Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Michael Menufandu mendadak populer sejak tertangkapnya Muhammad Nazaruddin di Kolombia. Dituding menerima "bungkusan" dari Nazar agar buron Interpol itu tak disentuh hukum Indonesia, ia meradang. "Hampir 40 tahun bekerja untuk pemerintah, saya tak pernah melakukan korupsi," kata duta besar yang masa tugasnya di Kolombia berakhir pada 31 Agustus ini.
Kepada Anton Septian dari Tempo melalui sambungan internasional pada Selasa lalu, ia mengatakan siap memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjelaskan banyak hal.
Bagaimana mulanya Anda masuk pusaran kasus Nazaruddin?
Ahad, 7 Agustus, saya ditelepon polisi bahwa ada orang Indonesia tertangkap, diduga karena terlibat kasus narkotik. Namanya Syarifuddin. Saya diminta berangkat ke Cartagena untuk mengecek kebenarannya. Pukul 3 sore, kami bertemu di kantor polisi. Saya perkenalkan diri. Ternyata dia bukan Syarifuddin, melainkan Nazaruddin.
Apa yang Nazar ceritakan kepada Anda?
Dia bilang datang ke Kolombia untuk bisnis. Dia mau berinvestasi. Dia juga bercerita diperlakukan dengan baik oleh polisi Cartagena.
Lalu?
Kedutaan Besar RI dan polisi mencocokkan data. Identitas Nazar ternyata cocok dengan data Interpol. Sore itu juga Interpol datang. Nazar langsung diborgol. Saya segera mengirim surat elektronik kepada Pak Menko Polkam (Djoko Suyanto). Pak Menko melapor kepada Presiden. Hari itu, pukul 7 malam, dia (Nazar) diberangkatkan ke Bogota. Tapi pesawatnya telat, baru berangkat pukul 11.00. Saya tak ikut, tapi staf saya mendampingi Nazaruddin.
Bagaimana tas Nazar ada di tangan Anda?
Saat mau diberangkatkan ke Bogota, dia minta tolong: "Tolong tas saya dijaga." Ya, saya jaga. Sebagai wakil pemerintah Indonesia, saya harus baik kepada warga negara kita di sana. Saat magrib, saya belikan dia makanan untuk berbuka. Saya minta Interpol membuka borgolnya supaya dia bisa makan.
Setelah itu, Anda bertemu lagi dengan Nazaruddin?
Waktu saya kembali ke Bogota, saya mendapat petunjuk dari Pak Menko Polkam agar menemui Nazaruddin. Saya datang ke penjara Interpol. Saat itu Nazaruddin sudah di bawah kewenangan kejaksaan. Kami berbicara dari jarak jauh, sekitar enam meter. Dia bilang disuruh pengacaranya meminta suaka politik. Saya bilang, "Jangan lakukan. Kamu sendiri pilih mana?" "Saya ingin pulang," katanya.
Ketika itu, Anda menerima sesuatu dari Nazar?
Orang bilang seolah-olah saya main mata dengan Nazaruddin. Tak ada itu. Uang US$ 1 juta dari mana? Saya juga disebut menawari dia bisa turun di Kuala Lumpur supaya bertemu dengan anak-istrinya. Berita itu tak benar.
Nazar pernah menawarkan uang?
Enggak ada juga.
Kalau dari pengacaranya?
Enggak ada. Sekali saja saya bertemu dengan O.C. Kaligis pada Selasa, 9 Agustus, pagi. Setelah itu, tak pernah bertemu lagi karena dia selalu menjelek-jelekkan saya.
Anda sebenarnya setuju memulangkan Nazar dengan ekstradisi atau deportasi?
Nazaruddin datang ke Kolombia memakai paspor orang lain. Maka lebih baik menggunakan pengusiran. Dengan cara ini, dia bisa dipulangkan dalam waktu 72 jam.
Itu dikoordinasi dengan tim penjemput?
Tentu ada koordinasi dengan tim dan Pak Menlu (Marty Natalegawa). Tak bisa dibayangkan tegangnya waktu itu. Kalau dalam waktu 36 jam Nazar tak pulang, proses pemulangan bakal lebih lama. Kami ingin secepatnya. Saya melapor kepada Pak Menko dan Pak Menlu. Malam itu Pak Menlu mengirim surat untuk disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Kolombia. Berdasarkan surat itu, urusan pemulangan Nazar di Imigrasi sini jadi lancar.
Koordinasi dengan tim penjemput?
Tanggal 10, KBRI dengan tim mengadakan rapat, dari pukul 8 malam sampai pukul 2 dinihari. Paginya, kami bagi-bagi tugas. Setelah itu, kami bertemu dengan Interpol.
Sumber kami menyebutkan Brigadir Jenderal Anas Yunus, ketua tim penjemput, bersitegang dengan Anda?
Pak Anas itu perwira yang santun. Tak ada ketegangan atau insiden apa pun. KBRI dan tim bekerja kompak. Bahkan seorang anggota staf saya perintahkan mendampingi tim sebagai penerjemah. Tapi memang dalam situasi seperti itu, kalau ada salah kata atau salah tingkah dari staf kami, itu hal biasa. Tak disengaja.
Anda kabarnya ingin Nazar pulang dengan pesawat komersial?
Dalam rapat sampai pukul 2 dinihari itu, memang terjadi perdebatan. Kami menghitung untung-ruginya. Tapi pada akhirnya kami sepakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo