Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Munas Urung, Ikadin Mati Langkah

Hanya karena rekomendasi dari Menteri Kehakiman ismail saleh tak keluar, munas ke-2 Ikadin,yang sedianya akan diselenggarakan di Surabaya, terpaksa batal. Kelompok Harjono Tjitrosoebono kepepet.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORGANISASI advokat, Ikadin, semakin tak berwibawa dan kehilangan keberadaannya. Hanya karena tak mendapat secarik kertas rekomendasi dari Menteri Kehakiman, Munas Ke-2 Ikadin, yang sedianya akan diselenggarakan di Surabaya pada 26-28 Januari lalu, terpaksa batal. Itu untuk kedua kalinya Ikadin gagal menyelenggarakan Munas, setelah rencana serupa, November silam, juga gagal diselenggarakan di Jakarta. Sampai pekan ini, rekomendasi, yang ditunggu-tunggu Ikadin dari Menteri Kehakiman Ismail Saleh, tak kunjung keluar. Padahal, Ketua Panitia Penyelenggara Munas, yang juga Ketua DPC Ikadin Surabaya, Ernanto Soedarno, sudah siap-siap menyingsingkan lengan bajunya untuk "perhelatan" tersebut. Tak kunjung turunnya surat "sakti" dari Ismail Saleh menyiratkan semakin "panasnya" hubungan Pemerintah dengan Ikadin, dalam hal ini kelompok Harjono Tjitrosubono, yang kini menjadi ketua umum. Bahkan, permohonan pengurus DPP Ikadin -- untuk mengha-dap Menteri Kehakiman -- sampai pekan lalu, tak mendapat balasan. Ismail Saleh menyatakan, baru akan menerima pengurus Ikadin jika datang lengkap -- bersama-sama dengan Dewan Penasihat serta Komisaris. Artinya, untuk menghadap Ismail Saleh itu, Harjono harus mengajak pula saingan "berat"-nya, Gani Djemat, anggota Dewan Penasihat Ikadin, yang terang-terangan dijagokan Ismail Saleh untuk menggantikannya. "Saya mau lihat, apakah mereka sudah kompak atau masih berkelahi," kata Ismail Saleh kepada wartawan di Bandara Soekarno-Hatta, menjelang berangkat ke Banjarmasin, Kamis dua pekan lalu. Sebaliknya, para pengurus DPP Ikadin tetap bersikukuh bahwa urusan semacam itu cukup ditangani pengurus harian, yang diketuai Harjono Tjitrosubono. "Pengurus harian kan lembaga eksekutif yang sudah mewakili kepentingan organisasi, baik ke dalam maupun ke luar. Lagi pula, selama ini, hanya pengurus harian saja yang menghadap ke Menteri," kata Sekjen Ikadin Djohan Djauhary. Sikap Ikadin itu ditegaskan lagi oleh surat pengurus Ikadin, Senin pekan ini, kepada Ismail Saleh. Sebenarnya, bukan tak pernah DPP Ikadin mendapat rekomendasi untuk menyelenggarakan Munas Keduanya. Pada November lalu, organisasi, yang kelahirannya pada 1985 dengan bidan Ismail Saleh dan Ketua Mahkamah Agung Ali Said, telah siap mengadakan Munas di Jakarta. Tiba-tiba Harjono Tjitrosubono menunda rencana itu. Alasan resminya, soal hak suara: Ada pada anggota ataukah cabang. Tindakan Harjono itu mendapat kecaman keras dari kelompok Yan Apul yang, waktu itu, diperkirakan akan menumbangkan Harjono dari ketua umum. Mereka menuding bahwa penundaan itu hanya taktik Harjono untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Sebab, bila Munas jadi dilangsungkan, dengan hak suara pada anggota -- bukan cabang -- kuat dugaan bahwa Harjono akan dikalahkan Yan. Sebab Yan sepenuhnya didukung Ikadin cabang Jakarta yang mempunyai anggota 443 advokat, sedangkan jumlah advokat seluruh Indonesia hanya 786 orang. Setelah itu Harjono, 66 tahun, memang di atas angin. Lewat Raker III Ikadin, akhir November lalu, ia memukul "TKO" kelompok Yan Apul. Peserta raker memutuskan, hak suara hanya ada pada cabang. Selain itu, tempat Munas dipindahkan ke Surabaya, jauh dari dari massa Yan. Di saat-saat pertentangan kelompok Harjono dan Yan memuncak itulah, tiba-tiba tampil si "kuda hitam" Gani Djemat, 57 tahun. Gani bukan hanya "direstui" Ismail Saleh -- sesama penggemar tanaman bonsai -- tapi terang-terangan "dijagoi" petinggi hukum itu. Bahkan, Ismail menyebut Gani sebagai satu-satunya calon ketua yang bakal bisa mengkonsolidasikan Ikadin dan berkomunikasi dengan Pemerintah. Toh si Jago Tua, Harjono Tjitrosubono, tak hendak bertekuk lutut. Ia tetap yakin akan memenangkan "pertarungan". Ia menilai, turut campurnya Ismail Saleh mencalonkan Gani sebagai preseden buruk bagi kemandirian Ikadin. Sebab itu, ia tetap merencanakan Munas di Surabaya. Ternyata, seperti diduga, Ismail Saleh menyatakan tak akan memberikan rekomendasi, kecuali panitia Munas bisa "menyuguhkan" proporsal pengurus baru yang bisa berkomunikasi alias bekerja sama dengan Pemerintah. Artinya, tanpa nama Gani Djemat tak akan ada Munas Ikadin. Bahkan, permohonan kelompok Harjono untuk menghadap Ismail Saleh, pada 9 Januari lalu, ditolak. Menteri baru bersedia bertemu, bila yang akan menghadap itu adalah pengurus lengkap Ikadin, beserta dewan penasihat dan dewan kehormatan, termasuk Gani Djemat. Kepada para wartawan, Rabu pekan lalu, Ismail Saleh mengatakan, keinginannya bertemu dengan pengurus lengkap Ikadin untuk menyelesaikan perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Sebab itu, dalam waktu dekat ini, ia akan mengundang pengurus Ikadin. "Kalau Ikadin tak ribut terus, tak mungkin Pemerintah turut campur," kata Ismail Saleh. Menurut Gani Djemat, bagaimanapun, selaku pemrakarsa lahirnya Ikadin dan pembina advokat, Ismail Saleh ingin menyelesaikan masalah Ikadin. "Ya, semacamfact finding dari semua pihak," ujar Gani, yang mengaku terpanggil untuk menjadi Ketua Umum Ikadin periode mendatang. Sebab itu, menurut Gani, sepatutnyalah kelompok Harjono memenuhi undangan Ismail Saleh itu. "Sebagai orang Timur, kita kan punya falsafah: Yang tua kita hormati, yang muda kita sayangi," kata Gani. Sementara itu, Yan Apul, 51 tahun, hanya tertawa saja mendengar berita gagalnya Munas II Ikadin. Menurut perkiraan Yan, di Munas nanti, boleh jadi, Gani akan kalah suara ketimbang Harjono. Karenanya, "Saya mau bergabung ke Gani Djemat," ucap Yan. Sebelumnya kelompok Yan, yang dimotori Rudy Lontoh dan Denny Kailimang, memang sudah mengumumkan sikapnya "menyeberang" ke Gani Djemat. Sampai pekan ini, tampaknya, kelompok Harjono enggan mengubah pendirian. Menurut Djohan Djauhary, keinginan Ismail Saleh itu sangat berlebihan. Ia juga menganggap, tak ada kemelut dalam tubuh Ikadin. "Bahwa ada perbedaan pendapat, itu 'kan lumrah saja," ujarnya. Jadi, apa langkah berikutnya? "Kalau tak ada juga rekomendasi, biarlah status quo," Djohan menambahkan. Happy S., Agung Firmansyah, Muchsin Lubis, dan Karni Ilyas (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus