KELOMPOK Summa, yang belum lama ini diberitakan goyah, kembali digoyang. Kali ini yang "ditembak" adalah Bank Summa Cabang Utama di Jalan Pintu Besar, Jakarta. Seorang nasabahnya, Imelda Agustina, 33 tahun, melaporkan bank swasta itu ke Mabes Polri. Bank ini dianggapnya tak bertanggung jawab untuk membayar uang nasabahnya sebesar Rp 500 juta. Jumlahnya memang tak begitu besar, tapi likulikunya menarik. Kasus ini bermula dari saling percaya antara Imelda dan Hendry Tjahjadi, 34 tahun, staf bagian pelaksana pemasaran Bank Summa. Pada 22 Oktober 1991, Imelda, lewat Bank Summa, mengirim uang perusahaannya ke Asea Brown Boverij (ABB) di Singapura. Untuk maksud itu Imelda membeli valuta asing (valas) Rp 500 juta, atau 444.839,86 dolar Singapura. Kemudian, ia menyerahkan giro bilyet Chase Manhattan Bank yang jatuh tempo 16 Oktober 1991. Atas penyerahan itu, Imelda menerima bukti permohonan transfer dari Bank Summa dan cek atas nama Tat Lee Bank di Singapura yang jatuh tempo pada 18 November 1991. Pada hari itu juga, kata Imelda, Chase Manhattan mengkliring uang Rp 500 juta atas permintaan Bank Summa. Namun, ketika jatuh tempo, cek yang dipegang Imelda ternyata ditolak oleh Tat Lee Bank di Singapura. Alasannya: dananya tidak ada. Menerima penolakan itu, Imelda tentu sewot. Besoknya ia mendatangi Bank Summa untuk minta penjelasan. Namun, pihak Bank Summa justru mempertanyakan klaim Imelda itu sambil mengatakan bahwa uang sebanyak itu telah dibawa kabur oleh Hendry. "Seharusnya mereka bertanggung jawab. Urusan dengan karyawannya yang kabur, itu kan intern mereka. Jangan nasabah dirugikan," kata Imelda, yang sedang cuti, lewat telepon dari Surabaya kepada TEMPO. Sejak kejadian itu, pihak Bank Summa melaporkan Hendry ke Mabes Polri. "Itu tidak lain supaya mereka lepas dari tanggung jawab. Maka, kami juga melaporkan ke Mabes Polri penggelapan uang itu yang dilakukan Bank Summa, sebagai yang bertanggung jawab," kata Imelda. Namun, di balik pengaduan tadi, pihak Bank Summa menuduh ada permainan antara Imelda dan Hendry karena, menurut Asfifuddin, kuasa hukum Bank Summa, yang dilakukan Imelda tak sesuai dengan prosedur. "Ia begitu mendatangi Bank Summa, langsung menjumpai Hendry di bagian valas, tanpa lewat bagian counter," kata Asfifuddin. Jadi, ada indikasi bahwa Imelda dan Hendry sudah kenal lama? Ini, kata Asfifuddin lagi, permainan mereka itu diduga berlangsung sudah beberapa kali, sebelum uang itu digelapkan Hendry. Dengan berhubungan langsung dengan Hendry, pihak Bank Summa beranggapan bahwa Imelda bukanlah nasabah Bank Summa, melainkan rekan bisnis Hendry walau ia adalah karyawan Bank Summa. "Apalagi personal check dari Tat Lee Bank itu bukan produk Bank Summa. Jadi, jelas, itu urusan antara Hendry dan Imelda, bukan urusan Bank Summa," ujar Asfifuddin. Imelda justru membantah dikatakan bahwa ia berkomplot dengan Hendry. "Bohong. Saya kenal pun tidak dengan Hendry," kata manajer keuangan PT Dharma Sadhana, perusahaan pembuat komponen elektronik yang berlokasi di Sunter Agung Jakarta itu. Tuduhan Bank Summa atas dirinya, katanya, hanya dalih untuk menghindar dari tanggung jawab membayar uang sejumlah tadi. Soal cek Tat Lee Bank yang dikatakan bukan produk Bank Summa, Imelda memiliki bukti 18 lembar cek serupa yang sebelumnya didapat oleh pelanggan Bank Summa. Imelda menegaskan: maksudnya adalah mengirim uang perusahaannya ke ABB Singapura, bukan main valas seperti yang dituduhkan. Lalu, apa kata Hendry? Dari tempat persembunyiannya, melalui telepon Jumat pekan lalu, ia menjelaskan kepada TEMPO. "Saya dijadikan kambing hitam oleh kalangan Bank Summa. Sekarang saya dan istri saya ibarat di ujung tanduk. Ini semua karena saya ingin membantu nasabah membeli draft yang tak dijual di Bank Summa," ujar Hendry. Menurut Hendry, sebetulnya Imelda sudah tahu di Bank Summa tak ada produk yang ia butuhkan itu, tapi Imelda memaksanya. "Lha, saya sebagai karyawan kan ingin memberi pelayanan semaksimal mungkin, akhirnya saya carikan dari luar, dan mendapat personal check dari Tat Lee Bank," katanya. Personal check Tat Lee Bank diperolehnya dari PT Gunung Sion, money changer yang beroperasi di Duta Merlin, Jakarta. Pemiliknya adalah Ester, seorang anak kenalannya. Ketika itu, kata Hendry, Imelda datang agak siang. Karena kliringnya hampir tutup, Imelda setuju dilakukan transaksi itu di Bank Summa. Di pihak lain, katanya, ia berkewajiban meneruskan pembayaran personal check tadi kepada Ester yang baru dikenalnya dua bulan. Karena ia kurang mempercayai Ester, untuk kliring Rp 500 juta dari Bank Summa dikeluarkan lagi, kemudian ditransfer ke SEAB (South East Asia Bank). "Setelah memindahkan dana itu ke SEAB, saya tidak tahu lagi lanjutannya," kata Hendry. Ketika Imelda mendapatkan dana kosong, Hendry kabarnya sempat bingung dan ditegur atasannya. Sejak itulah Hendry menghilang, hingga kini. Ia minta izin menyelesaikan masalah ini. "Jadi, saya tidak buron. Dalam waktu dekat, kalau pelacakan selesai, akan saya ungkapkan semua di Mabes Polri," katanya. Pemindahan dana ke SEAB ketika itu karena di bank itu bekerja istrinya? "Ah, itu terlalu dicari-cari," kata akuntan lulusan Universitas Tarumanagara Jakarta itu. Sampai kini, menurut sumber TEMPO di Mabes Polri, polisi telah meminta keterangan beberapa karyawan Bank Summa. Imelda, karena sedang cuti, diharapkan baru Rabu pekan ini datang ke Mabes Polri untuk memberikan keterangan, sedangkan Hendry masih terus dalam pengejaran polisi. Gatot Triyanto dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini