BARU empat bulan Prof. Dr. Baharuddin Lopa, 53 tahun, menjadi Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman. Ada terobosan baru, untuk membina narapidana, diperkenalkan bekas Staf Ahli Menteri Kehakiman itu. Antara lain, diungkapkan Lopa dalam acara Kajian Hukum Pidana di Universitas Indonesia Rabu dan Kamis pekan lalu, mengajak dan melibatkan pihak swasta dalam pembinaan narapidana. Gagasan itu dituangkannya dalam konsep pembinaan narapidana, berciri terbuka dan produktif. Dengan konsep ini, ekses negatif yang selama ini terjadi di lembaga pemasyarakatan (LP) bisa dikikis. Dan, "Setelah menjalani hukuman, narapidana bisa lebih mandiri, tidak lagi mengharap pekerjaan dari masyarakat," ujar Lopa di depan sekitar 70 orang peserta kajian itu, di antaranya pengacara kawakan Yap Thiam Hien, beberapa dosen fakultas hukum, dan anggota Komisi III DPR. Menurut Lopa, dengan pembinaan terbuka, narapidana diberi kesempatan seluasluasnya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Untuk itu, tentu saja diperlukan buku dan peralatan, di samping kesempatan. Tapi yang menarik pada konsep Lopa itu adalah pembinaan produktifnya. Dalam konsep ini, keterampilan si terpidana tak hanya didayagunakan bagi kepentingan narapidana ataupun keluarganya. Tapi juga untuk negara. Tempat pembinaan juga bukan cuma di balik tembok. Caranya, pihak swasta akan diundang dan dilibatkan untuk menggunakan tenaga dan jasa mereka dalam perusahaan atau proyek-proyek. Contohnya, pada proyek pembangunan tambak udang di Kendal -- kerja sama antara Departemen Kehakiman dan sebuah perusahaan swasta. Di proyek itu, sekitar 20 orang narapidana ikut bekerja. Makan mereka ditanggung. Setiap napi mendapat honor Rp 2 ribu per hari. Dari pendapatan itu, separohnya untuk negara, seperti perbaikan prasarana LP dan lain-lain. Sisanya menjadi hak si narapidana -- 25% untuk biaya kebutuhan sehari-hari, dan selebihnya dimasukkan ke Tabanasnya. Lopa merasa tidak perlu khawatir karena napi yang dipekerjakan di luar tembok memang sudah diseleksi. "Mereka tidak akan lari," ucap Lopa, bekas Kajati Sulawesi Selatan yang menjadi beken setelah menggebrak kasus korupsi Tony Gozal. Syaratnya, pihak swasta harus menepati kewajibannya: memberi makan yang layak dan upah yang tepat waktu. Begitu juga para petugas LP. "Kalau bisa, narapidana itu diberi tahu perkembangan isi Tabanasnya," ujar Lopa. Konsep pembinaan itu, menurut Lopa, hanya bisa diterapkan dengan cara pendekatan edukatif dan persuasif, sehingga harga diri mereka bisa tumbuh. Namun begitu, bukan berarti aspek keamanannya diabaikan. Sebab, hanya para narapidana dengan minimum security, biasanya telah menjalani setengah atau lebih dari masa hukumannya, dan berkelakuan baik yang bisa dipekerjakan di luar tembok. Gagasan Lopa itu cukup mempesona, paling tidak bagi yang hadir pada acara itu. "Ide itu amat manusiawi," ujar Pengacara Yap Thiam Hien terharu. Lain lagi Guru Besar FH Universitas Padjadjaran, Romly Atmasasmita, yang menganggap gagasan melibatkan pihak swasta itu di luar negeri pun tidak ada. "Gagasan itu bagus. Sebaiknya memang LP yang memulai. Kalau kita menunggu masyarakat, tidak akan ada jalan keluarnya," kata Romly. Sementara itu, Martin Hutabarat, anggota Komisi III DPR, mengingatkan syarat kelayakan seorang narapidana yang bisa dikaryakan. "Selain syarat minimum security, harus dipertimbangkan juga. keselamatan narapidana bila berada di luar LP," kata Martin. Terpidana kasus narkotik, residivis, atau pelaku kejahatan yang meresahkan masyarakat, katanya, sebaiknya tidak dipekerjakan pada proyek swasta tadi. Mungkin mereka yang masih "bahaya" itu tetap dibina untuk menjadi produktif di balik tembok seperti pola pembinaan LP selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini