SEPEKAN sebelum hakim mengucapkan vonis bagi Tony Ardie, selebaran gelap beredar di beberapa masjid Jakarta. Isinya: "vonis hakim merupakan sikap penguasa terhadap umat Islam." Toh, Kamis lalu, di hadapan ratusan masa yang memadati ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tanpa halangan Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 9 bulan terhadap bekas niahasiswa FISIP UI itu. Tony, menurut hakim, terbukti menghina pemerintah Republik Indonesia di depan umum. Ketua Majelis Hakim yang mengadili perkara itu, Saroso Bagyo, mengaku tidak terpengaruh oleh aksi selebaran gelap menjelang putusannya itu. Bahkan, kata Saroso. ia tidak tahu ada aksi itu. Sebaliknya, menurut Saroso, ia tidak pula dipengaruhi oleh pihak lain dalam mengambil putusannya itu. "Perkara ini semata-mata kriminal biasa, tidak ada sangkut pautnya dengan politik dan tidak ada pesan dari atasan," ujar Saroso ke pada TEMPO, selesai membacakan putusannya. Di bawah penjagaan berlapis-lapis aparat keamanan, dan dikelilingi puluhan orang pengunjung, di antaranya wanita yang hampir seluruhnya berkerudung Majelis berpendapat bahwa kesalahan Tony terbukti seperti dituduhkan jaksa: Di hadapan sekitar 30.000 jemaah yang berhalal-bihalal di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, 28 Agustus lalu, Tony mengucapkan kata-kata yang mengandung rasa permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah. Menurut Jaksa Sulubi Siappo, dalam ceramahnya Tony menyebutkan bahwa kondisi umat Islam di Indonesia sekarang sebagai "maju kena mundur kena." Lengkapnya ucapan Tony itu, "Umat Islam sering kali maju kepentok Firaun, mundur ke pentok Allah." Menurut Hakim, bekas pengurus HMI cabang Jakarta itu terbukti pula mengucapkan kata-kata yang mengecam undangan yang diberikan kepada peserta-peserta MTQ untuk membaca Al-Quran di Istana. Ia juga mengecam keras Kanwil-kanwil P dan K yang melarang siswi-siswi bersekolah dengan kerudung. Ucapan lainnya "Yahudi dan Nasrani tidak akan tinggal diam sebelum umat Islam tercaplok." Dan ia juga menyerukan agar umat Islam menyusun barisan guna menghadapi "tantangan dari luar". Ucapan-ucapan Tony itu, menurut Hakim, terbukti sebagai penghinaan terhadap pemerintah dan pimpinan negara serta seluruh aparatnya. "Terdapatnya kata-kata 'Firaun' dalam ceramah itu dihubungkan dengan kata-kata pemenang MTQ yang diundang ke Istana," ujar Hakim Saroso, "membuktikan bahwa terdakwa mempersamakan pimpinan negara dengan Firaun." Perbuatan itu, kata Hakim menambahkan, "benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa dan sangat menyinggung martabat dan kehormatan pimpinan negara." Majelis Hakim membantah keras bahwa peradilan telah memeriksa perkara "dakwah Islam" seperti yang dilontarkan tim pembela dalam pledoinya. "Kami mengadili pribadi Tony Ardie terbatas pada tindakannya yang melanggar hukum pidana. Kami tidak mempertimbangkan segi agama dan politisnya," ujar Hakim di persidangan. Walaupun demikian, Hakim tidak menjatuhkan hukuman yang berat bagi Tony Ardie, yang dianggapnya terbukti melanggar salah satu pasal penyebar kebencian (haatzaai artikelen), yaitu pasal 154 KUHP. Menurut Hakim, dalam penghukuman memang dikenal teori pembalasan, yaitu hukuman berat bagi terdakwa agar ketenteraman masyarakat bisa stabil kembali. Tapi, Majelis Hakim, katanya, menggabungkan teori itu dengan tujuan penghukuman. Paham yang belakangan ini menghendaki penghukuman itu untuk memperbaiki pelaku. Caranya, "tidak dengan memberikan hukuman berat, tapi lebih ditekankan pada pemberian kesempatan bagi terhukum untuk mengembangkan bakat dan memperbaiki dirinya," kata Majelis dalam pertimbangannya. Sebab itu Tony Ardie, yang sebelumnya dituntut 1 tahun dan 6 bulan penjara hanya dihukum 9 bulan. Tony, yang dilahirkan dilingkungan Katolik, acuh tak acuh dan sempat melempar senyum geli mendengar putusan Hakim. Melirik kepada hadirin, ia mengatakan bahwa hukuman itu "kecil" sambil memberi isyarat dengan menjentikkan jari kelingkingnya. Mengenakan setelan cokelat, ia kelihatan lebih sibuk melirik hadirin dan sekali-sekali meneguk teh yang dibawanya dengan tas kecil - daripada mendengarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim. Hakim Saroso Bagyo harus menahan kesabarannya pula ketika di awal persidangan Tony membaca koran yang dibawanya keruang sidang. Sementara ayah Tony sibuk memotret putranya itu. Namun, Saroso hampir saja meledak marahnya. Ketika Hakim menjelaskan tentang hak terhukum untuk naik banding atas putusannya, Tony malah berkata, "Yang mempersamakan presiden dengan Firaun adalah Majelis Hakim sendiri." Dengan wajah pucat Saroso mengetukkan palunya tanda persidangan selesai. Dan Tony, yang rupanya belum puas, meraih pengeras suara dan memekik, "Allahu Akbar!" Hanya pembela Tony, H.M. Dault, yang serta merta menyatakan banding terhadap putusan hakim itu. "Demi kebenaran Islam kami tetap banding," ujar Dault. Diiringi tangis ibunya dan ciuman beberapa pengunjung, Tony kembali dibawa ke tahanan, melanjutkan masa penahanan yang sudah 5 bulan dijalaninya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini