Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keinginan Suhartini dan Purnomo akhirnya terkabul. Suami-istri itu menangis di hadapan Baitullah sambil berkali-kali mengucap syukur. "Saya cium tanah Masjidil Haram," kata ibu guru ini mengingat pengalamannya beribadah haji tahun lalu.
Suhartini adalah guru Sekolah Dasar Negeri Wonokusumo V Surabaya, Jawa Timur. Suaminya anggota TNI Angkatan Laut yang telah pensiun 10 tahun lalu dengan pangkat terakhir sersan satu. Bisa datang ke rumah Allah, bagi mereka, ibarat mimpi yang menjelma sebagai kenyataan. Untuk bisa terlaksana menunaikan rukun Islam yang kelima itu, suami-istri ini harus menyiapkannya selama 20 tahun.
Wanita kelahiran Trenggalek, 56 tahun, ini masih ingat benar, pertama kali merencanakan niatnya pergi ke Mekah pada 1985. Saat itu gajinya Rp 400 ribu sebulan. Separuhnya disisihkan untuk tabungan haji. Suhartini sadar harapannya itu belum tentu terlaksana, sebab hampir saban tahun ongkos naik haji terus merambat naik. Apalagi kebutuhan sekolah keempat anak mereka juga tidak kecil.
Untuk itu, tekad pertama yang tak bisa diganggu adalah terus dan terus mengisi tabungan haji, selebihnya baru membeli kebutuhan pokok. "Kita harus menabung untuk bekal akhirat," katanya sambil mengenang masa itu. Suami-istri ini bertahan dengan sisa gaji guru sekolah dasar plus penghasilan dari seorang prajurit TNI.
Impian mereka untuk bisa mengenakan pakaian ihram akhirnya terkabul. Saat jumlah tabungan seimbang dengan ongkos naik haji, mereka memberanikan diri mendaftar. Kegembiraan meluap saat nama mereka masuk daftar tetap calon jemaah haji 2004. Mereka pun menguras habis tabungan sebesar Rp 55 juta yang telah dikumpulkan selama dua dekade itu.
Lain lagi dengan pengalaman Puang Isa Cole, 59 tahun, yang sehari-harinya berjualan sayuran di Pasar Terong, Makassar. Perempuan ini memerlukan waktu 18 tahun untuk dapat melaksanakan ibadah haji dengan cara menyisihkan keuntungan dari berdagang dan menabungnya di bank pemerintah. "Sebulan kadang Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu," katanya.
Setelah menabung belasan tahun, terkumpul sudah uang sekitar Rp 20 juta. Maka, pada 2004 ia bisa berangkat ke Tanah Suci. "Waktu itu sawah warisan orang tua terpaksa dijual untuk menambah kekurangan biaya naik haji," ujarnya. Jika ada yang dikeluhkan Puang selama menunaikan ibadah haji, hanya soal makanan. Menurut dia, nasi di Arab keras, dan menunya tak sesuai lidah orang Indonesia. "Untung saya membawa bekal dari Tanah Air, jadi bisa memasak sendiri sesuai selera," katanya.
Tentu saja, tak semua calon jemaah haji asal Indonesia harus melalui perjalanan panjang dengan menabung belasan tahun seperti mereka untuk dapat pergi ke Mekah. Banyak di antaranya yang berangkat dengan cuma-cuma. Biaya untuk memberangkatkan mereka yang "gratis" ini, antara lain, diambil dari Dana Abadi Umat (DAU). Dana itu merupakan hasil efisiensi biaya haji, termasuk biaya yang dikeluarkan Bu Hartini, Pak Hartono, dan Puang Isa tadi. Misalnya dari potongan harga penginapan, biaya transportasi, dan makanan.
Ayuk Fadlun Shahab, pengacara mantan Menteri Agama Said Agil al-Munawar yang kini menjadi tersangka kasus korupsi Departemen Agama, menyebutkan nama sejumlah pejabat yang diberangkatkan ke Mekah memakai DAU. Mereka, antara lain, Jusuf Kalla dan istri, Hatta Radjasa dan istri, Bachtiar Chamsyah dan putrinya, Akbar Tanjung bersama istrinya, serta Syamsul Muarif beserta nyonya. Dalam dokumen Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) malah tercatat, pada 2002 sekitar 32 pejabat naik haji dengan biaya DAU.
Namun, tak semua nama yang disebut oleh Shahab tadi meng-aku bahwa dirinya, juga keluarganya, naik haji dengan biaya DAU. Mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung, misalnya, menampik tuduhan itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan Menteri Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif menyebut keberangkatannya ke Mekah sebagai tugas negara. "Saat itu saya menjalankan tugas sebagai Wakil Amirul Haj (pemimpin rombongan haji)," kata Syamsul. Dia menyatakan tak tahu-menahu jika ongkos hajinya bersama istri diambil dari DAU.
Wajar memang jika para mantan pejabat itu merasa risih "tugas negara" yang mereka laksanakan kini diungkit-ungkit. Di antara nada sinis yang merebak di masyarakat terhadap kemungkinan DAU dipergunakan untuk keperluan para pejabat dan keluarganya itu naik haji, Ibu Guru Suhartini justru merasa bersyukur, "sumbangannya" yang dikumpulkan di DAU bisa bermanfaat. "Alhamdulillah, orang kecil bisa menaikkan haji orang besar," katanya sembari tersenyum.
Agung Rulianto, Sita Planasari, Adi Mawardi (Surabaya), Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo