PELAJAR berjilbab tak perlu khawatir dipecat atau dipindahkan ke sekolah swasta. Dalam bulan ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah akan meluncurkan peraturan baru, yang membolehkan siswi SLTP dan SLTA negeri mengenakan jilbab. Dalam surat keputusan yang akan keluar itu secara khusus disebutkan bahwa siswi sekolah lanjutan boleh mengenakan kerudung kepala. "Siswa putri yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV," demikian bunyi butir keputusan Dirjen tentang jilbab. Dalam lampiran yang dimaksud ada gambar rancangan pakaian seragam murid SLTP dan SLTA. Di samping gambar pelajar yang mengenakan seragam biru putih untuk SLTP dan abu-abu putih untuk SLTA, ada pula rancangan seragam dengan jilbab. Rok panjang sampai mata kaki, baju lengan panjang, dan jilbab warna putih. Warna rok, ikat pinggang, dan penempatan atribut disesuaikan dengan ketentuan mengenai seragam sekolah. Peraturan baru itu, konon, lahir setelah lewat penggodokan selama setahun. Serangkaian pembicaraan antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen P dan K telah dilangsungkan. Hal itu, kata Prodjokusumo, sekjen MUI, sejalan dengan keputusan Munas MUI tahun lalu yakni perlunya meninjau kembali tentang peraturan seragam sekolah. "Aturan seragam yang lama itu kerap membuat kesalahpahaman," katanya. Setelah pertemuan dengan Menteri P & K Fuad Hassan setahun lalu, MUI memang beberapa kali berunding dengan Dirjen Hasan Walinono. Gongnya adalah pertemuan kedua belah pihak akhir tahun lalu di sebuah restoran di kawasan Monas, Jakarta. "Kami sepakat semua," kata Prodjokusumo. Menjelang keluarnya keputusan itu, banyak pihak yang boleh bernapas lega. "Jelas, kami senang. Itu sudah menjadi harapan kami sejak dulu," kata Sophia Beatrix, 17 tahun, siswi kelas 3 SMA Mujahidin Surabaya yang tahun lalu bersama 3 temannya mengadu ke DPR karena dilarang berjilbab di sekolahnya. Ketatnya larangan berjilbab bagi murid sekolah negeri bersumber pada peraturan Departemen P & K tahun 1982 mengenai seragam sekolah. Soal jilbab memang tak disinggung sama sekali dalam ketentuan itu. Namun belum sebulan peraturan itu keluar, protes pun datang. Di beberapa SMA negeri Jakarta, masalah jilbab bukan cuma beredar di pekarangan sekolah. Lembaga Studi Islam Jakarta sempat mengirin surat ke beberapa sekolah di Jakarta, salah satunya SMA 25. Isinya, berupa seruan agar para siswi yang mengenakan jilbab tak mengalami hambatan dan tekanan dari kepala sekolah. Departemen P & K pun lantas menjawab protes jilbab itu dengan sepucuk siaran pers. "Pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai kerudung, Pemerintah akan membantu pindah ke sekolah yang seragamnya boleh memakai kerudung." Bahkan Menteri P dan K Nugroho Notosusanto, tahu 1984 kepada TEMPO sempat mengatakan, "Kalau mereka masih memilih kerudung, terserah. Penting sekolah apa kerudung?" Agaknya, sikap keras Pemerintah menegakkan peraturan tak menggetarkan protes para siswi yang ingin berjilbab. Terakhir, Desember lalu, sekitar 70 siswi berkerudung, antara lain dari SMA I dan IV Bekasi, mendatangi kantor Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka menggelar beberapa poster. "Kembalikan kami ke kelas tanpa lepas jilbab", "Jilbab No, Rok Mini Yes ... ?" demikian bunyi beberapa poster mereka. Agaknya, mereka benar-benar kesal sampai-sampai mengadu ke lembaga peradilan tertinggi itu. Sebab, sudah hampir setahun sekitar 26 siswi SMA I dan IV Bekasi itu dikucilkan dari teman-temannya tak boleh belajar di kelas. Mereka harus belajar di perpustakaan tanpa guru pembimbing. Setelah unjuk rasa itu, sejak 2 Januari lalu, menurut Sudarsono, Kepala SMAN I dan IV Bekasi, mereka memang mulai dibolehkan masuk kelas. "Saya tahu para siswi yang belajar di perpustakaan itu terganggu. Saya sekarang lega karena selama ini saya merasa terpojok," tambah Sudarsono. Setahun lalu, masalah jilbab juga sempat ramai di Surabaya. Misalnya di SMA Negeri 6 Surabaya. Januari tahun lalu 4 siswi berjilbab "dikembalikan" ke orangtuanya. Mereka lalu mengadu ke LBH Surabaya, Menteri P dan K, DPR, dan MUI. Jalan tengah pun disodorkan Kanwil P dan K Jawa Timur. Mereka bisa berjilbab di luar kelas. Di kelas, tetap berlaku peraturan soal seragam. Peraturan yang dianggap menjadi kambing hitam. Muljono Mardisiswojo, Kepala SMA Negeri 6 Surabaya, mengaku terpaksa "mengembalikan" muridnya semata demi peraturan. "Kalau sekarang akan ada peraturan baru, kami akan turuti. Tapi, selama belum ada, kami tetap berpegang pada peraturan lama," katanya. Namun, ia berharap, bila ada aturan bebas jilbab, anak-anak itu jangan cuma bergaul dengan rekan berjilbab saja. Ribut-ribut soal jilbab yang berkepanjangan terjadi pula di SMA I Bogor. Empat orang siswi berjilbab, pada Oktober 1988, menuntut ganti rugi Rp 100 juta dari kepala sekolahnya, Ngatijo. Mereka merasa dirugikan sebab sekolah menganggapnya absen walau semua kegiatan belajar di sekolah diikutinya. "Jelas, ini tindakan tak manusiawi," kata Ida Nurhaida, salah seorang siswi berjilbab ketika itu. Ujung-ujungnya, kepala sekolah -- setelah menulis surat permintaan maaf kepada orangtua keempat murid yang menggugat itu -- membiarkannya masuk kelas. Lain Bogor, lain pula Jakarta. Sepuluh siswi SMA 68 Jakarta -- tahun 1989 -- sempat diusir, sampai akhirnya "dikembalikan" kepada orangtuanya. Namun, mereka tetap bertahan, tak mau mencopot jilbabnya. Malah, lewat LBH Jakarta, mereka menggugat kepala sekolah. "Mereka menuntut agar keputusan kepala sekolah yang mengeluarkan anak berjilbab dicabut," kata Nursjahbani Katjasungkana, Direktur LBH Jakarta, yang menangani kasus itu. Sayang, gugatan mereka, sampai tingkat pengadilan tinggi, ditolak. Upaya terakhir tinggal menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung yang diajukan 19 Desember lalu. Bahkan, pengacara para siswi berjilbab itu, Nursjahbani, tak berniat mencabut gugatan walau misalnya sudah ada ketentuan bebas jilbab. Agaknya, yang berani melangkahi peraturan Departemen P dan K itu adalah Kepala Kantor P dan K Aceh Utara Nurdin. Sejak pertengahan November tahun lalu, sekitar 90% siswi di wilayahnya dibebaskan mengenakan pakaian muslimah. "Larangan memakai jilbab sebenarnya masih berlaku," katanya. Setelah keputusan Dirjen Walinono turun, menurut perkiraan Ketua Umum MUI, K.H. Hasan Basri, diharapkan ribut-ribut soal siswi berjilbab akan tuntas. "Bisa menghilangkan keresahan yang tak perlu selama ini. Apalagi soal menutup aurat itu wajib hukumnya bagi siswi yang sudah tergolong akil balig," katanya. Pihak MUI juga mengusulkan agar para siswi yang selama ini terkena sanksi dipecat atau dipindahkan ke sekolah lain bisa diterima kembali ke sekolah asalnya. "Kami minta supaya Departemen P dan K mempertimbangkan itu," katanya. Pemerintah memang akan menanggapinya. Tentu saja, kata Dirjen Hasan Walinono, tak bisa dibuat ketentuan umum (lihat Boks: Keyakinan Pribadi). "Kalau peraturan itu sudah keluar, kami akan melihatnya kasus per kasus. Saya tak bisa mengatakan, mereka yang sudah pindah atau keluar harus kembali atau tidak," katanya. Gatot Triyanto, Wahyu Muryadi (Jakarta), Zed Abidien (Surabaya), dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini