Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat demi Obat

Seorang pasien kanker menggugat Presiden Joko Widodo karena BPJS menolak obat yang dibutuhkannya. Ini bukan kasus pertama.

28 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menggugat demi Obat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK divonis menderita kanker payudara pada Mei lalu, Juniarti menghabiskan hariharinya di rumah. Perempuan yang beberapa bulan sebelumnya baru saja mendapatkan sertifikat sebagai advokat itu memutuskan tidak melanjutkan praktik magangnya di sebuah kantor pengacara di Jakarta."Sekarang mudah lelah," katanya dengan mata berkacakaca.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ditemui Tempo di rumah petak miliknya di kompleks Malaka Asri 1, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu, perempuan 46 tahun itu tampak begitu ringkih. Ia hanya bisa dudukduduk di kursi ruang tengah. Sesekali suaminya, Edy Haryadi, membantu dia berdiri. Karena kondisi istrinya seperti itu, Edy memutuskan bekerja di rumah sebagai penulis. Sebelumnya ia wartawan media online di Ibu Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juniarti baru mengetahui menderita kanker setelah memeriksakan benjolan di sebelah kanan lehernya ke Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih, Jakarta Timur. Dokter lantas memberikan rujukan ke Rumah Sakit Umum Persahabatan, Jakarta Timur. Menurut hasil pemeriksaan laboratorium rumah sakit itu yang keluar pada Mei lalu, Juniarti dinyatakan menderita penyakit kanker payudara HER2 stadium III sehingga harus dioperasi.

Setelah menjalani operasi pada 24 Juni lalu, Juniarti disarankan dokter mengkonsumsi tiga jenis obat. Satu di antaranya trastuzumab. Obat itu adalah jenis antibodi monoklonal yang berfungsi menghentikan pembelahan sel kanker HER2.

Bermodalkan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan milik suaminya yang juga digunakan untuk pembiayaan operasi, Juniarti datang ke apotek rumah sakit setempat buat menebus trastuzumab. Tapi pihak apotek menolak permintaan itu karena trastuzumab sudah tidak ditanggung BPJS. Anggota Staf Humas Rumah Sakit Umum Persahabatan, Zulfikar, enggan mengomentari persoalan tersebut."Saya belum mengetahui datanya," ujarnya.

Juniarti sangat membutuhkan trastuzumab karena mendapat informasi dari sejumlah penderita kanker yang sama bahwa obat itu sangat berkhasiat. Menurut Juniarti, salah satu temannya menderita kanker payudara sejak 15 tahun lalu dan bisa bertahan hidup sampai sekarang karena rajin mengkonsumsi trastuzumab."Informasi ini menguatkan harapan hidup saya," ­katanya.

Melalui Rusdianto Matulatuwa, pengacara pro bononya, Juniarti sempat mensomasi BPJS pada awal Juli lalu. Atas somasi itu, BPJS lantas menggelar pertemuan dengan pengacara Juniarti. Dalam dua kali pertemuan ini, menurut Edy Haryadi, BPJS berkukuh menghapus obat trastuzumab."Kami akhirnya memilih menggugat ke pengadilan," ujar Edy.

Jumat pekan lalu, melalui pengacaranya, ia mendaftarkan gugatan perdata atas keputusan BPJS menghapus obat trastu­zumab. Tergugat utamanya adalah Presiden Joko Widodo."Kami menggugat Jokowi karena dia paling bertanggung jawab sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS," kata Rusdianto. Pasal itu menyebutkan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada Presiden.

Selain menggugat Jokowi, Juniarti menggugat sejumlah pihak lain yang dianggap ikut bertanggung jawab. Mereka adalah Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, dan Ketua Dewan Pertimbangan Klinis Agus Purwadianto.

Adapun obyek gugatannya adalah Surat BPJS Nomor 2004/III.2/2018 mengenai Penjaminan Obat Trastuzumab bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat 2018. Surat tertanggal 14 Februari 2018 itu diteken Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Maya Amiarni Rusady. Surat ini menjadi dasar hukum BPJS tidak lagi menjamin penggunaan trastuzumab bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

Dalam gugatan tersebut, Juniarti mengajukan dalil hukum bahwa penghapusan obat trastuzumab bukan kewenangan BPJS. Menurut Juniarti dan pengacaranya, kewenangan menghapus obat seperti trastuzumab bukan berada di BPJS, melainkan Menteri Kesehatan. Argumen ini mereka perkuat dengan melampirkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/659/2017 tentang Formularium ­Nasional.

Salah satu butir keputusan Menteri Kesehatan itu menyatakan penambahan atau pengurangan daftar obat yang tercantum dalam formularium nasional ditetapkan Kementerian Kesehatan. Trastuzumab termasuk salah satu obat yang tercantum dalam daftar formularium nasional.

Guru besar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, sependapat dengan Juniarti. Menurut bekas anggota tim penyusun UndangUndang Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ini, keputusan penghapusan obat dalam daftar formularium nasional merupakan kewenangan Menteri Kesehatan."BPJS didirikan bukan untuk mencari untung, tapi mengedepankan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan," ujarnya.

Dua tahun lalu, warga Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, Zefnarawita, mengajukan gugatan serupa kepada Dewan Pertimbangan Klinis. Zefnarawita adalah penderita kanker payudara yang mengajukan sengketa klinis karena BPJS menyetop jaminan trastuzumab kepadanya di tengah jalan. Belakangan, gugatan itu ditolak.

Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji memanggil pimpinan BPJS terkait dengan gugatan ini."Akan saya tanyakan ke BPJS Kesehatan karena yang mengatur boleh atau tidak mereka," katanya. Dimintai konfirmasi soal ini, Agus Purwadianto dan Maya Amiarni Rusady meminta Tempo menghubungi bagian humas BPJS.

Kepala Bagian Humas BPJS Nopi Hidayat mengatakan keputusan menghapus trastuzumab sudah sesuai dengan ketentuan."Dewan Pertimbangan Klinis pun tetap konsisten dengan keputusan Menteri ­Kesehatan tersebut," ujarnya, Jumat pekan lalu.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir tahun lalu, BPJS mengusulkan pembiayaan delapan penyakit katastropik yang berbiaya tinggi menggunakan skema cost sharing. Model ini menerapkan skema pembiayaan bersama antara BPJS dan pasien atau keluarganya. Penyakit yang tergolong katastropik adalah penyakit jantung, ginjal, kanker, stroke, dan leukemia.

Menurut BPJS dalam rapat dengar pendapat itu, pembiayaan untuk sejumlah penyakit katastropik menjadi penyebab utama defisit anggaran. Lembaga itu hingga kini masih terbelit defisit keuangan. Sepanjang 2017, total penerimaan BPJS dari iuran peserta Rp 74,25 triliun. Pada saat yang sama, BPJS Kesehatan harus membayar klaim Rp 84 triliun. Ada selisih kekurangan sekitar Rp 10 triliun yang harus ditanggung BPJS.

Nopi Hidayat tidak menampik soal ini. Menurut dia, cakupan layanan kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional terlalu luas sehingga perlu disesuaikan dengan kebutuhan peserta dan kemampuan keuangan BPJS."Hal ini diperlukan untuk kehatihatian," katanya.

Juniarti menyadari upayanya menempuh jalur hukum membutuhkan waktu yang panjang. Hakim, menurut dia, bisa saja memutus gugatannya itu setelah kanker merenggut nyawanya."Saya sangat berharap hakim mau mengabulkan permohonan ini agar hal yang sama tidak terulang pada penderita kanker payudara yang lain," ujar ibu satu anak ini, terisak.

Rusman Paraqbueq, Aditya Budiman

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus