Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kenapa Anak Tinggal kelas

Banyak anak yang tidak bodoh tapi tinggal kelas mereka mengalami gangguan emosi dan hambatan lain. disertasi ny. satiah sayono menawarkan tehnik rogerian dan tehnik remedial. (pdk)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENNY tidak bodoh di kelas II SD. Tapi, anak lelaki berusia 10 tahun itu suka berkelana dari meja ke meja temannya. Tidak jarang pula ia mencuri mencium pipi teman perempuannya. Pantas saja pelajaran tidak masuk di otaknya, dan selalu lebih banyak merah dalam rapornya. Guru kelas rupanya tidak berdaya. Ini tentu saja merisaukan ibunya, juga guru di tempat Benny bersekolah. Kasus anak "bodoh" semacam itu oleh Ny. Satiah Titi Imam Sajono, 59 tahun, dosen di Fak. Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta, dijadikan obyek penelitiannya guna menyusun disertasi doktornya. Dan di IKIP Jakarta, 19 November, Ny. Sajono dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan. Disertasinya berjudul panjang: Kesulitan Belajar Suatu Studi Komparatif Antara Perlakuan dengan Teknik Rogeran dan Teknk Remedial untuk Menanggulangi Kesulitan Belajar yang Dialami oleh siswa-siswa kelas 1 2 dan 3 SD di Wilayah DKI Jakarta 1981. Pertama-tama minat Ny. Sajono memilih topik ini didorong oleh kenyataan bahwa banyak anak tinggal kelas sebenarnya bukan karena bodoh. "Bisa saja . anak itu lantas frustrasi, sering absen, dan kemudian drop out katanya. Maka ia ingin menguji metode yang efektif guna menanggulangi kesulitan belajar anak anak yang tidak bodoh itu. Dengan mengambil sampel 120 siswa dari 8 SD di daerah pinggiran (misalnya SD Cengkareng di Jakarta Barat dan SD Cilincing di Jakarta Utara), ia memulai penelitian Oktober 1980. Satu tahun kemudian ia mulai menulis disertasinya. Ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan belajar, menurut Ny. Sajono yang pernah menjadi Direktur I PPSP IKIP Jakarta, ialah "prestasi belajarnya tidak sesuai dengan kemampuan intelegensinya yang termasuk rata-rata atau malahan di atas rata-rata." Dan biasanya, anak-anak itu "mengalami gangguan dalam berbicara dan membaca, dan mengalami hambatan berkomunikasi dengan orang lain' Pelajaran ekstra biasanya diberikan untuk mereka. Misalnya ini terjadi di SDN Bali Mester 06, Jatinegara, salah satu SD yang dijadikan sampel Ny. Sajono. "Kami memberikan pelajaran tambahan bagi anak-anak yang kesulitan mengikuti pelajaran, satu jam sebelum atau sesudah jam sekolah," tutur Jumadi, Kepala SD di situ. Atau, bila ada inisiatif orang tua, anak itu lantas memasuki les privat. Yang agak lebih dari itu ialah perlakuan teknik remedial. Di Jakarta ada beberapa guru atau ahli psikologi yang membuka pendidikan remedial ini. Misalnya Yayasan Pendidikan Khusus Winasis (TEMPO, 8 Agustus 1981). Teknik ini tidak hanya mengulang pelajaran, tapi juga mencoba membangkitkan motivasi belajar si anak, mencoba menghilangkan rasa malu bila anak memang pemalu. Dan penyampaian pelajaran tidak langsung lewat buku, tapi mungkin dengan alat permainan, misalnya kartu-kartu. Ny. Sajono menawarkan Teknik Rogerian yang ditemukan oleh Carl Rogers, seorang ahli ilmu jiwa dan ahli pendidikan yang lahir di Oak Park, AS, 1902. Teknik Rogerian mencoba mencari sumber kesulitan belajar anak sampai ke akar-akarnya. Dari situ perbaikan bisa diberikan. Teknik ini, tutur Ny. Sajono, bertujuan "memberi kesempatan anak itu berkembang sendiri, dengan jalan menghapuskan halangan yang dialaminya." Dengan kata lain, teknik Rogerianlebih menekankan agar si anak percaya kepada diri sendiri untuk berbuat dan berpikir. Dari 120 sampel--yang terdiri dari 5 anak di tiap kelas I, II dan III di 8 SD - 60 anak mendapat teknik remedial, 60 lagi mendapat teknik Rogerian. Selama setahun, penelitian yang dimulai Oktober 1980 itu, ternyata ada perbaik-an atas diri mereka. Mereka yang mendapatkan teknik Rogerian punya kenaikan prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding mereka yang mendapatkan tenik remedial. Ini terbaca dalam rapor masing-masing. Tapi disertasi ini masih mempunyai lubang kelemahan, menurut Ny. Sajono sendiri. Dengan penelitian yang bersifat eksperimental dan waktu yang terbatas, katanya, pengukuran hasil pembentukan rasa percaya pada diri sendiri sulit dilaksanakan. Perubahan itu hanya diamati lewat sikap dan tingkah laku dan pernyataan para siswa--tidak diukur dengan instrumen. Tapi, ia mencantumkan contoh perkembangan dari tiga respondennya. Salah satu contoh itu ialah siswa kelas III SD, usia 8 tahun. Anak ini telah tak beribu, ayahnya sering ke luar kota. Dia anak keempat dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Oleh nenek dan pamannya dan oleh semua saudara perempuannya ia sering dikambinghitamkan. Segala hal yang dikerjakannya selalu dicela. Di kelas ia pendiam, belum bisa membaca meski mengenal semua huruf. Diagnosa yang diperoleh, emosinya tertekan--karena itu belum bisa berprestasi secara optimal. Dalam 10 kali perlakuan perbaikan dengan teknik Rogerian, tampak perubahannya yang menyolok. Dalam pertemuan ke dan ke-5 samar-samar diketahui sumber kesulitan anak ini. Sambil bermain dengan balok-balok, ia berkata kepada Ny. Sajono yang menungguinya "Kalau ada ayah, senang, makannya enak. Kalau nggak ada ayah, sepi. Paman pergi terus. Nenek masaknya tidak enak. Katanya, tak ada uang." Daiam pertemuan e-6 diketahui anak ini bercita-cita menjadi polisi. Maka Ny. Sajono menggambar tanda-tanda lalu lintas di papan tulis. Ternyata terangsang perhatian si anak. Ia ikut membaca tulisan di bawah gambar itu. la minta tanda-tanda itu digambarkan lebih banyak lagi. Dalam pertemuan ke7 bahkan ia membawa sendiri gambar rambu-rambu lalu-lintas dari rumah. Ny. Sajono kemudian menuliskan juga merk mobil hon-da, vol-vo, su-zu-ki dan sebagainya. Terbukalah minat belajar anak itu. Pada pertemuan ke-9 suasana tempatnya diubah. Maka di ruang guru SD itu semua alat permainan dikesampingkan, buku-buku bergambar diletakkan di meja. Begitu memasuki ruangan itu, anak tersebut mula-mula heran. "Kok lain," katanya. Tapi kemudian ia tertarik pada buku-buku bergambar. "Mari, kita bersama-sama membaca," kata Ny. Sajono. Dan lama-kelamaan anak itu asyik membaca sendiri. Di hari pertemuan terakhir, hari ke-10, berkata Ny. Sajono kepadanya: "Kamu sekarang pandai. Mudah-mudahan nanti menjadi polisi yang baik, dan tentu sekarang kamu harus belajar dengan baik." Anak itu merasa bahwa ada orang yang "mau mengerti dan siap membantunya." Dan bila pada catur wulan I angka Bahasa dan Matematikanya hanya 5, pada rapot berikutnya ia mendapat angka untuk-pelajaran itu 7 dan 6. Ia nauk kelas. Adapun Benny, anaic yang diceritakan pada awal tuiisan ini, hanya perlu dipindahkan. Ternyata setelah ia pindah dari sekolah tempat ibunya mengajar, pelajarannya membaik, kesenangannya mengganggu teman-temannya pun berkurang. Memang, tidak semua anak naik kelas. "Dari 15 anak yang diteliti Ibu Sajono, masih ada yang tinggal kelas," kata Jumadi, Kepala SDN Bali Mester 06 itu. Tapi, itu pun karena responden ternyata mengalami kesulitan ganda. Selain mengalami gangguan emosional atau sejenisnya, kata umadi lagi, mem?ng mereka belum kuasai benar pelajaran awal. Lain lagi komentar Ny. Tien Sukartini, kepala SDN 05 Guntur, sewaktu Ny. Sajono mengadakan penelitian. Dia tidak hanya melihat hasilnya dari nilai rapor. "Anak-anak yang dulu tidak suka membaca dan malu bicara, setelah diasuh Ibu Sajono menjadi keranjingan membaca dan berani berbicara di dalam kelas," katanya. Masalahnya kini, bila teknik Rogerian hendak diterapkan. Ny. Sajono sendiri menyarankan agar teknik Rogerian terlebih dulu diberikan dalam penataran guru SD. Sebab dari 8 SD yang dijadikan sampel ternyata persentase siswa yang tinggal kelas cukup mengkhawatirkan. Bahkan ada yang mencapai 20-25%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus