Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Clerc

Dalam kisah tolstoy kita butuh orang-orang yang menerima agama-agama lain dari agama kebendaan. mereka disebut clercs, intellectuals, atau ulama. kadang mereka terbawa "gelora politik", berkhianat.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEO Tolstoy pada suatu hari melihat sesuatu yang menyesakkannya. Seorang opsir memukul seorang prajurit yang lepas dari barisan. Bangsawan yang kemudian jadi pengarang termasyhur itu pun berseru: "Tidak malukah kau memperlakukan sesama manusia seperti itu? Apa kau belum pernah baca kitab suci?" Sang opsir menjawab: "Apa kau belum pernah baca buku petunjuk disiplin pasukan?" Sebuah jawaban yang tepat, tentu. Seandainya semua perwira bersikap seperti Tolstoy, kita bisa membayangkan bagaimana berantakannya tentara Rusia -- atau tentara mana pun. Sang opsir yang memukul prajuritnya yang ngaco itu harus menyiapkan pasukannya untuk menang perang, merebut sasaran. Ia memang bukan "orang kerohanian". Tapi hidup manusia bukan cuma membutuhkan seorang opsir penjaga disiplin. Hidup membutuhkan juga manusia jenis lain. Julien Benda, pemikir Prancis yang menulis La Trahison des Clercs, mengambil kisah Tolstoy itu dan mengatakan, betapa kita juga butuh adanya "orang-orang yang -- meskipun mereka dimarahi -- mendesak sesamanya untuk menerima agama-agama yang lain dari agama kebendaan." Ia menyebut orang-orang macam itu sebagai clercs. Kata ini berasal dari Abad Tengah Eropa. Orang Inggris kemudian menerjemahkannya sebagai intellectuals. Kedua pengertian itu mengandung makna "orang yang berilmu" -- yang dalam bahasa Arab agaknya dekat dengan pengertian ulama. Sang clerc mengabdikan hidupnya untuk tujuan yang bukan duniawi. Ia mengolah terus-menerus pikiran dan rohani. Ia seorang pemikir tanpa pamrih, orang yang mengikuti panggilan jiwanya tanpa terikat kepada tendensi sosial dan ekonomi di masanya. Ia adalah Tolstoy dalam kisah di atas: orang yang merasa penting untuk mengingatkan -- biarpun nampak konyol -- bahwa dalam mencapai suatu tujuan praktis dan darurat sekalipun, manusia harus tetap ingat hal yang mendasar dan abadi. Sayangnya, suatu pengkhianatan telah terjadi. Setidaknya itulah gugatan Julien Benda: para clercs, para intelektual, kini ikut terjun dalam kancah orang ramai. Mereka terbawa oleh "gelora politik". Mereka melayani nafsu rasial, nafsu kelas, nafsu kebangsaan -- dengan kata lain memberi dalil-dalil " intelektual" kepada apa yang mencolok di abad ke-20 ini: kebencian politik. Mereka, para intelektual itu, mengikuti semangat pragmatisme, yang mengatakan bahwa moral atau tidaknya suatu tindakan ditentukan oleh memadai atau tidaknya tujuan tindakan itu. Akhirnya: "tujuan menghalalkan cara". Para intelektual yang khianat itu pun bukannya memimpin gerombolan orang ramai. Mereka malah mengikutinya. Dalam kata-kata Herbert Read, yang memberi pengantar untuk versi Inggris buku Benda, kaum intelektual itu malah "memungut politik gerombolan orang ramai itu serta memberkatinya -- membungkusnya dengan suatu keterangan intelektual". Pengaruh pemikiran Benda tak terbatas di Eropa. Di Indonesia, Bung Hatta juga pernah memperingatkan kita akan bahaya "pengkhianatan intelektual" itu. Di awal masa Orde Baru, tuduhan dilontarkan bahwa telah terjadi "pelacuran intelektual": sejumlah cendekiawan didakwa pernah mengkompromikan buah pikiran mereka dengan kepentingan-kepentingan politik Demokrasi Terpimpin. Tuduhan seperti itu tak selamanya benar. Paradigma Benda sendiri tak sepenuhnya bisa berlaku buat kaum cendekiawan yang lahir di lingkungan masyarakat non-Eropa. Bagi mereka, ini suatu model lain lebih berbicara: kaum intelligentsia di Rusia yang lahir menjelang pertengahan abad ke-19, dan hadir terus dengan segala kepedihan dan tekad di bawah totalitarianisme Partai Komunis. Mereka umumnya pemikir dan penulis. Isaiah Berlin menggambarkan mereka ini sebagai sekelompok litterateurs, baik yang profesional maupun amatir, "yang sadar akan kesendirian mereka di dunia yang muram", yang terjepit. Di satu pihak pemerintah memusuhi mereka serta bersifat sewenang-wenang. Di lain pihak massa yang sepenuhnya tak mengerti, yang terdiri dari petani yang tertindas dan tak bisa bicara." Di tengah jepitan kemandekan itu, kaum intelligentsia "mengibarkan tinggi bendera akal budi dan ilmu, bendera kebebasan, bendera hidup yang lebih baik". Mereka karenanya nampak bersuara dengan "gelora politik", dan seorang Benda akan merengut memandangnya. Tapi begitu jauhkah beda kaum intelligentsia ini dari ide clercs lama? Tidak. Keduanya menghendaki keberanian moral. Keduanya memuliakan prinsip: Tolstoy yang menegur si opsir Rusia bukan saja ingin mengingatkan akan harga diri manusia, tapi juga ingin menangkis kesewenang-wenangan terhadap sesama. Ia tak bisa diam. Clercs, intelligentsia, intelektual, ulama, cendekiawan: mari kita doakan mereka tak akan mulai berkhianat. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus