Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Teh beracun

Jumaatin tewas diracun tikus oleh suer, saudara sepupunya sendiri. Suer merasa iri karena Jumaatin kaya, sedang ia sendiri miskin. Ketika suer dalam tahanan, ia bunuh diri dengan makan racun tikus.

27 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA iri terhadap saudara atau tetangga yang hidupnya lebih baik jamak dimiliki mereka yang merasa berkekurangan.Tapi tindakan yang dilakukan Suer, 35 tahun, akibat iri itu tidak jamak lagi. Ia, yang sehari-harinya buruh tani, di Dukuh Asem Sepuluh, Pasuruan, Jawa Timur, kalau benar tuduhan polisi, tega membunuh saudara sepupunya sendiri, Jumaatin, dengan racun tikus. Tapi entah kenapa, setelah perkaranya diusut polisi, Senin dua pekan lalu, Suer bunuh diri dengan racun tikus. Jumaatin, 31 tahun, memang dikenal sebagai petani ternak sapi perah yang hidupnya berkecukupan. Sepeda motor pun sudah dimilikinya. Sementara itu, sepupunya Suer, yang juga tetangganya, hidup pas-pasan. Tidak jarang ia merongrong dengan meminta uang kepada Jumaatin. Biasanya, permintaan semacam itu diladeni Jumaatin. Tapi aneh, 5 Januari lalu ia berani menolak permintaan Suer. "Tak usah minta uang lagi, Kang, enggak bakalan saya beri," kata Jumaatin kepada Suer. Kendati permintaannya sudah ditolak sore harinya Suer muncul lagi. "Ayo kita jalan-jalan, cari hiburan," begitu ajak Suer. Istri Jumaatin, Sri Winarsih, sebenarnya sudah menangkap firasat tidak enak atas ajakan Suer kepada suaminya itu. Tapi ketika hal itu disampaikannya kepada Jumaann, suaminya membantah dugaannya. "Jangan berprasangka buruk kepada saudara sendiri," kata Jumaatin, yang hanya sempat menduduki bangku kelas II SD. Dengan sepeda motor milik Jumaatin, mereka pun berangkat menuju Pasuruan. Tapi belum sampai di kota itu, motor dibelokkan Suer ke sebuah warung. Di warung itu mereka mengobrol sambil minum teh. Tiba-tiba, sekitar pukul 18.30 Jumaatin roboh. Perutnya, katanya, melilit. "Dia hanya sakit perut," kata Suer, menghalau orang di warung itu yang hendak menolongnya. Beberapa menit kemudian, tuhuh Jumaatin kejang-kejang. Dari mulutnya keluar busa. Tubuh Jumaatin kemudian diangkat Suer dan dinaikkannya ke tangki sepeda motor. Jumaatin, yang agaknya sudah menjadi mayat, kemudian dilarikannya ke arah hutan Triwung, Kecamatan Grati, 7 kilometer dari tempat kejadian. Di situ Suer bermaksud membuang mayat sepupunya. Tapi ketika mayat itu akan disandarkannya, ia dicurigai beberapa penduduk, sehingga jasad Jumaatin dibawanya pergi lagi. Dua kilometer dari tempat itu, di hutan Penangas, barulah mayat itu bisa dibuangnya dengan menyandarkan ke pohon. Tentusaja keesokan harinya penduduk di situ geger. Tapi karena mayat tersebut tidak dikenal di tempat itu, akhirnya penduduk membawa tubuh Jumaatin ke RSU Pasuruan. Sementara itu, Suer, dengan sepeda motor itu juga, kembali ke Dukuh Asem Sepuluh. Dinihari itu juga ia mengetuk pintu rumah Sri Winarsih. "Jumaatin ditahan polisi," kata Suer, tanpa menjelaskan apa salah sepupunya itu. Ia hanya meminta BPKB sepeda motor, uang ongkos Rp 10 ribu, dan uang untuk menebus Jumaatin dari tahanan sebanyak Rp 50 ribu. "Pokoknya, Jumaatin ditahan. Kalau kau cinta, ya, beri Rp 50 ribu, biar cepat bebas," kata Suer, ketika Sri masih mengusut apa salah suaminya. Karena tak ada pilihan lain, Sri akhirnya menyerahkan semua yang diinginkan Suer. Dua hari kemudian polisi sudah mengenali mayat Jumaatin. Suer ditangkap ketika bersembunyi di rumahnya. Di depan polisi ia mengaku membunuh Jumaatin. Teh yang diminum Jumaatin, katanya, sudah dibubuhinya butiran racun tikus ketika korban lengah. Semua itu dilakukannya karena, "Saya sering merawat sapi Jumaatin, tapi hidupnya lebih baik ketimbang saya," begitu alasan Suer kepada polisi, sambil menyerahkan beberapa butir racun tikus untuk bukti. Ia juga mengaku menggadaikan sepeda motor korban seharga Rp 75 ribu di Pasuruan, setelah mendapatkan BPKB dari istri Almarhum. Tapi hanya semalam Suer menginap di tahanam Keesok harinya lelaki bertubuh tinggi dan berkulit hitam itu sudah terbujur kaku mati. Mulutnya berbusa. Ia ternyata mengakhiri hidupnya dengan sisa racun tikus yang masih ada padanya. "Kami memang kecolongan," kata sumber'polisi di Pasuruan. Polisi di situ mengira, sisa racun itu sudah diserahkan Suer semuanya. Ternyata tidak, sehingga tahanan itu mati. Visum membenarkan, Suer mati karena racun tikus. Akibatnya, kasus itu, ya, berhenti di sini. Perkaranya gugur demi hukum. "Moga-moga saja Suer divonis di pengadilan akhirat," kata Sri Winarsih, yang kini menjadi janda beranak dua. Memang hanya pengadilan akhirat pula yang bisa memastikan apakah Suer benar membunuh Jumaatin atau tidak. W.Y. (Jakarta) dan Budiono Darsono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus