DI bandara San Francisco saya terkecoh. Baru saja saya tiba dan sedang celingak-celinguk mencari meja pendaftaran sebuah maskapai penerbangan, seorang pria berdasi dari belakang sebuah podium menyapa saya. Dia menebar sebuah denah dan menunjukkan letak maskapai penerbangan yang saya cari. Tetapi, dia tak berhenti di situ. Dia menunjukkan letak toko buku, letak toilet, dan bahkan letak sebuah kedai hamburger. "Tetapi, gado-gado lebih enak," katanya tiba-tiba dalam bahasa Indonesia. Tentu saya kaget. Dia menebak saya dengan tepat. "Hamburger itu junk food. Sate juga kurang bagus untuk Anda. Tetapi gado-gado sangat istimewa." Dari bawah mejanya, pria itu mengeluarkan sebuah buku berjudul The Higher Taste. Sertamerta saya menyadari bahwa saya terjebak. Beberapa bulan sebelumnya, di bandara Los Angeles saya juga mengalami hal yang serupa. Karena saya menolak membeli, buku itu bahkan diberikan dengan gratis kepada saya oleh kelompok Hare Krishna yang vegetaris. Mereka juga mengajarkan bahwa hanya prasadham (makanan yang sudah disajikan kepada dewa) saja yang boleh dimakan. Kejadian itu tiba-tiba memicu pikiran saya. Indonesia sebagai negara terbesar di dunia yang berpenduduk muslim ternyata tidak cukup menukik dalam mempersoalkan apa yang masuk ke mulut atau apa yang menyentuh kulit seorang muslim atau muslimat. Apakah Anda yakin 100% bahwa makanan yang Anda makan adalah halal? Apakah Anda yakin sampo atau lipstik yang Anda pakai tidak melanggar kaidah agama? Apakah Anda yakin bahwa obat yang diresepkan dokter tidak mengandung sesuatu yang diharamkan oleh agama yang Anda anut? Bagi seorang muslim, semua bentuk keraguan terhadap apa yang halal dan apa yang haram harus ditangani secara serius. Seorang muslim yang membeli benda haram, yang kemudian dipakai oleh seluruh keluarganya, dapat dianggap sebagai penyebar dosa, sekalipun itu terjadi tanpa disadarinya. Selain bumbu masak, mi instan, dan beberapa jenis makanan kalengan, tidak banyak produk makanan olahan yang beredar di pasar Indonesia mencantumkan tanda "halal" pada kemasannya. Jelas, ada peluang di sini: peluang yang telah diabaikan, serta potensi peluang yang akan banyak artinya bila digarap dengan benar. Peluang itu selama ini lebih banyak dimanfaatkan dalam skala kecil. Di daerah-daerah tempat makanan etnisnya mengandung bahan yang diharamkan oleh agama Islam -- seperti Tapanuli, Manado, Bali -- tampil restoran-restoran dan warung-warung makan yang memakai "catatan" warung Islam. Di Denpasar, beberapa tahun yang lalu hanya terdapat sedikit sekali restoran Padang. Tapi, sekarang restoran Padang sudah menjamur di Bali, berbarengan dengan meningkatnya wisatawan dalam negeri. Di kota metropolitan seperti Jakarta tentulah akan menarik bila ada restoran yang menyajikan makanan Cina dengan bahan-bahan serta cara pemrosesan yang 100% halal. Dalam majalah Asian Business edisi September lalu diketengahkan sebuah kasus tentang perusahaan Malaysia yang memproduksi barang-barang konsumsi khusus untuk muslim. Sampo, bedak, dan produk kosmetik bermerek Safi itu khusus dibuat dengan menaati secara ketat kaidah-kaidah Islam. Penjualannya cukup bagus. Tapi, kok tidak cukup laju? Bukankah mayoritas penduduk Malaysia adalah muslim? Lalu diadakanlah riset. Hasil studi itu menunjukkan bahwa konsumen punya citra yang tidak cukup positif tentang produk muslim. Anggapan mereka, produk yang ditujukan secara khusus untuk umat Islam itu justru kuno, murahan, dan inferior. Safi lalu segera mengganti kemasannya untuk menampilkan kesan modern pada produk-produknya. Strategi pemasaran baru pun dirancang untuk menegaskan unsur "halal" pada produk-produknya. Sebuah perusahaan Malaysia lainnya, Zaitun Industri, justru tidak memakai pendekatan kemasan untuk produk-produk kosmetiknya: pasta gigi, sabun, bedak, sampo, minyak wangi, dan lipstik. Kemasannya malah memakai kaligrafi dan motif-motif Arab yang bisa memberikan kesan kuno. "Kenyataan bahwa produk kami adalah produk halal tidaklah ditekankan pada kemasannya," kata eksekutif perusahaan itu, "melainkan melalui product positioning." Iklan produk Zaitun tegas-tegas menyatakan bahwa produknya tidak memakai gelatin (yang bisa dibuat dari lemak babi) dan tidak memakai alkohol. Semua unsur lemak hewani diganti dengan lemak nabati. Slogan yang dipakai adalah: use with peace of mind. Zaitun menggunakan lima jenis film iklan untuk beriklan melalui layar kaca. Definisi "Pasar Islam" itu sendiri mungkin akan mengalami peninjauan dalam waktu dekat ini. Banyak perusahaan besar tidak memperhatikan aspek ini, terutama (mungkin) karena menganggap bahwa populasi Islam terbesar di Indonesia adalah kaum Jawa, yang kebanyakan nonfundamentalis. Sebuah peluang menarik untuk dikaji. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini