DI dekat Stasiun Yoyogi di daerah Tokyo, tempat dulu Olympiade diselenggarakan, ada sebuah restoran istimewa. Bukan karena ia menyuguhkan tempura vegetaris yang dibuat dari tangkai teratai. Ia pun tidak istimewa karena daging sehabu-habu-nya adalah hasil imbal-beli dengan Amerika Serikat yang diiris setipis kertas. Bukan pula karena ia mempunyai geisha cantik pemetik samishen dengan suara merdu yang membuat Anda membayangkan tempat tidur. Restoran itu justru istimewa karena di sana Anda tidak boleh marah bila pelayan menumpahkan kuah ke pangkuan Anda. Restoran itu istimewa karena di sana tidak ada kasir. Anda menghitung sendiri berapa jumlah yang telah Anda makan dan minum, lalu menaruh uang di tempat yang telah disediakan. Di situ tersedia receh dan Anda boleh mengutip sendiri kembaliannya. Restoran nilik Pak Tua Kageharu Hayashi itu memang hanya mempekerjakan orang-orang yang meyandang keterbelakangan (retardasi) mental. Dua-duanya orang yang "normal" di situ hanyalah suami-istri Hayashi. Selebihnya: juru masak, juru cuci piring, pelayan, adalah orang-orang yang berwajah mongolit, yang memandang Anda dengan tatapan kosong dan mulut terbuka, yang malahan tersenyum bila melihat sajiannya tumpah ke celana Anda. Tampaknya, memang, itu adalah situasi dagang yang "tidak mungkin". Tetapi Hayashi nyatanya mampu menjual rata-rata 500 porsi makanan dalam sehari di dua restorannya. Restorannya yang satu lagi hanya berupa kios di dalam Stasiun Yoyogi itu sendiri. Dua belas pegawai dan delapan karyawan sedang latihan melakukan sernua pekerjaan: memesan bahan nmemasak, mencetak kartu menu, melaksanakan pembukuan, serta menutup dan membuka restoran itu. ResRestorannya memang hanya menyajikan ramen, bakmi kuah, yang sederhana. Suami-istri Havashi tentunya mempunyai kesabaran yang luar biasa dalam melatih para penyandang keterbelakangan mental itu untuk mengoperasikan restorannya. Hal-hal yang sederhana saja harus diajarkan iima sampai sepuluh kaii. Bayangkan: seorang pegawainya dalam mencuci mangkuk. Ketlka dilepas bekerja sendiri, ternyata, orang itu mencuci mangkuk yang sama terus-menerus selama berjam-jam. Dengan sabar Hayashi mengulangi lagi contoh mengerjakannya. Resep Hayashi untuk melatih mereka ternyata cukup sederhana. "Saya meniru pelatih lompat tinggi. Saya tidak akan menaruh biiah lebih tinggi dari kemampuan si peloncat yang saya latih. Saya coba dulu meletakkan bilah itu rendah-rendah. Bila ia mampu meloncatinya, maka barulah bilah itu saya naikkan scdikit demi sedikit." Nyatanya, Hayashi berhasil. Tentu saja tidak sebagai restaurateur dengan plaket rottiserie tergantung di dinding. Tetapi ia telah berhasil memanusiakan orang-orang yang sering dianggap tidak berguna oleh masyarakat. Di Manila pun ada restoran yang mirip dengan punya Hayashi itu. Bila Anda kebetulan berjalan-jalan di Mabini Street, Anda akan menemukan papan nama hijau putih bertuliskan Hobbit House. Berbeda dengan Restoran Hayashi, Hobbit House ini menyajikan menu lengkap, bar, dan bahkan musik pengiring. Semua pegawainya adalah orang-orang kerdil. Restoran ini didirikan berkat gagasan seorang profesor dari Universitas Oxford dan seorang bekas guru dari Peace Corps. Hobbit Housc ternyata berhasil menjadi restoran laris yang dikunjungi oleh orang-orang "normal". "Duiu gaji saya setengah dolar sehari, kini saya dapat delapan dolar sehari," kata Pidoi, yang seperti para pelayan lainnya nemakai seragam baju putih barong tagalog. la telah tiga tahun bekerja di situ dan kini dikirim oleh restoran untuk mengikuti kursus manajemen. Theresa Reyes bahkan lebih beruntung. Ia diajak main film bersama Peter Fonda dalan, "Dance with a Dwarf' dan beroleh 100 dolar sehari selama pengambilan gambar berlangsung. Di Hobbit House, orang-orang kerdil itu sedang membuktikan bahwa pikiran dan kemampuan mereka tidaklah kerdil. Di Indonesia pun hal semacam itu bukannya tidak terjadi. Di Matari Advertising ada seorang kawan saya yang kurus seperti lidi dan berjalan timpang. Ia adalah ahli audio dan rekaman yang paling handal di situ. Probosutcdjo sengaja mempekerjakan para penyandang cacat di pabrik gelasnya untuk mengukir gelas eksklusif dengan gerinda. Tetapi sikap seperti itu belum lagi merata di antara para pengusaha kita. Kurang lebih 500 juta penyandang cacat di seluruh dunia nenunggu sikap positif dari saudara-saudaranya yang kehetulan mujur terlahir tanpa cacat. Kalau saja tiap perusahaan mempekerjakan seorang penyandang cacat untuk pekerjaan yang sesuai (dan tidak hlna!), maka apa yang kita namakan pemerataan kesempatan kerja itu tidak lagi menjadi slogan belaka. Bondan Winarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini