Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDURRAHMAN Royani tersentak -kaget, kemudian kelihatan lemas. Bekas Bupati Maluku Utara berusia 54 tahun ini mengusap keringat yang meleleh dari dahinya, ketika Rabu pekan lalu Hakim Ketua Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya mengetukkan palunya. Royani divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Kendati dipenjara, lelaki tegap berkumis asal Ambon, masih untung tak dipecat dari Dinas Polri, seperti yang dituntut Oditur sebelumnya. Royani, Bupati Maluku Utara periode 1979-1984 ini, menurut majelis hakim terbukti terlibat manipulasi proyek pembangunan SD Inpres di 21 kecamatan Maluku Utara, tersebar di 150 lokasi. Seluruh proyek bcrnilai Rp 2 milyar. Akibat manipulasi itu, proyek yang seharusnva rampung Mei 1984 ini sampal sekarang baru terselesaikan sebanyak 2 unit bangunan SD. Dengan kata lain, proyek itu gagal total. Negara dirugikan lebih dari Rp 1 milyar. Di samping itu, ribuan anak - anak seharusnya mengenyam pendidikan kini terkatung-katung. Tenaga guru pun jadi tidak tertampung. Semua bencana ini, begitu kesimpulan hakim militer, tak mungkin terjadi kalau Royani tak ikut main". Pada tahap awal proyek SD Inpres tahun anggaran 1983-84 -- saja Royani sudah melakukan "penyimpangan". Ia sengaja menunjuk kontraktor tunggal CV Daun Mas, yang hanya berkualifikasi A-2. Padahal, menurut ketentuan, kontraktor -- macam itu hanya boleh menangani proyek senilai maksimal Rp 500 juta. Agar CV Daun Mas memenuhi syarat, Bupati memecah proyek menjadi 6 bagian kontrak, masing-masing maksimum Rp 500 juta, seolah-olah ada 6 proyek yang berdiri sendiri. Yang lucu, ke-6 bagian proyek itu semuanya dikerjakan CV Daun Mas. Kecuali main tunjuk, Royani masih main" lagi dalam pembayaran kontrak. Pembayaran termin I sebesar 25 persen dari nilai kontrak hampir Rp 500 juta - lewat Bank Rakyat Indonesia, yang mestinya dilakukan setelah 25 persen pekerjaan selesai, dibayarkan pada CV Daun Mas hanya 15 hari setelah kontrak ditandatangani. Termin II juga cair lebih cepat "berkat" campur tangan Bupati Royani. Seharusnya, CV Daun Mas baru bisa mencairkannya setelah menyelesaikan 60 persen pekerjaan. Tapi Bupati Royani meng-acc termin II itu, meski benta acara pekerlaan belum lengkap, karena belum ditandatangani kepala Dinas PU Maluku Utara, Ibrahim Husen. Ibrahim Husen tegas mengatakan, ia menolak membubuhkan tanda tangan. "Sebab, enam puluh persen pekerjaan belum selesai," ujar Ibrahim. Tapi ia mengaku, sempat diancam Royani kalau tak-ikut tanda tangan. "Kamu mau dipecat, ya?!" ancam Royani, yang ditirukan Ibrahim. Singkat cerita, proyek dua milyar rupiah itu telantar. Sampai Royani menyerahterimakan jabatan bupatinya, Juli 1984 kepada pejabat baru Soepandji. Lantas ke mana uang negara lebih dari satu milyar rupiah itu? "Ya, ada di CV Daun Mas. Saya tidak makan uang itu," ujar Royani dengan keras kepada TEMPO. Ia meng-acc termin pembayaran lebih awal, katanya, agar", pada akhir masa jabatan saya proyek Inpres itu sudah selesai." Nyatanya, semua berantakan. "Saya dikibuli CV Daun Mas. Saya menyesal," kata Royani pasrah. Ia mengaku hanya pernah minta Rp 500 ribu pada Ismail Yapnanto, bos CV Daun Mas, untuk "urusan keluarga". Juga, Rp 10 juta, "untuk sangu ketika saya akan pindah ke Ternate." Yapnanto, juga tak merasa bersalah memberikan uang. "Apa sih, salahnya, memberi orang yang minta duit," katanya pada TEMPO Yapnanto mengelak dltuduh "menelan" uang negara semilyar rupiah lebih. "Uang itu, ya, untuk membangun proyek Inpres," kata Yapnanto. Hanya saja, tidak selesai. "Lha, bagaimana bisa selesai, wong ada kasus ini," katanya. Yang juga mengundang pertanyaan adalah penyidangan perkara Yapnanto. Pertengahan 1986 ia disidangkan di Pengadilan Negeri Ternate dan dituntut 18 tahun penjara. Tapi vonisnya mengejutkan banyak kalangan di Ternate. Ia dinyatakan bebas murni. Yapnanto sampai kini memang bebas. Tinggal Royani merenungi nasib di bui, kendati ia "hanya" terbukti memberikan kesempatan Yapnanto memperkaya diri. "Itu sudah takdir, konsekuensi saya sebagai pimpinan," katanya lirih. Tapi ia tak puas melihat Yapnanto enak saja bebas. "Kalau Yapnanto bebas itu tidak adil. Saya tak makan apa-apa, kok," katanya. Toriq Hadad, Budiono Darsono, dan Jalil Hakim (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo