APA lagi yang tak dipalsukan di republik ini? Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang Pidana Umum, Adi Andojo Soetjipto, pekan lalu, mengumumkan bahwa sebuah vonis pidana MA -- yang notabene adalah peradilan tertinggi -- dipalsukan. Dalam vonis palsu kasus penyelundupan rotan setengah jadi sebanyak 153,64 ton di Surabaya, Jawa Timur, disebutkan terdakwa Tony Goritman, 30 tahun, divonis bebas. Padahal, menurut vonis aslinya, Tony diganjar 3 tahun penjara. Pernyataan itu tentu saja mengagetkan segenap jajaran penegak hukum -- baik pengadilan maupun kejaksaan -- di Surabaya, yang telanjur membebaskan Tony pada Agustus lalu berdasarkan vonis palsu itu. Untung, Tony belum raib dan bersedia menaati keputusan pengadilan. Dengan sukarela, Jumat pekan lalu, ia masuk ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kalisosok, Surabaya. Selesai? Tentu saja tidak. Hingga pekan ini para penegak hukum masih mengusut kasus yang menghebohkan itu. Baik Adi Andojo maupun Jaksa Agung Singgih mengaku belum bisa memastikan siapa saja pelakunya, termasuk kemungkinan terlibatnya oknum-oknum pengadilan ataupun kejaksaan. "Saya tak berani menduga-duga. Saya tetap berharap kasus ini diusut tuntas," ujar Adi Andojo. Ya, "Kasus ini sangat keterlaluan. Masa orang yang dihukum tiga tahun bisa jadi bebas," kata Singgih. Boleh dikatakan, kasus ini tersingkap secara kebetulan. Ceritanya, pada Sabtu dua pekan lalu, Adi Andojo melakukan kunjungan kerja ke Surabaya. Di sana, entah kenapa, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, I.B. Ngurah Adnyana, melaporkan bahwa kasus Tony, yang pada 21 Juni 1989 divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya, sudah dikuatkan MA. Waktu itu, Adi Andojo, ketua majelis hakim agung dalam kasus itu, langsung menanggapi, "Tak benar putusan bebas itu saya kuatkan. Putusan itu malah saya batalkan." Sekembalinya di Jakarta, Rabu pekan lalu, Adi langsung memeriksa vonis asli kasus itu. Ternyata, pada 21 Maret 1990, MA memang memvonis Tony 3 tahun penjara plus denda Rp 10 juta. Direktur Ekspor PT Bali Rotan Mas itu, bersama Ridwan dan Machmud -- keduanya diadili secara terpisah -- dianggap terbukti mencoba (trachten) menyelundupkan 153,64 ton rotan setengah jadi ke Singapura, pada 8 dan 9 September 1988. Artinya, vonis bebas yang dikabarkan Hakim Ngurah itu memang palsu. Kepalsuan itu, selain dari segi pertimbangan dan diktum vonisnya, tutur Adi, juga terlihat dari jumlah halamannya. Vonis asli berjumlah 17 halaman, sedangkan yang palsu cuma 16 halaman -- karena sebagian pertimbangannya tak berbeda dengan vonis Pengadilan Negeri sebelumnya. Di samping itu, ketikan huruf-huruf yang ada di vonis palsu juga lebih kecil dan kasar dibandingkan dengan ketikan huruf yang asli. Keesokan harinya, Adi Andojo menugasi Direktur Pidana MA, Syafiuddin Kartasasmita, membawa vonis asli itu ke Surabaya. Tak dinyana, pada hari pengadilan menerima vonis asli itu, Tony, dikawal serombongan petugas Kejaksaan Negeri Surabaya, muncul di pengadilan. Maka, sekitar pukul 13.00, pada Jumat itu, Tony yang tampak dendi mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dan celana hitam, langsung digiring ke LP Kalisosok. Rupanya, pihak kejaksaan, begitu menerima kabar vonis palsu dari Adi Andojo pada Rabu pekan lalu, langsung melacak alamat Tony, yang memang tak ditahan. Mujur, Tony masih berada di Surabaya. Ketika kejaksaan mencoba mengontak Tony lewat telepon di rumahnya, ternyata terpidana sendiri yang mengangkatnya. Hari itu juga, Tony, ditemani calon istrinya, datang ke kejaksaan dengan mengendarai mobil Kijang putih. Persoalan yang masih tertinggal, tentu, bagaimana lika-liku pemalsuan itu, dan siapa pelakunya. Yang pasti, kata Adi Andojo, surat pengantar pengiriman salinan keputusan MA itu -- bersama berkas perkaranya -- dibuat tanggal 8 Mei 1990. Surat itu ditembuskan pula ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur dan kepala rutan di Surabaya. Direktur Pidana, Syafiuddin, mengaku pada hari itu juga memerintahkan anak buahnya mengirim surat pengantar itu -- dalam satu paket dengan berkas perkara dan salinan vonis -- ke Pengadilan Negeri Surabaya via pos. "Mudah-mudahan, salinan keputusan yang saya tanda tangani itulah yang benar-benar dikirim lewat pos. Supaya anak buah saya terbukti bersih dari kasus ini," kata Syafiuddin kepada Gindo Tampubolon dari TEMPO. Kini baru terungkap bahwa salinan keputusan itu sampai di Pengadilan Negeri Surabaya pada 23 Agustus lalu. Beberapa hari setelah itu, Tonypun menerima vonis itu dari pengadilan negeri -- sekaligus eksekusi kebebasannya. Janggalnya, tenggang waktu antara 8 Mei dan 23 Agustus itu. Padahal, salinan putusan serupa, yang dikirim MA pada 9 Mei 1990 ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur, juga melalui pos, tiba di tujuan pada 22 Mei 1990. Sebab itu, seorang praktisi hukum di Surabaya menduga kemungkinan "permainan" itu terjadi di Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, sebuah sumber TEMPO yang lain mengatakan, tak tertutup kemungkinan pemalsuan tersebut melibatkan oknum MA. "Penyelundupan itu sudah menjadi semacam perkara borongan. Terdakwa mengeluarkan sejumlah dana untuk pembebasannya," kata sumber itu. Hal itu, menurut sumber TEMPO di kejaksaan, bisa dibuktikan dengan upaya Tony menyuap kejaksaan agar menangguhkan penahanannya, pada Desember 1988 -- ketika itu Tony sempat ditahan beberapa hari. Begitu pula ketika perkara Tony disidangkan, pada April 1989, lewat belakang Tony juga mencoba agar dituntut dan divonis bebas. Tapi, kata sumber itu, pihak kejaksaan menolak sogokan itu. Toh Tony divonis bebas. Namun, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, I.B. Ngurah Adnyana, maupun Hakim Muri, yang menangani perkara itu dulu, membantah tudingan itu. "Keputusan bebas itu kan hasil kesepakatan majelis. Dan saya tahu tentang vonis palsu itu baru sekarang, kok," kata Muri. Tony sendiri pagi-pagi sudah membantah dirinya terlibat dalam kasus pemalsuan itu. "Saya datang ke kejaksaan justru untuk menanyakan apa benar berita koran tentang vonis palsu itu," ujarnya. Hal senada juga diutarakan pengacaranya di Surabaya, Siswandhi, dan pengacaranya di Jakarta, Harjono Tjitrosoebono. "Berhubungan dengan Mahkamah Agung untuk menanyakan siapa majelis hakim agung yang memeriksa perkara itu saja saya tak biasa. Apalagi untuk turut campur soal putusan," kata Siswandhi. Apa pun hasil pengusutan nantinya, yang jelas, kasus ini -- resminya -- merupakan kasus pemalsuan vonis MA yang keempat kali. Pada Juli 1987, dunia hukum juga sempat geger gara-gara ulah pengacara Jakarta Adi S. Muwardi. Pengacara itu nekat memalsu vonis perdata MA dalam perkara warisan rumah. Kepada kliennya Rochmulyati, yang mengaku sudah membayar jasa Adi Rp 40 juta, ia memberikan vonis MA yang memenangkan kliennya itu. Ternyata, menurut vonis yang asli, Rochmulyati kalah. Dua tahun sebelum itu, malah ada pemalsuan vonis perdata MA yang lebih berani. Si pemalsu, yang bekerja sama dengan orang dalam MA, membawa salinan vonis MA, padahal amar putusannya belum dibacakan majelis. Seperti juga kasus Adi, salinan vonis yang "dijual" ke si beperkara ini -- tentu saja seakan-akan memenangkan yang bersangkutan -- ternyata palsu. Setahun kemudian, ada lagi kasus pemalsuan dengan modus serupa. Di sini, juga terlibat orang dalam MA. Sayangnya, berbagai peristiwa vonis palsu itu tak pernah diusut tuntas. Misalnya kasus Adi Muwardi. Pada Oktober 1987, ia cuma dihukum skorsing selama 6 bulan tak boleh berpraktek sebagai pengacara. Tak ada kabar pasti tentang penyidikan pidananya. Karena itu pula, tak mustahil kasus pemalsuan serupa bisa muncul lagi di waktu kemudian. Padahal, kasus vonis palsu ini, menurut Adi Andojo, sangatlah serius. Apa jadinya bila keputusan lembaga peradilan tertinggi bisa dipermainkan. "Tindakan itu menghancurkan wibawa badan peradilan. Si pemalsu sama sekali tak punya rasa nasionalisme, tidak menyayangi lembaga peradilan milik bangsa dan negara ini. Ia hanya memikirkan aku dan saku," kata Adi Andojo, dengan suara keras. Apa boleh buat "aku dan saku" kini tampaknya oleh sebagian orang memang lebih penting daripada nasionalisme. Happy S., Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini