SIDANG tilang kini tak cuma ketok palu dan bayar denda. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa pekan ini, berlangsung sidang tilang unik: dihadiri lengkap oleh pengacara, hakim, jaksa, dan tentu saja -- terdakwa. Sang terdakwa, Noor Ali dan Haryono, memang cuma sopir. Tapi mereka telah membuka lembaran baru. Mereka menolak idang tilang dengan sistem rol -- sidang borongan yang lazim dilakukan untuk perkara summier (ringan) dengan banyak terdakwa sekaligus -- seperti dilakukan pada tilang-tilang di mana pun. Kedua orang itu, untuk sidang yang biasanya hanya dihukum denda itu, meminta bantuan penasihat hukum. "Sebab, kami tak salah. Tapi kami tctap ditilang," tutur kedua sopir itu, tegas. Pertengahan November lalu, Noor Ali, 43 tahun, dan Haryono, 26 tahun, memasuki Jalan Pahlawan, Surabaya. Di depan sebuah toko, keduanya memarkir truk masing-masing. Ketika itulah dua petugas polisi lalu lintas, Koptu Tari Soepomo dan Peltu Sapii, datang menghampiri mereka. "Apa Saudara tidak tahu ada tanda larangan masuk?" tanya sang petugas. Noor Ali dan Haryono terkejut. Itu pertanyaan aneh, pikir mereka. Di ujung Jalan Pahlawan memang ada rambu. Tanda larangan masuk untuk truk kelas III. Namun, di bawah rambu itu terpampang pula rambu yang bertuliskan "umum". Artinya, kendaraan truk kelas III umum -- dengan tanda nomor kendaraan warna dasar kuning -- tidak diperbolehkan masuk ke Jalan Pahlawan. Truk mereka bertanda nomor hitam, dengan klasifikasi kelas III-a. Itu sebabnya Noor Ali dan Haryono ngotot, berdebat dengan petugas. Seperti biasa, usaha itu sia-sia. Kedua sopir itu tetap dituding bersalah. Mereka perintahkan datang ke Kantor Satlantas Polwiltabes Surabaya. Di sini surat tilang merupakan bukti pelanggaran -- menurut Noor Ali, terpaksa ditandatangani. Kedua sopir itu rupanya pantang menyerah. Mereka meminta bantuan penasihat hukum untuk membela di persidangan. Beruntung, dua pengacara Surabaya, Yusnita dan Nyonya Becky Hananta, bersedia membantu gratis. "Kami tak membayar sepeser pun," kata Noor Ali. Memang, karena memakai pengacara, persidangan yang seharusnya hanya berlangsung sekitar dua menit, akan menjadi repot dan berkepanjangan. Tapi, menurut Yusnita, sidang itu penting artinya. Sebab, dalam menafsirkan rambu, bukan tak mungkin petugas bisa salah. "Ini yang perlu diuji," katanya. Tambahan lagi, tak ada ketentuan yang melarang pelaku pelanggaran lalu lintas didampingi penasihat hukum. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soekirno, pun sependapat dengan pengacara itu. "Upaya seperti itu boleh-boleh saja," kata Soekirno. Sebenarnya, katanya, persidangan tilang secara borongan seperti sekarang ini dilakukan untuk menyederhanakan proses persidangan pelanggaran lalu lintas. Tapi jalan menuju persidangan itu tak selalu mulus. Pengacara Yusnita, misalnya mengaku beberapa kali menerima telepon dari orang tak dikenal, yang meminta agar persidangan tak usah dilakukan. Noor Ali dan Haryono -- kedua sopir itu -- pada TEMPO mengaku pula didesak untuk mencabut kembali surat kuasa kepada kedua pengacaranya. "Saya diminta untuk maju sendiri," kata Noor Ali. Tapi permintaan yang menurut Noor Ali berasal dari pihak kepolisian itu ditolaknya. Pihak kepolisian, seperti dijelaskan Kadispen Polda Ja-Tim Letkol (Pol) Drs. Ivan Sihombmg, menegaskan bahwa lalu lintas tetap menganggap kedua sopir itu melanggar rambu di Jalan Pahlawan. Namun, kata Ivan, pihaknya tak hendak membela petugas semata. Kalau di sidang terbukti kedua petugas tadi tak mengerti rambu lalu lintas, mereka akan ditindak. Jalil Hakim dan Toriq Hadad (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini