MAJALAH The Economist, edisi 3 November 1990, pernah memperkirakan, partai Front Penyelamatan Islam (FIS) di Aljazair mampu menjadi, "The world's first democratically elected Moslem fundamentalist government". Perkiraan itu dibuat sesudah FIS meraih kemenangan gemilang pada pemilu tahun 1990 yang memilih anggota parlemen lokal (semacam DPRD). Pada pemilu babak pertama, untuk memilih anggota parlemen tingkat nasional, akhir Desember lalu, FIS mengulangi kejayaannya: meraih 188 dari 231 kursi yang diperebutkan. Sementara itu, FLN, partai yang berkuasa di Aljazair sejak merdeka, hanya mampu meraih 15 kursi. Tampaknya hanya "keajaiban" yang dapat mencegah naiknya FIS ke tampuk kekuasaan di negara Afrika Utara ini. Pada pemilu babak kedua (direncanakan 16 Januari ini), FIS hanya membutuhkan tambahan 28 kursi. Mungkin itu soalnya bila para pemimpin FIS sudah tidak lagi mempersoalkannya. Yang mereka lakukan kini adalah memasang kudakuda guna memaksakan segera terselenggaranya pemilihan presiden. Keberhasilan FIS yang banyak disebut sebagai "partai kaum fundamentalis" menimbulkan dua macam reaksi dari berbagai kalangan. Pertama, reaksi positif (yang menyambut gembira), antara lain datang dari Iran, Sudan, Pakistan, dan kelompok Mujahidin Afghanistan. Kedua, reaksi negatif (yang takut dan cemas). Reaksi tersebut belakangan ini tampaknya yang lebih banyak. Mereka yang memberikan reaksi negatif, di antaranya, negara-negara Arab sekutu Barat (seperti Mesir, Maroko, Tunisia, Arab Saudi), Israel, dan -- tentu saja -- Eropa dan AS. Mengomentari kemenangan FIS, seorang redaktur The Middle East Economic Digest mengakui "di Eropa selalu ada kekhawatiran atas bangkitnya kekuatan Islam." Menurut seorang ahli masalah Timur Tengah, Dr. Fred Halliday, "Kemenangan FIS mewakili gelombang kedua kebangkitan fundamentalisme Islam. Yang pertama, revolusi Islam di Iran tahun 1979. Secara luas, hal ini menggambarkan yang tersirat dari runtuhnya komunisme, ketika penolakan rakyat atas modernisasi ideologi justru datang dari atas." Pernyataan Halliday sejalan dengan sinyalemen Sekjen NATO beberapa bulan lalu, "Sesudah runtuhnya komunisme, ancaman berikutnya (bagi NATO) adalah fundamentalisme muslim." Apa makna itu semua: keberhasilan FIS dan reaksireaksi terhadapnya? Yang diungkapkan oleh majalah The Economist tentang FIS sebenarnya tidak selamanya tepat. Jika demokrasi diidentikkan dengan kehendak mayoritas rakyat, pembentukan negara Republik Islam Iran pun sesungguhnya masuk dalam kategori ini. Pertama, revolusi Iran itu sendiri sudah pasti akan gagal total jika tidak didukung oleh mayoritas rakyat. Kedua, sesudah jatuhnya Syah, rakyat Iran diberi kebebasan memilih bentuk negara (republik Islam atau tetap monarki) melalui suatu referendum. Perlu diingat bahwa referendum itu terjadi pada masa pemerintahan PM Dr. Mehdi Bazargan, yang oleh media Barat disebut sebagai tokoh moderat. FIS pun sebenarnya bukan partai Islam pertama yang meraih kemenangan dalam suatu pemilu demokratis di dunia Arab. Partai Ikhwanul Muslimin di Yordania, dalam pemilu parlemen November tahun 1989, pun menang. Sebenarnya, jika pemilu bebas juga dilangsungkan di negara-negara Arab lain, khususnya Mesir, Suriah, dan Irak, hal yang sama pun sangat mungkin terjadi. Ironisnya, rezim-rezim penindas di kawasan Timur Tengah selalu diidentikkan dengan Islam. Padahal, di kebanyakan negara Arab, gerakan Islam justru ditindas. Lihat saja, bagaimana Presiden Suriah Hafez Assad menghancurkan gerakan Ikhwan di Kota Hama pada 1982. Di Mesir pun tokoh-tokoh Ikhwan dibantai sesudah terbunuhnya Anwar Sadat. Begitu pula kekejaman yang dilakukan oleh Saddam Hussein terhadap aktivis Islam. Hal yang sama dialami para aktivis gerakan Islam di Saudi, Kuwait, dan Bahrain. Pertanyaannya kini, apakah negara-negara besar yang berpengaruh di dunia Arab, terutama AS, akan membiarkan kebangkitan partaipartai Islam yang muncul lewat jalan demokrasi itu. Atau, justru terus mendukung rezim-rezim otoriter yang menindas gerakan Islam. Kecenderungan yang tampak, jika dilihat dari timbulnya reaksi -- terutama yang negatif -- terhadap kemenangan FIS di Aljazair, agaknya kebijaksanaan mendukung kelanggengan rezim-rezim otoriter yang akan diambil oleh negara-negara besar. Dengan kata lain, Barat akan mencegah terjadinya proses demokratisasi di Dunia Arab. Memang, sejauh ini satu hal yang tidak berubah dari "tesis" politik Barat di Timur Tengah bahwa dengan retorika membela hak asasi manusia dan demokrasi di satu sisi, dan di sisi lain mendukung kediktatoran yang tidak mengancam kepentingan mereka. Artinya, demokrasi yang membahayakan kepentingan Barat harus dicegah. Sebaliknya, kediktatoran yang menjamin kepentingan Barat harus didukung. Yang dimaksud dengan kepentingan Barat di Timur Tengah tidak lain dari Israel dan minyak. Maka, meski Barat (khususnya AS) mendukung dan mendorong proses demokratisasi yang membawa keruntuhan rezim-rezim diktator di Eropa Timur, hal yang sama tidak akan terjadi di Timur Tengah. Mendorong proses demokratisasi di Timur Tengah berarti memberikan peluang bagi kemenangan gerakan "fundamentalisme" Islam yang -- hampir pasti -- akan mengancam kepentingan Barat. Jika asumsi tersebut tidak terlalu meleset, kemungkinan FIS meraih tampuk kekuasaan di Aljazair akan dicegah. Indikasinya sudah mulai tampak. Tel Aviv sudah berteriak, "kemenangan FIS merupakan ancaman paling serius bagi pemerintah-pemerintah Arab dan Israel." Sebuah demonstrasi besar-besaran yang menentang FIS sudah mulai digerakkan di Aljier. Dan yang paling belakangan, mulai diembuskan isu-isu yang menuduh adanya "kecurangan" pada pemilu babak pertama sehingga perlu diulang. Itulah "keajaiban" yang bisa terjadi. * Penulis adalah periset di Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini