PENGADILAN Negeri Surabaya membuat sejarah baru, akhir Januari lalu, dengan memvonis Stefanus Sindhunata hukuman penjara 3 bulan dalam masa percobaan 6 bulan. Ini untuk pertama kali terjadi di Indonesia. Meskipun tak ada unsur kesengajaan, menurut Majelis Hakim pimpinan Monang Siringoringo notaris yang sudah berpraktek selama 15 tahun itu "terbukti membuat akta surat kuasa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya." Beberapa hari setelah vonis jatuh, 4 Februari, ketua Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan skorsing 3 bulan kepada Stefanus. Vonis itu cukup mengejutkan kalangan notaris, yang menganggap putusan semacam itu tldak semestinya. Sebab, seperti dikatakan seorarg notaris senior, "dalam membuat sebuah akta. seorang notaris hanya memeriksa formalnya saja dan bukan materinya." Maka, "bila akta itu ternyata isinya tidak benar - karena kliennya berbohong atau menipu - sama sekali bukan tanggung jawab notaris yang bersangkutan." Stefanus, 45, sejak semula memang tak yakin dirinya bakal kena. "Apa salah saya? Itu 'kan perkara kecil," katanya kepada TEMPO sebelum vonis jatuh. "Perkara kecil" yang membelit Stefanus itu bermula pada April 1974, ketika ia kedatangan Indra Kosasih, makelar yang biasa mencarikan kredit ke bank swasta. Indra mengemukakan bahwa kenalannya, yang bernama Sudjam, ingin dibuatkan selembar akta. Sudjam memberi kuasa kepada Suryo Subroto, direktur CV Surya Suci yang juga seorang pengacara, untuk menjaminkan sertifikat tanah miliknya ke Bank Pacific, Surabaya. Esoknya, Suryo datang ditemani Indra, disertai seorang wanita bernama Sumiasih. Tanpa berpanjang-panjang, Stefanus pun segera membuatkan akta yang dimaksud. Ternyata, empat tahun kemudian (1978), ia digugat Sudjam Nasikin, pemilik asli sertifikat tanah yang tempo hari dikuasakan kepada Suryo. Rupanya, yang menghadap Stefanus tempo hari adalah Sudjam gadungan. Ini bisa terjadi karena ketika itu Sudjam berada dalam tahanan Laksusda Mojokerto. Ia ditahan sejak 1968 dan baru dibebaskan 1978. Pasalnya: purnawirawan ABRI yang kini bertani itu dituduh punya indlkasi terlibat G30S/ PKI. Pada tahun 1974, sertifikat untuk rumah dan tanah yang terletak di Jalan Margorukun Surabaya itu diberikan oleh Sutiono - anak Sudjam - kepada Sumiasih sebagai jaminan utang. Ketika itu, Sutiono meminjam Rp 25.000 kepada tetangganya yang memang dikenal sebagai rentenir. Apa mau dikata, Sumiasih rupanya memang sudah punya miat jelek. Ketika utang dlbayarkan, sertifikat tanah tak segera dikembalikan, dengan alasan "sedang dicari". Ternyata, Sumiasih menghilang. Rupanya, diam-diam, dia sudah menjaminkan sertifikat tadi, lewat Suryo, ke Bank Pacific. Mungkin, ketika itu, dia mengira, entah kapan Sudjam bisa keluar dari tahanan. Gugatan Sudjam kepada Suryo dan Sumiasih ketika itu tak berhasil. Sebab, ia kena tipu pokrol bambu yang ditugasi mengurusi. Keluar tahanan, 1978, Sudjam menggugat lagi. Kali ini yang digugat adalah Suryo dan Stefanus. Kali ini pun usahanya kandas. Hakim menolak, dengan alasan tidak bisa memutuskan apakah akta itu sah atau tidak. Baru pada. 1980 ia memperkarakan Stefanus secara pidana. Dan itulah yang nengherankan Stefanus. "Mestinya 'kan Suryo yang diperkarakan, karena dia yang nguntal (menelan) duitnya," katanya. Tapi Suryo berkelit. Menurut dia, Stefanuslah yang salah. Sebab, katanya, notaris itu yang memberi alat kepada maling - Sumiasih. Dan, entah kenapa, Sudjam membenarkan ucapan Suryo itu, sehmgga ia hanya memperkarakan Stefanus dengan tuduhan melakukan penipuan. Akhirnya, memang, sertifikat miliknya bisa kembali ke tangannya. "Tapi saya sudah babak belur," katanya. Ia mengaku sudah mengeluarkan biaya sampai Rp 7 juta untuk mendapatkan kembali miliknya, antara lain untuk "menebus" sertifikat tadi dari Bank Pacific Rp 1,5 juta. Ikatan Notaris Indonesia (INI) Jawa Timur terus terang menyayangkan jatuhnya vonis terhadap Stefanus. "Hal itu akan menimbulkan preseden di masyarakat," tutur Wawan Setiawan, pengurus INI Jawa Timur. Ia menyatakan akan membawa persoalan itu ke DPR, yang kini tengah menggodok RUU Kenotarisan. Wawan menilai, kutipan dari Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang digunakan hakim untuk bisa menjaring Stefanus kurang tepat. Majelis Haklm dalam putusannya, antara lain, memang berpegang kepada salah satu pasal dalam PJN itu: "Notaris dalam pembuatan akta harus kenal betul dengan kliennya." "Kenal" di situ, kata Wawan, bukan berarti kenal baik seperti dalam pengertian sehari-hari. Dalam dunia kenotarisan, katanya, ada yang disebut iembaga kenal. Artinya, notaris dianggap sudah kenal kliennya bila ke hadapannya juga hadir dua orang saksi. Yang dimaksud "kenal" menurut pengertian hukum, menurut Wawan, "belum diatur dalam undang-undang." Meskipun demikian, Hakim Monang Siringoringo tenang saja menghadapi serangan itu. "Sudah saya duga, vonis itu bakal mengundang pro dan kontra," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini