UNTUK membendung hasrat rakyat menuntut demokrasi dan perubahan, Partai Komunis Cina (PKC) membalasnya dengan Pembantaian Tiananmen. Rezim Ceaucescu di Rumania menjawab tantangan massa dengan mengikuti tindakan para pemimpin Cina. Ia tampil dengan Pembantaian Tiananmen versi Rumania. Tapi, semuanya gagal total. Rezim yang telah berkuasa selama 43 tahun itu ambruk hanya dalam beberapa hari. Mengapa Cina berhasil dan Rumania gagal? Barangkali faktor yang paling dominan dalam menjawab teka-teki di atas adalah perbedaan dasar revolusi komunis di kedua negara itu. Revolusi Cina merupakan suatu proses yang sangat panjang. Ia dimulai oleh sekelompok kecil intelektual yang berkumpul secara klandestin di sebuah asrama mahasiswi di enklave Prancis di Kota Shanghai pada awal Juni 1921. Mereka berada di sana untuk menyelenggarakan "kongres" pertama PKC. Karena takut ketahuan polisi, akhirnya, "kongres" itu pindah ke sebuah taman di luar kota. Tapi, tiga tahun kemudian, kaum komunis Cina sudah mulai berperanan dalam revolusi Cina. Demi persatuan nasional dan untuk mengalahkan kaum militeris, semua anggota PKC secara keseluruhan menjadi anggota Partai Nasionalis (Kuomintang), kekuatan utama revolusi Cina pada masa itu. Namun, pada 1927, PKC hampir punah dari muka bumi Cina, karena tiba-tiba saja Kuomintang mengadakan pembersihan atas semua unsur komunis yang ada di dalamnya. Menurut sejarah versi resmi RRC, hanya keajaibanlah yang menyelamatkan Mao Zedong dari maut. Periode 1927-1937 merupakan masa paling sulit bagi PKC. Mereka dikejar habis-habisan dan dicap sebagai bandit. Di dalamnya, terjadi pertentangan tentang jalan yang tepat yang harus dipilih untuk menjadi penguasa di daratan Cina. Ditambah dengan Perjalanan Panjang (long march), yang biarpun legendaris, memakan korban puluhan ribu jiwa. Setelah itu, datanglah perang melawan Jepang yang sekali lagi memaksa PKC bergabung dengan Kuomintang, tapi kali ini dengan memegang "kartu" tinggi. Setelah Jepang kalah, pada 1945, pecah lagi perang saudara melawan Kuomintang. Baru pada 1949, PKC bisa bernapas lega sebagai penguasa tunggal di daratan Cina. Revolusi komunis di Cina adalah sebuah tradisi yang berlangsung selama 28 tahun, ditambah dengan berbagai eksperimen untuk memodernkan diri selama 40 tahun. Kaum komunis Rumania dan di Eropa Timur umumnya, tak mengalami perjuangan bersenjata sepanjang itu, walaupun setelah itu, mereka sempat berkuasa selama 43 tahun. Mereka menjadi penguasa, hanya berkat bantuan Tentara Merah Uni Soviet, setelah berhasil mengalahkan Nazi Jerman. Itu pun lantaran Stalin menginginkan agar keamanan Uni Soviet sebagai pusat kubu sosialis terjamin. Untuk itu, Uni Soviet harus dilindungi dari ancaman dunia kapitalis oleh serangkaian negara-negara satelit. Pada kenyataannya, rezim-rezim komunis lokal itu tak lebih dari boneka yang didikte Moskow. Ketika PKC masih berjuang di pedalaman Cina, Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) adalah bagian yang tak terpisahkan dari Partai. Demikian lengketnya hubungan antara TPR dan PKC, sehingga batas organisatoris antara keduanya sangat kabur. Dari sejak awal, PKC selalu berusaha membentuk kekuatan bersenjata, karena tanpa itu tak mungkin mereka merebut kekuasaan politik. Baru setelah RRC berdiri, pemisahan organisatoris antara Partai dan Tentara diinstitusikan. Walaupun demikian, TPR merupakan alat Partai. Itulah sebabnya TPR bisa digunakan untuk menindas para pengunjuk rasa pada 3 dan 4 Juni lalu, walaupun ada beberapa unit yang enggan melaksanakan "pekerjaan kotor" itu. Kegagalan Ceucescu dan rezim-rezim komunis lainnya di Eropa Timur adalah keogahan angkatan bersenjata untuk membelanya pada saat rakyat menentangnya. Yang mungkin juga berpengaruh adalah tradisi demokrasi yang berbeda. Biar bagaimanapun, Eropa Timur termasuk ke dalam lingkungan kebudayaan Barat, tempat tradisi demokrasi sudah berakar dalam. Jadi, pembaruan dan demokrasi dilaksanakan dengan relatif cepat dan lancar. Lain dengan Cina. Sepanjang sejarahnya yang 2.000 tahun, Cina selalu berada di bawah para kaisar dan tiran yang memerintah dengan absolut. Jadi, kalaupun demokrasi hendak ditanamkan, ia memerlukan waktu lama, dan dengan proses pelahan. Barangkali sehubungan dengan itu, sahih pula kritik yang dilontarkan terhadap gerakan mahasiswa dan intelektual Cina 1980-an. Bahwa mereka menuntut terlalu banyak dalam waktu yang terlalu singkat. Setelah Tiananmen terjadilah gelombang balik konservatisme dan kembalinya kaum ideolog di Cina, walaupun banyak pengamat yang mengatakan -- atau lebih tepat berharap -- bahwa itu hanya sementara. Cina tak bergeming menghadapi arus perubahan yang begitu cepat di Eropa Timur dan malah di republik-republik dalam lingkungan Uni Soviet. "Dulu, kita selalu mengatakan, tanpa komunisme dan Partai Komunis, tiada Cina seperti sekarang ini. Sekarang, kita berani mengatakan, tanpa Cina tak akan ada lagi komunisme." Konon, itulah ucapan jumawa Presiden Yang Shangkun di muka rapat terbatas kader-kader puncak pada Desember lalu. Perubahan dan pembaruan sedang melanda dunia komunis, dan Cina takkan kuasa membendungnya. Mampukah ia bertahan? Tempo hari, ketika reformasi di Uni Soviet dan Cina sedang jaya-jayanya, dikatakan hanya tinggal segelintir "negara komunis paria", terdiri dari Korea Utara, Albania, Rumania, dan Kuba. Mereka itulah yang tak mau melaksanakan pembaruan. Sekarang, dengan rontoknya rezim komunis di Rumania dan berkuasanya kembali kaum konservatif di Beijing, apakah Cina telah mundur beberapa langkah dan terperosok ke dalam negara komunis klasifikasi itu? Jawabannya terpulang kepada para pemimpin Cina juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini