Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nipah: antara dua logika

Pemilik lahan waduk nipah punya logika. mereka jangan diremehkan, kalau dikaji secara bijaksana akan terasa tinggi kadar rasionya.

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN besar masyarakat Indonesia, saya percaya, banyak yang belum tahu di mana Sampang, apalagi Nipah. Yang mereka tahu, dari pelajaran Ilmu Bumi waktu di sekolah rakyat, di utara Jawa Timur ada Pulau Madura dengan hasil utamanya garam. Dan makanan utama orang Madura itu jagung, mereka sangar-sangar, tak segan membunuh dengan celuritnya kalau sudah menyangkut harga diri. Sampang dan Nipah sekarang muncul ke permukaan, menjadi topik menarik karena di situ jatuh korban demi sebuah pembangunan. Sampang dan Nipah mencuatkan solidaritas para aktivis mahasiswa, ulama, dan politisi baik pada tingkat lokal maupun pusat. Para aktivis lembaga swadaya masyarakat dan hak asasi manusia di dalam dan luar negeri pasti sudah pasang kuda-kuda untuk memberikan catatan akhir tahun. Mengapa pembangunan sampai harus mengorbankan sesama? Mereka semua warga negara kesatuan ini juga yang cinta damai seperti yang sering diungkapkan oleh para pemimpin kita. Tragis sekali. Pada hemat saya persoalan Waduk Nipah adalah persoalan antara dua logika yang tak saling ketemu, logika pejabat dan logika wong cilik atau kawula alit. Logika ekonomi yang rasional dari pejabat dan logika untuk menghindari risiko karena keterbatasan yang dimiliki masyarakat kecil. Dalam benak pejabat, membangun waduk adalah kewajiban yang diamanatkan oleh GBHN. Terbayang dalam pikiran mereka betapa besar manfaat waduk tersebut. Pengairan menjadi lancar, produksi padi dan palawija meningkat, energi listrik bertambah, industri akan maju benih ikan dapat ditaburkan, gizi masyarakat pun akan membaik pariwisata dengan sendirinya akan tumbuh, pendapatan pemda tingkat II bertambah, dan seterusnya. Semuanya dihitung dengan tingkat rasional yang tinggi. Perhitungan untung rugi inilah logika para pejabat, kalangan birokrat yang ada di Jakarta, Surabaya, dan Sampang. Mereka individu-individu yang sangat rasional, dan individu seperti itu akan selalu mencari dan meningkatkan manfaat setiap tindakan yang diambilnya, dan manfaat harus diperoleh secara maksimal: baik yang kelihatan ataupun tidak, yang langsung ataupun tak langsung, untuk kepentingan pemerintah ataupun diri sendiri. Kok untuk diri sendiri juga? Diakui atau tidak selalu ada kaitannya. Proyek yang sekian miliar rupiah tersebut akan dibawa ke daerah. Para kontraktor tentu saja akan berdatangan, dan harus kulo nuwun kepada pejabat daerah kalau mau mencari proyek. Mereka tentu tak akan datang dengan tangan kosong. Atau, kalau proyek itu berhasil, si pejabat akan diekspose secara nasional karena akan diresmikan oleh pejabat dari Jakarta, minimal menteri. Maka, dia akan dikenal sebagai pejabat yang berhasil, dan tentu ada imbalannya siapa tahu diperpanjang masa jabatannya. Logika seperti itu ditopang lagi dengan citra diri yang sudah melekat kuat di kalangan birokrat kita. Sering kita dengar bahwa pejabat itu pengayom, pelindung, ngemong-among. Pejabat kita pada umumnya merasa diri benevolent, sangat pintar, mau melindungi, pemurah, baik hati. Bagi mereka membangun dam, sekolah, jalan, rumah sakit, dan lainnya adalah refleksi benevolensi mereka, karena kebaikan hati mereka. Di mata mereka rakyat itu tidak tahu apa-apa, bodoh, dungu, dan harus atau wajib tunduk, patuh, setia, taat kepada pejabat atau pemerintah. Rakyat harus obedient, mereka masih perlu dididik. Mereka tidak mengerti kalau ada rakyat yang protes akan kebaikan mereka, yaitu membangun. Itulah wajah birokrasi kita. Bagaimana dengan masyarakat atau rakyat kebanyakan? Masyarakat petani di Asia Tenggara, termasuk di Jawa, hidup dalam tingkat pas-pasan, ekonomi mereka adalah ekonomi subsistensi, kata James Scott. Apa yang didapat hari ini, itu yang dimakan, tak ada yang dapat ditabung. Tanah mereka sangat kecil, di Jawa rata-rata 0,22 ha untuk satu keluarga dengan empat anak. Kebanyakan mereka sangat bergantung pada kemurahan alam. Kalau terjadi kemarau panjang, malapetaka pasti muncul, demikian juga dengan banjir, hama wereng, ulat, tikus, dan lain-lain. Dengan demikian, risiko hidup mereka sangat tinggi. Kepastian masa datang tak jelas. Karena itu, logika yang mereka pakai bukan meningkatkan manfaat tiap langkah yang diambil, tapi bagaimana mengurangi atau meminimalkan risiko. Bagi mereka, sekali saja salah memilih, risikonya berat sekali bisa-bisa mereka tak makan berbulan-bulan. Membangun waduk? Apa manfaat bagi mereka? Tanah mereka dipakai untuk pembangunan, lalu akan ke mana mereka? Adakah lapangan pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan? Apa hidup mereka akan lebih baik? Bagaimana sekolah anak-anak? Di mana mereka tinggal karena rumah mereka sudah harus digusur dan ditenggelamkan? Segala sesuatu bagi mereka masih sangat kabur, kepastian masa datang tak ada. Masyarakat yang seperti itu akan cepat kecewa dan frustrasi, apalagi ditambah dengan ikatan emosional mereka dengan tanah yang secara turun-temurun sudah mereka miliki: sawah, sumber kehidupan mereka dari nenek moyang. Kekecewaan itu akan bertambah dengan prosedur yang tak menjamin hidup mereka akan lebih baik, proses pelepasan tanah yang sepihak, sikap aparat yang sok pintar, sok kuasa, dan lain-lainnya. Tak jarang harga semeter tanah dinilai lebih rendah dari sebungkus rokok Dji Sam Soe para eksekutif di Jakarta. Maka, janganlah mereka diremehkan. Mereka juga mempunyai prinsip-prinsip logika sendiri yang kalau kita kaji secara bijaksana akan terasa tinggi juga kadar rasionya. Jadi, tidak hanya pejabat yang rasional, rakyat kebanyakan juga demikian. Dahulu Kedungombo, kemudian pelebaran jalan Solo-Yogyakarta, dan sekarang Waduk Nipah. Mengapa kita tidak belajar dari pengalaman kita?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus