SEBUAH kejutan di awal tahun ini mengentak lingkungan pegawai negeri. Bukan karena berita tak adanya kenaikan gaji, tetapi semata-mata karena munculnya peraturan baru tentang monogami "ketat", sebagaimana diumumkan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), Waskito Reksosudirdjo, Jumat dua pekan lalu. Menurut ketentuan lama -- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil -- antara lain disebutkan bahwa pegawai negeri sipil wanita tak boleh menjadi istri kedua dari pegawai negeri sipil -- pria, tentunya. Namun, peraturan baru, PP No. 45/1990, tanggal 6 September 1990, yang mengubah peraturan terdahulu, lebih hebat. Yakni, pegawai negeri wanita tak diizinkan bukan saja menjadi istri kedua pegawai negeri, tetapi juga pegawai swasta. Jika ini dilanggar, tak ampun lagi, ia akan dipecat. Tentu saja ketentuan baru itu mengagetkan segenap pihak karena, menurut hukum Islam, juga Undang-Undang Perkawinan (UUP) tahun 1974, poligami (beristri lebih dari satu) diperbolehkan. Memang, persyaratannya sangat ketat. Si lelaki, misalnya, selain harus memperoleh izin poligami dari pengadilan, juga harus mampu memberi nafkah dan bisa adil. Adakah ketentuan baru itu merupakan sikap monogami berlebihan? Kepada Andy Reza Rohadian dari TEMPO, Waskito Reksosudirdjo membenarkan hal tersebut. "Ini sudah kemauan politik dari pemerintah agar lembaga perkawinan yang sakral bisa menjadikan suatu keluarga yang sejahtera dan abadi," katanya. Waskito juga menambahkan bahwa peraturan baru itu tak bertentangan dengan UUP, yang menganut asas monogami. Sayangnya, Waskito enggan mengemukakan data ataupun kecenderungan pegawai negeri menjadi "istri kedua", yang menyebabkan lahirnya ketentuan itu. Ia hanya menandaskan bahwa peraturan baru itu dibuat tak lain untuk menyempurnakan PP No. 10/1983. Agar, katanya, tak timbul berbagai penafsiran. "Dalam peraturan lama kan tak jelas apakah pegawai negeri wanita boleh menjadi istri kedua konglomerat," tambahnya. Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Nyonya Mien Sugandhi, menyambut gembira peraturan baru tersebut. Sebab, katanya, peraturan itu sesuai dengan kehendak kaum wanita, yang menentang poligami. "Hukum Islam memang membolehkan poligami. Tapi dalam prakteknya kan banyak yang melaksanakan secara tidak benar," katanya. Menurut wanita yang bukan pegawai negeri itu, praktek poligami yang sering terjadi lebih karena faktor emosi dan melimpahnya materi. Akibatnya, "Si suami lupa bahwa dia punya istri pertama yang masih sehat dan setia," ucapnya berapi-api. Lain lagi pendapat bekas Kepala Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, Ichtijanto, yang menilai peraturan baru itu terlalu berlebihan. "Pengaturan monogami yang terlalu ketat malah akan menimbulkan ekses seperti kumpul kebo," katanya. Sebab itu, ia menyarankan agar PP tadi tak perlu mengatur soal ini -- cukup menurut UUP saja. Lagi pula, sambung Ichtijanto, sering jodoh itu bergantung pada lingkungan kerja. Sebagai contoh, jika ada pegawai negeri wanita yang telah berusia 35 tahun. Tentu pegawai ini sudah sukar mendapatkan jodoh dari luar lingkungan kerjanya. "Kalau dia ternyata merasa cocok dengan rekan sekerjanya, kenapa tak boleh?" tanya Ichtijanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini