Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa tulang pinggul hancur

Saksi ahli itu menilai visum marsinah di bawah standar dan meragukan karena tak menjelaskan penyebab kematian korban.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKA-teki kematian Marsinah seperti tak akan pernah habis. Semakin lama digelar perkaranya, ada saja pertanyaan yang muncul. Padahal, empat terdakwa (Mutiari, Bambang Wuryantoyo, Widayat, dan A.S. Prayogi) yang dituduh terlibat sudah dijatuhi hukuman (TEMPO, 14 Mei 1994). Tapi, rupanya, semua itu belum jadi jaminan bahwa kasus tewasnya pejuang buruh itu terungkapkan dan menjadi jelas. Senin pekan lalu, dalam persidangan terdakwa utama Yudi Susanto (pemilik PT Catur Putra Surya, perusahaan tempat Marsinah bekerja) di Pengadilan Negeri Surabaya, muncul teka- teki baru. Misteri itu mengenai kapan persisnya kematian Marsinah. Juga soal penentuan sebab kematian maupun cara kematiannya. Keremangan itu muncul berdasarkan keterangan saksi Dr. Abdul Mun'im Idris, ahli forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mun'im, yang sebagai ahli forensik diakui secara nasional, dihadirkan oleh pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, dengan status sebagai saksi ahli. Keterangan Mun'im terasa mengagetkan. Dengan tenang, Mun'im mengatakan bahwa visum et repertum yang dibuat oleh Rumah Sakit Dr. Soetomo dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, maupun visum dari Rumah Sakit Nganjuk, di bawah standar. "Visum tersebut tak memenuhi standar visum yang baik," kata orang Jakarta itu. Dalam visum itu, katanya, dokter hanya membedah bagian perut dengan sayatan horisontal. Ini berarti dokter hanya melakukan autopsi parsial, tidak dilengkapi dengan pemeriksaan tambahan pada bagian kepala dan dada. Jadi, hanya ada laporan mengenai organ tubuh dalam perut. Selain itu, visum yang baik mestinya memenuhi unsur: identifikasi mayat, penentuan saat kematian, faktor penyebab kematian, dan bagaimana cara kematian yang dialami korban. Dalam visum dari RS Nganjuk maupun dari RS Dr. Soetomo, hal seperti itu tak diungkapkan. Visum dari Nganjuk didasarkan atas autopsi yang dilakukan pada tanggal 9 Mei 1993, beberapa saat setelah Marsinah ditemukan tewas di sebuah gubuk petani di Dusun Nglundo, Nganjuk. Visum itu menyebutkan, dari pemeriksaan dalam diketahui, korban mengalami luka robek tak teratur, panjang 3 cm. Mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai sedalam rongga perut, dan di dalam luka ditemukan serpihan tulang. Tulang panggul hancur. Selaput dara robek, dan pada lubang kemaluan terdapat darah. Seperti diketahui, lebih dari empat bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1993, jenazah Marsinah, yang sudah dikuburkan di pemakaman umum Nglundo, Nganjuk, atas permintaan polisi, dibongkar, untuk diautopsi lagi di RS Dr. Soetomo, Surabaya. Autopsi berlangsung 1 November 1993, di bawah pimpinan langsung Prof. Dr. Haroen Atmodirono, ahli patologi forensik Universitas Airlangga. Hasil visum: ditemukan patah tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang panggul sebagai akibat kekerasan dengan benda tumpul. Pada persidangan Senin pekan lalu itu, Mun'im menilai, visum dari dua rumah sakit tersebut tak bisa secara pasti menjelaskan penyebab kematian korban. Mun'im juga mempersoalkan kehancuran tulang panggul Marsinah. "Tulang panggul itu adalah tulang yang kuat, jika melihat lukanya, dibutuhkan tenaga yang luar biasa." Memang, tulang wanita lebih lemah daripada tulang pria. Tapi, bagaimanapun, kata Mun'im, bila tulang panggul itu patah, dan penyebabnya lewat sodokan benda tumpul dari arah vagina, tentulah sodokan itu menimbulkan kerusakan hebat pada bibir vagina. Padahal, menurut visum, luka bibir luar vagina tak seberapa. Jadi, kemungkinannya bagian belakang tubuh korban yang dipukul, kata Mun'im. Trimoelja pun bertanya lebih lanjut, untuk mencari kejelasan. Kata pengacara terdakwa itu, jika benar korban dipukul di bagian belakang tubuhnya, tentunya ada memar bekas pukulan. "Namun, dalam visum dokter ternyata tak ditemukan hal seperti itu. Jika begitu, lalu alat apa yang digunakan? Apakah mungkin tulang hancur karena tembakan peluru?" Dengan suara kecil dan perlahan, Mun'im menjelaskan soal luka memar. "Bisa saja tak ditemukan memar atau lecet pada tubuh, karena penampang kayu atau alat yang digunakan memukul lebar. Kemungkinan hancur dengan tembakan memang bisa saja terjadi." Keraguan Mun'im berikutnya tentang bekas sayatan. Menurut dr. Jekti dari RS Nganjuk, ia melakukan sayatan horisontal pada bagian perut korban sepanjang 15 cm. Seharusnya, tim dokter dari RS Dr. Soetomo yang mengautopsi jenazah sekitar empat setengah bulan kemudian bisa menemukan bekas luka sayatan tersebut. Tapi tim RS Dr. Soetomo tak menemukan bekas luka itu. "Jadi, dalam hal ini terdapat ketidaksesuaian," kata Mun'im. Atas dasar ini, Trimoelja bertanya, "Apakah mungkin tim dokter itu memeriksa mayat yang berbeda, atau terjadi kekeliruan membuat visum?" Jawab Mun'im, bisa jadi kemungkinannya seperti itu, karena mayat yang diperiksa tak terdapat kesesuaian. Sebab, sayatan horisontal di perut, mestinya dapat ditemukan kendati telah lima bulan berselang. Selain itu, Trimoelja juga mempersoalkan keadaan Marsinah selama dalam penyekapan. "Menurut keterangan dua pembantu Yudi, selama disekap, 5 hingga 8 Mei 1993, Marsinah tak buang air besar dan kencing. Apakah secara medis ini mungkin terjadi?" "Kalau soal buang air besar mungkin. Tetapi, selama 3 X 24 jam, tidak mungkin manusia tidak kencing. Secara medis manusia kencing sebanyak satu sampai dua liter per hari,"jawab Mun'im. Kini, timbul pertanyaan, apakah hasil visum itu sah. Kata Mun'im, kendati secara medis diragukan, secara hukum visum tersebut sah. Namun, ditegaskannya lagi bahwa visum tersebut tidak memenuhi standar karena tidak dapat menentukan penyebab kematian korban secara pasti.ARM, Jalil Hakim dan Widjajanto (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum