Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang diseret santet

Seorang yang dituduh tukang santet divonis pengadilan negeri jayapura dengan pasal pembunuhan biasa. akibat pengadilan kesulitan bukti atau terobosan hukum?

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sejarah persantetan agaknya baru kali ini orang yang dituduh sebagai tukang santet dijatuhi hukuman lewat pengadilan. Kasus hukum langka itu terjadi di Jayapura, akhir September lalu, dengan mendudukkan Lukas Malisa, penduduk Tanjung Ria, sebagai tersangka. Ia divonis 12 tahun penjara oleh majelis hakim, yang diketahui Steve Tewernusa, yang menyidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Jayapura. Lukas dinilai hakim terbukti telah melakukan pembunuhan atas Yunus Rante Tarik Masaka, juga warga Tanjung Ria, dengan perantaraan ilmu santet. Ternyata hukuman itu masih dinilai rendah oleh keluarga korban. Sesaat setelah hakim mengetukkan palu, sumpah serapah berhamburan dari mulut janda Yunus, yang menyebut hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan. Tak hanya itu aksi yang dilakukan keluarga mendiang. Ketika Lukas dibawa ke luar ruangan pengadilan, buruh bangunan itu langsung dikeroyok mereka, dan babak belur. Betulkah Lukas menyantet Yunus? Peristiwa yang mengantarkan Lukas ke kursi pesakitan, seperti diuraikan Jaksa Pudji Basuki Setijono dalam dakwaannya, terjadi pada dinihari 6 Januari 1993. Hari itu, Lukas, yang tinggal serumah dengan Yunus, tiba-tiba saja melaksanakan dendamnya pada teman sekampungnya tersebut. Terdakwa sakit hati pada mendiang karena terus-menerus mengancam akan mengusirnya dari rumah itu. Kesempatan untuk menghabisi musuhnya dilihat Lukas terbuka setelah ia menyaksikan Yunus tidur sendirian. Istri mendiang kebetulan sedang pulang kampung ke Toraja. Untuk memuluskan rencana pembunuhan itu, Lukas, menurut jaksa, memakai ilmu santet. Caranya dengan menusukkan sebuah jarum yang telah diberi mantra-mantra ke lengan korban. Kendati hanya sebuah jarum, karena sebelumnya sudah diberi mantra- mantra santet, kata jaksa, itu membuat Yunus pingsan. Setelah itu Lukas meminumkan minyak tanah sebanyak lima teguk kepada korban. Yunus kemudian dibungkus dengan selimut, lalu dibuang ke semak-semak. Sehari kemudian, korban ditemukan tak bernyawa. Jaksa, yang menuntut Lukas 15 tahun penjara, menyebutkan adalah dengan bantuan ilmu santet itu terdakwa bisa dengan leluasa menghabisi Yunus. Lantaran pasal tentang santet tak ada dalam KUHP, Pudji menjerat tersangka dengan pasal pembunuhan biasa. Ketika hakim menjatuhkan vonis untuk tersangka, bahan yang jadi pertimbangan utama, selain pengakuan terdakwa dalam sidang, juga visum dokter yang menyebutkan Yunus meninggal karena keracunan minyak tanah. Hakim tak menyinggung proses yang menyebabkan korban pingsan, yang disebut jaksa akibat pengaruh ilmu santet. ''Tuduhan melakukan pembunuhan terbukti. Tapi, bukan akibat santet melainkan karena diberi minum minyak tanah,'' kata Hakim Ketua Steve Tewernusa. Bisa dimaklumi kalau hakim berpegang pada rumusan delik pembunuhan yang ada, dengan mengesampingkan santet. Jika mereka berpatokan pada santet, jelas tak ada dasarnya untuk menghukum tukang santet. Lagi pula, pembuktiannya rumit. Jaksa Pudji, misalnya, tak berhasil membawa barang bukti jarum, yang disebut-sebut sudah diberi mantra-mantra santet. Lukas menyebut hukuman yang dijatuhkan pada dirinya amat berat. Ia mengaku tak melakukan pembunuhan itu. Pembela Hendrik Tomasoa, yang menganggap tuduhan terhadap kliennya amat lemah, langsung menyatakan banding. Alasan Hendrik, dari 12 saksi yang diajukan, tak satu pun yang mengetahui terdakwa pernah belajar ilmu santet. Mereka juga tak melihat saat terdakwa membunuh Yunus. Jaksa dinilai Hendrik telah gagal menghadirkan barang bukti kunci, berupa jarum yang disebutnya sebagai penyebab pingsannya korban. ''Pembuktian itu hanya didasarkan pada pengakuan terdakwa di hadapan penyidik seperti yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan (BAP),'' kata Hendrik. Pembela juga heran mengapa jaksa, yang jelas-jelas menyebut kematian korban akibat santet, tak membuktikannya secara formal. ''Jaksa mencampuradukkan fakta rasional dan irasional,'' tambah Hendrik. Ia juga menilai pengadilan terlalu berpegang pada pengakuan yang tertuang dalam BAP. Menanggapi vonis yang dijatuhkan pada terdakwa, Bambang Poernomo, guru besar Hukum Pidana pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bisa memaklumi jika hakim mengesampingkan santet dalam pertimbangan hukumnya. Delik formal santet belum diatur dalam KUHP. Hakim, katanya, berhak memilih dakwaan jaksa (santet dan tindak pidana pembunuhan) yang rasional saja. Asal salah satu dakwaan dalam hal ini dakwaan terhadap fakta rasional (perbuatan pidana yang mengakibatkan kematian) bisa diperiksa dan dibuktikan pengadilan. ''Fakta yang tak masuk rumusan KUHP (santet) itu hanya berupa berita acara, bukan merupakan rumusan delik,'' ujar Bambang. Dimasukkannya santet dalam dakwaan jaksa dinilai sah-sah saja karena jaksa memang punya wewenang mengungkapkan semua fakta tentang suatu perbuatan pidana, baik fakta rasional maupun fakta irasional. Fakta irasional yang ada dalam KUHP sekarang ini hanyalah perbuatan membohongi orang untuk bisa melakukan sesuatu dengan menggunakan jimat (pasal 545 dan 546 KUHP), tapi pasal ini tak menyebut dengan jelas soal santet. Aries Margono dan Mochtar Touwe (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus