. "Agar semua menjadi jelas dan tuntas," tulis Presiden.

Dalam surat dua lembar itu, Presiden juga berharap Nazaruddin mengungkap siapa saja yang bertanggung jawab, tak peduli mereka dari partai politik. Mengenai jaminan keselamatan keluarga Nazaruddin, Presiden menyatakan sudah menjadi tanggung jawab penegak hukum untuk menjaga ketenangan dan keselamatan seluruh warga negara.

Sebelumnya, Nazaruddin mengirim surat kepada Presiden. Ia menyatakan tak akan memberi keterangan yang merugikan Partai Demokrat dan KPK asalkan Presiden menjamin ketenangan keluarganya, terutama istri dan anak-anaknya. Ia juga mengaku rela dipenjara bertahun-tahun asalkan anak-istrinya tak diganggu.

Banyak pihak menyesalkan tindakan Presiden ini. "Presiden terjebak pada kebutuhan pencitraan," kata anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Eva Kusuma Sundari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus