YOK opo, Cak! Sebagai arek Jawa Timur, malu saya, Cak.'' Keluh saya pada Cak Mat Rais. ''Lo, masih punya malu to sampeyan? Buat apa? Malu saja kok disayang-sayang. Dibuang saja barang ndak berguna itu. Di zaman keterbukaan jangan malu-malu.'' Mat Rais memang sudah lama membuang malunya. ''Bagaimana ndak malu. Sedulur-sedulur saya orang Jawa Timur akhir-akhir ini ada yang aneh-aneh saja aibnya. Seperti kembali ke zaman sepur lempung, atawa zaman Ken Arok. Sadis bin mentoloan!'' ''Lo, memang anak cucunya Ken Angkrok kok. Mau nyuduk, suduk saja. Sakit hati sama orang, dipisuhi saja. Tidak mempan, di dor beres. Urusan belakang. Nanti toh selalu ada pihak ketiga. Itu biar jadi kambing hitamnya. Nanti kan disate sama opini publik.'' ''Cak Rais ini memang selalu bersemangat kalau urusan mbelani anak buah atau teman. Tapi sampeyan pikir rada panjang yak apa? Apa ndak malu sampeyan sebagai orang Jawa Timur kena aib bertubi-tubi itu. Marsinah di Nganjuk diedet-edet, ndak tahu oleh siapa. Polisi Madiun melindungi tahanannya disamber peluru dadanya, belum tahu oleh siapa. Sekarang Wakgus Somoki ketembak di Nipah Madura, sampeyan cari pihak ketiga pula. Malu ah, Cak!'' ''Lo, kalau memang kebelet malu, ya maluo! Wong di Surabaya ini orang yang kudu malu ndak ditarik bayaran, kok! Kalau saya? Bangga. Inilah kampung saya, beritanya banyak mengenai peristiwa gede yang menyangkut orang kecil. Di tempat lain, kan peristiwa kecil menyangkut orang gede.'' ''Wong mereka sudah hampir lima puluh tahun, kok masih main tembak-tembakan, paten patenan to, Cak. Berjuang ya berjuang. Tapi kalau musuh yang gede sampeyan ndak berani nembak, jangan lantas yang kecil-kecil sampeyan biarkan diberondongi begitu!'' ''Lo, kamu ini kan main sensasi. Kalau ngomong jangan pakai brondong begitu. Kan cuma jagung yang bisa dibrondong. Cari, dong, pihak ketiganya! Cari itu aktor intelektualnya! Yang menghasut kek. Yang memanas-manasi kek. Yang menjadi otak penggeraknya kek, gitu. Cari itu sampai ketemu!'' ''Waduh, ya repot, Cak. Kalau kambing hitamnya mesti pihak ketiga. Kalau ada pihak ketiga, mestinya kan ada pihak kesatu dan pihak kedua. Lalu peran utamanya pihak yang mana?'' ''Lo, rakyat kita itu kata kamu kan baik-baik! Jadi, kalau ada yang tidak baik, itu mesti bukan arek Jawa Timur. Oknum kek. Penyusup kek. Mbok sampeyan itu membela saya sedikit yak apa, sih? Bosen saya kamu pojokkan terus-terusan!'' ''Cak Mat Rais ini aneh! Kalau lagi bahagia dan suka cita, suka mojok sendiri. Ndak mau bilang-bilang sama cs-nya. Tapi kalau lagi gelap pikirnya, bak Lembu Peteng di arena terang benderang begitu, masih juga merasa dipojokkan!'' ''Bukan begitu. Jangkrik kon ini! Coba lihat itu Marsinah. Kan buntut-buntutnya ada mata-mata asing di Surabaya? Polisi Madiun itu, kan ada supir sableng yang kebut-kebutan hingga menyambar nyawa orang? Kok saya terus yang kamu pleter. Tak saduk sisan kapok kon!'' ''Lo, katanya mau negara hukum to, Cak. Kalau perlu rundingan, ya diajak rundingan dulu. Ada rembug ya dirembug. Kalau orang sudah minta sepora, minta omong, ya dilayani. Wong sampeyan ini pemimpin, tugasnya ngemong rakyat. Kok kereng banget rek sama rakyat momongannya.'' ''Hukum ya hukum. Tapi negara ini bukan diperintah dengan hukum rimba. Juga bukan dengan hukum karma. Karena itu, saya tidak takut. Mau hukum, ada tata caranya. Ndak rame-rame seperti mau ngraman petugas yang lagi menjalankan tugas begitu. Dianggapnya mereka itu apa? Itulah salahnya, secara hukum, menghalang-halangi petugas yang sedang melaksanakan perintah atasannya!'' ''Wah, galake, Rek! Pantes dari dulu dipilih jadi benggol. Pak Sakerah saja ndak berani, sih, sama siapa saja. Coba, sama bini kalau sampeyan Cak Mat Rais berani?'' ''Jangan buka rahasia orang Jawa Timur. Biar Pak Sakerah juga ndak berani sama bininya. Tapi kalau sama bini orang lain, belum tentu saya tidak berani.'' ''La, kalau bini orang itu bukan pihak ketiga, apa sampeyan ya berani to, Cak?'' ''Mau pihak ketiga kek, pihak keempat kek, saya tidak peduli. Pokoknya, ada indikasi!'' ''Indikasinya apa misalnya saja!'' ''Lo, gampang to? Coba lihat dompetnya. Kalau ada uang, usut itu dari mana asalnya. Jangan-jangan dari mata-mata musuh. Kalau ada ngilon atau cerminnya, tanyakan apa maksudnya. Siapa tahu, cermin itu untuk memberi kode pada para pengikutnya. Perhatikan jalannya. Kalau pincang semua, itu tandanya ada isyarat, mereka termasuk gerakan ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Kalau yang besar di depan yang kecil di belakang, itu taktik gajah ngraman, mesti jahat maunya. Lihat saja primbon Betal Jemur! Kamu itu naif sih dalam urusan spion menyepion ini.'' ''Wakgus Tarip yang dukun tiban itu juga punya primbon Betal Jemur, Cak. Perut kembung dikepyok daun kelor keluar jarum dan pakunya, itu pertanda penyakit dibikin orang. Koreng menahun ndak sembuh-sembuh, dikibas daun pisang muda keluar jentik- jentiknya, itu penyakit kesambet pohon Sambi.'' ''Lo, kok kamu tahu? Di buku Betal Jemur saya, kok, tak ada yang begituan!'' ''Tentu saja tidak ada. Wong Wakgus Tarip itu dukun ketiban awu anget. Jadi, ngomongnya ya asal njeplak saja.' ''La, paku dan jentik-jentiknya itu dari mana?'' ''Saya kan pernah jadi asistennya Wakgus Tarip. Saya yang naruh jarum dan paku itu. Saya juga disuruh menyebar jentik- jentik itu. Saya iba saja sama Wakgus. Wong lagi ketiban awu anget kan mesti saya tolong!'' ''Oooo.... Dasar sontoloyo kamu! Sudah pulang sana. Jangan nggrecoki orang lagi mumet. Cukup Cak Nur saja yang mengurusi peradaban Jawa Timur.'' ''Kan perlu regenerasi dan suksesi Cak. Cak Mat Nur kan perlu pula mewariskan nilai-nilai luhur kebudayaan Majapahit.'' ''Ini bukan Majapahit. Ini Majanipah. Zamannya lain, kiatnya pun lain. Kalau saya marah, ya sepora-nya saja. Terpaksa. Habis, marah itu salah satu tugas pamong juga lo, Rek!''
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini