Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat sebuah teluk

Pembangunan kawasan bisnis di teluk yos soedarso ditentang suku chaay. mereka mengklaim perairan itu sebagai hak ulayat turun-temurun.

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN sembarang menimbun laut karena bisa berbuntut ke pengadilan. Di Jayapura, Pendeta Silas Chaay sedang menyeret Pemda Tingkat I Irian Jaya, Pemda Tingkat II Jayapura, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Irian Jaya, dan PT Jayapura Pasifik Permai ke pengadilan. Kepala suku Chaay ini di Jayapura dikenal sebagai tetua masyarakat adat Kayu Pulo menuding keempat tergugat telah melawan hukum dengan menguasai secara tidak sah perairan Teluk Yos Soedarso, yang diklaim penduduk setempat sebagai tanah ulayat mereka. Teluk Yos Soedarso, bagi suku Chaay, merupakan wilayah Numbiai Raro daerah ulayat. ''Kawasan ini telah jadi tanggung jawab adat masyarakat Kayu Pulo secara turun-temurun. Karena itu, suku Chaay punya hak memiliki, menguasai, dan memungut hasil-hasilnya,'' kata Pendeta Silas. Kepemilikan suku Chaay itu seperti tak dihiraukan tergugat. Februari 1991, PT Jayapura, tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba saja mendatangkan puluhan truk dan buldozer ke sana. Mereka melakukan pengurukan di sana. PT Jayapura, kata Silas, telah menguasai hak ulayat mereka tanpa pelepasan secara adat. Di kawasan reklamasi itu, menurut rencana, akan dibangun Pusat Niaga Jayapura Permai, sebuah kawasan bisnis raksasa seluas delapan hektare. Di situ akan berdiri hotel, kompleks perkantoran, pusat perdagangan, dan rumah hunian. Kawasan yang berdampingan dengan daerah pelabuhan laut Jayapura memang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Begitu strategisnya lokasi itu, PT Jayapura tak takut-takut menanamkan uang sampai Rp 250 miliar di sana. Apa sesungguhnya yang diinginkan penggugat dengan menggelar perkara ini di pengadilan? Ternyata suku Chaay menginginkan ganti rugi atas daerah ulayat mereka sejumlah Rp 40 miliar ditanggung renteng keempat tergugat. Untuk memperkuat gugatan mereka, Pendeta Silas menunjuk dokumen tahun 1956 yang dikeluarkan pemerintah Belanda selaku penguasa Irian Barat (kini Irian Jaya) waktu itu, yang menjanjikan ganti rugi masing-masing sebesar 100.000 gulden kepada kepala-kepala adat setempat sebagai pembayaran atas pelepasan hak ulayat mereka. Sebagian kepala adat yang punya tanah ulayat di sekitar Jayapura sudah menerima ganti rugi itu. Ganti rugi untuk masyarakat Kayu Pulo, kata Silas, belum direalisasi sampai Irian Barat direbut Indonesia. ''Kawasan itu tak pernah kami lepaskan kepada siapa pun hingga sekarang,'' kata Pendeta Silas. Kuasa hukum Kantor Wilayah BPN menolak teori Silas. Dalih mereka, semua daerah bekas peninggalan Belanda otomatis penguasaannya ada pada negara. Alasan itu diperkuat J.I. Renyan, kuasa hukum Pemda Irian Jaya, yang menyebutkan bahwa ganti rugi Numbiai Raro telah dibayarkan bahkan sampai dua kali. Pertama, tahun 1956, diberikan pemerintah Belanda kepada masyarakat Kayu Pulo. Kedua, tahun 1962, setelah Irian Barat direbut Indonesia, pembayaran ganti rugi diulangi, dan diberikan kepada masyarakat Enggros dan Tobati yang tinggal di tanah ulayat yang sekarang disengketakan. Atas dasar ganti rugi itulah, kata Renyan, pemerintah berani membangun pelabuhan laut Jayapura. Ia menambahkan, sejak 1962 masyarakat Kayu Pulo tak pernah lagi mengolah tanah di sepanjang pesisir Teluk Yos Soedarso untuk kehidupan mereka. Jawaban Renyan itu ternyata mengandung banyak kelemahan. Kalaupun pembayaran itu ada, kata Silas, coba tunjukkan bukti- buktinya. Jurus Silas ini ternyata cukup membuat Renyan repot. Sekalipun dokumen itu ada, hakim menganggapnya belum lengkap. Kelengkapan surat bukti ini tampaknya akan menjadi soal tersendiri. Maklum, pembayaran itu terjadi pada masa transisi, ketika peralihan dari pemerintah Belanda ke Indonesia baru saja dimulai, sehingga surat-surat belum terdokumentasikan dengan baik, dan sebagian malah sudah hilang. Tak mengherankan bila Pemda Irian Jaya kesulitan untuk memperlihatkan bukti-bukti otentik di persidangan. Lalu, akankah kasus ini dimenangkan suku Chaay? Belum tentu. Soalnya, Perum Pelabuhan IV Jayapura juga mengaku berhak atas wilayah itu. Melalui administratornya, M.R. Tampubolon, badan usaha negara ini menegaskan bahwa tak seorang pun di Indonesia yang mempunyai hak milik atas laut. Kawasan sengketa itu, katanya, merupakan tanah negara yang dikuasakan kepada Perum Pelabuhan IV. Tampubolon juga keberatan dengan reklamasi yang dilakukan PT Jayapura. Keberatan Tampubolon adalah, jika terlaksana, pembangunan pusat perdagangan dan perkantoran itu akan mengganggu kelancaran lalu lintas kapal di Pelabuhan Jayapura. Klaim Tampubolon atas kemutlakan penguasaan laut itu tak bisa diterima Direktur LBH Jayapura, Bambang Widjojanto, dengan dalih belum diatur undang-undang. Tentang tuntutan masyarakat Kayu Pulo atas perairan Teluk Yos Soedarso, itu adalah hal yang wajar karena di Irian Jaya memang ada hak ulayat atas tanah laut. ''Kebiasaan itu sudah diwariskan turun-temurun,'' kata Bambang Widjojanto. Gugatan atas perairan Teluk Yos Soedarso ini berkembang rumit karena banyak pihak berkepentingan, dan semuanya punya dalih kuat. Siapa pemilik sah kawasan itu juga belum jelas karena persidangan masih berlangsung. Satu hal yang pasti, pembangunan pusat bisnis itu tak terhenti. Dwi S. Irawanto dan Mochtar Touwe (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus