PERKELAHIAN anak sekolah di Jakarta seperti sudah acara rutin
bulanan. Berdasar catatan Kanwil P & K DKI, Januari - November
tahun ini terdapat 25 kasus yang melibatkan 30 sekolah menengah
pertama dan atas. Belum termasuk 3 kasus --Rabu dan Kamis pekan
lalu -- yang menyangkut SMPN 114, ST Bhayangkara dan ST DKI
Jakarta. Juga Sekolah Pelayaran Menengah (SPM) Paskalis dan SPM
Sam Ratulangi. Terakhir, SMAN VI dan STM Tanjungpriok. Silakan
hitung sendiri berapa.
Dalam sebanyak itu perkelahian hampir selalu digunakan
senjata tajam Bahkan, menurut Kadapol Metro Jaya May-Jen Anton
Sudjarwo Senin pekan lalu --di Balai Sidang Senayan, dalam
pertemuan orangtua murid dan guru SMAN IX dan XI -- sekali
kedapatan penggunaan senjata api. Sebaliknya hanya terjadi 8
kali perkelahian tangan kosong. Dan, menarik, semua perkelahian
dilakukan secara kelompok alias keroyokan.
Dalam "pertemuan perdamaian" SMAN IX dan Xl itu --yang
berhantam awal bulan ini --Mayjen Anton sempat mendaftar hasil
perkelahian anak sekolah tahun ini. Katanya, 176 luka berat dan
ringan, dan 2 orang meninggal. Kerugian materi memang tak
disebut. Tapi menurut catatan Kanwil P & K DKI, perkelahian di
SMPN 80 Juni lalu, mengakibatkan sejumlah kaca gedung sekolah
pecah. Perkelahian SMAN IX & XI April lalu juga mengakibatkan
SMAN XI Filial di kawasan Warung Buncit rontok kaca-kaca
jendelanya, dilempari batu.
Tapi perkelahian SMAN IX dan XI awal bulan inilah yang
agaknya menimbulkan kerugian materi terbesar. Kedua sekolah,
yang beradu pagar itu, selain kaca jendelanya banyak yang
hancur,Juga genting pada pecah, meja dan kursi rusak dan
sejumlah lampu neon pun ambyar. Taksiran kasar Rp 25 juta.
Perkara Sepele
Dugaan adanya keterlibatan pihak luar memang ada - biasa.
"Tidak mustahil ini ditunggangi pihak lain yang sengaja membakar
anak-anak," kata Wagub I DKI Sardjono Suprapto dalam pertemuan
itu. Pihak kepolisian sendiri tak bersedia memberi komentar.
Cuma, baik dilihat dari catatan Kanwil P & K DKI maupun
menurut anak anak SMAN di Bulungan itu kepada TEMPO, asal mula
perkara itu, kalau dipikir-pikir, memang sepele. Soal
tegur-menegur, soal pacar, soal pertandingan olahraga.
Bahkan perkelahian SMAN IX dan XI itu resminya bermula dari,
anehnya, pertandingan sepakbola SMAN VI melawan SMAN XXVI di
lapangan Bank Indonesia, 21 Oktober lalu. Di situ terjadi
perkelahian, dan sempat dua mobil milik anak SMAN VI dirusak.
Beberapa hari kemudian, mungkin karenamerasa tak aman, anak-anak
SMAN VI minta bantuan tetangganya, sama-sama SMA Bulungan SMAN
IX dan XI. Tapi SMAN XI tak menanggapi. Lalu SMAN IX mengejek
SMAN XI. Ejek-mengejek itulah yang meledakkan satu perkelahian
massal yang lebih besar--saling lempar batu ke sekolah lawan, 3
November lalu.
Lebih sepele lagi perkelahian anakanak SPM Paskalis Kebun
Nanas dan SPM Sam Ratulangi di terminal bis Lapangan Banteng.
Ada anak Sam Ratulangi yang menegur anak Paskalis karena baju
seragamnya tak dimasukkan dalam celana. Perkelahian pun meledak.
Memang para remaja itu menurut kodratnya sedang di masa usia
mudah disulut. Sementara itu sikap yang mereka yakini pun
ternyata mendorong perkelahian. Memang, beberapa anak SMAN IX
dan XI menilai perbuatan pengrusakan sekolah lain sebagai "bukan
perbuatan seorang jantan, apa pun sebabnya." Tapi banyak juga
yang berdalih: "Kalau sekolah kami yang dirusak dulu," maka
membalas merusak itu sah.
Wajarlah, kalau mereka berpendapat perkelahian kelompok tak
mungkin dihindari bila lawan pun berkelompok. Juga, jika lawan
menggunakan senjata, mereka pun angkat senjata. Meskipun,
uniknya, semua ternyata setuju: berkelahi satu lawan satu,
dengan tangan kosong, itulah yang paling jantan alias kesatria.
Tak Adil
Tapi mengapa mereka tak melapor saja kepada guru, kepala
sekolah atau polisi, kalau melihat atau mengalami perlakuan
kasar anak sekolah lain? Hampir semua anak menjawab "Seharusnya
memang begitu." Tapi beberapa anak menambahkan: tak melapor itu
juga untuk "menghukum si perusuh."
Ada penelitian Fak. Psikologi UI tentang perkelahian
kelompok para pelajar, 1976. Kesimpulannya: 12,5% responden
mereka, dari 6 SLTA Jakarta, lebih suka menyelesaikan konflik
dengan kekerasan. Itu barangkali bisa menjelaskan juga.
Lebih lagi penelitian itu pun meng ungkap, bahwa persepsi
anak-anak tentang "hukum yang dilaksanakan secara tak adil,"
mengakibatkan mereka menganggap kurang perlu melaporkan
persoalan kepada guru atau yang berwajib atau orangtua. Lebih
baik "selesaikan sendiri" -- maklum zamannya, barangkali.
Maka tak mengagetkan ketika seorang anak SMA Bulungan itu
menilai upaya perdamaian yang dilakukan pihak sekolah, orangtua,
kepolisian dan Pemda DKI sebagai "belum menjambl adanya
perdamaian." Mengapa? "Harus ada kelanjutannya, ialah adanya
sikap dan tanggungjawab yang dewasa dari setiap anak," jawabnya.
Dan menurut dia, itu sulit diharap.
Siapa tahu anak itu berkata tentang kenyataan. Baru
kira-kira 7 bulan yang lalu, April, ketiga SMA di Bulungan itu
menyatakan ikrar persaudaraan sesudah peristiwa perkelahian
massal. Tapi di bulan ini, berkat peristiwa yang sepele, hal itu
terulang lagi. Yang tampak di situ, tentunya, tak adanya
tanggung jawab.
Dan tanggungjawab, untuk anakanak belasan tahun, memang
harus ada contohnya dari lingkungan. juga sikap kesatria yang
tidak asal menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini