Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Daerah Metro Jaya telah menaikkan status kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan eks Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno. Dengan menaikkan kasus ini dari tahap penyelidikan ke penyidikan, polisi menemukan adanya dugaan tindak pidana dalam kasus yang dilaporkan oleh korban itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengumumkan peningkatan kasus ini ke tahap penyidikan pada 14 Juni lalu, setelah mengantongi hasil pemeriksaan visum et repertum psikiatrikum di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, serta Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) DKI Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perihal perkembangan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan rektor di sebuah universitas swasta, perkaranya sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan," kata Ade di Polda Metro Jaya, Jumat, 14 Juni lalu. "Antara lain ada hasil visum et repertum psikiatrikum korban yang didampingi oleh P3A. Kemudian penyidik melanjutkan prosesnya dengan pemeriksaan saksi-saksi dalam tahap penyidikan."
Bila ditilik sejak kasus kekerasan seksual itu dilaporkan pada Januari lalu, berarti kepolisian perlu waktu lebih-kurang lima bulan untuk bisa menemukan unsur pidana pelecehan seksual terhadap dua pegawai yang juga alumni Universitas Pancasila.
Meski kasus ini naik ke tahap penyidikan, Polda Metro Jaya belum juga menetapkan Edie sebagai tersangka. Padahal, dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), keterangan korban dan satu alat bukti lain sudah bisa dijadikan landasan hakim menyatakan terdakwa bersalah.
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Theresia Iswarini, mengatakan kepolisian semestinya dengan mudah menjerat Edie sebagai tersangka. Sebab, beberapa bukti telah tersedia dan saksi-saksi sudah siap.
"Penting bagi polisi mempertimbangkan kondisi korban dan mempercepat proses penyidikan," ujarnya saat dimintai konfirmasi, Ahad, 23 Juni 2024.
Lambatnya kepolisian menangani kasus kekerasan seksual yang menyeret eks Rektor Universitas Pancasila ini meski UU TPKS sudah terbit, kata Theresia, ditengarai karena landasan hukum kepolisian selalu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Diakui memang jaksa dan polisi masih sangat berpijak pada KUHAP, sehingga polisi terkadang punya kekhawatiran bukti yang tersedia dianggap tidak cukup oleh jaksa," ucap Theresia.
Dalam beberapa temuan Komnas Perempuan, berkas perkara soal pelecehan seksual ini tak jarang dipingpong antara kepolisian dan kejaksaan. Hal ini semestinya tidak terjadi apabila aparat penegak hukum mulai berpegang pada UU TPKS.
"Jadi inilah yang harus betul-betul didorong, baik ke kepolisian maupun kejaksaan, untuk memastikan pembuktian dapat mengikuti UU TPKS," kata Theresia.
Menurut Theresia, penting bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, bekerja cepat dalam proses penanganan perkara kekerasan seksual. Sebab, hal itu menyangkut kekhawatiran dan kondisi psikologis korban terhadap tersangka.
"Mempercepat proses penyidikan juga memberikan ruang pemulihan yang lebih kuat bagi para korban," ujarnya.
Senada dengan Theresia, komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan, dalam penanganan kasus kekerasan seksual, ada yang mesti dipertimbangkan oleh polisi, yakni korban.
"Perempuan termasuk kelompok rentan. Gerak cepat penyidik diharapkan juga untuk mencegah kemungkinan pelaku melarikan diri atau melakukan kejahatannya lagi, termasuk melakukan tindakan intimidasi terhadap korban," ucapnya.
Poengky mengatakan kepolisian semestinya memiliki prioritas dalam menangani perkara kekerasan seksual. Selain pertimbangan kondisi korban, percepatan penyidikan turut membantu korban. "Seharusnya ada prioritas bagi penyidik untuk lebih mengedepankan penanganan kasus dengan korban perempuan dan anak," katanya.
Poengky pun mendorong Polri segera mengaktifkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (PPA dan PPO) yang diisi polisi wanita. Hal itu pun telah disetujui Presiden Joko Widodo dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2024 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri pada 12 Februari lalu.
Setelah Direktorat PPA dan PPO dibentuk, Polri perlu meningkatkan kapasitas polwan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta tindak pidana perdagangan orang. "Supaya di seluruh wilayah Indonesia para polwan dapat menangani secara profesional," ujar Poengky.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari, menyatakan, dalam beberapa kasus, kepolisian memang tak jarang membebankan korban untuk mengumpulkan bukti guna memperkuat unsur pidana. Padahal itu bagian dari kerja penyidik. "Ini soal kompetensi karena enggak semua penyidik sarjana hukum," ucap Iftitah.
Kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat, mengatakan kliennya sampai hari ini masih cemas dan trauma, apalagi proses yang berlarut-larut ini sangat mengganggu psikis kedua korban. "Seharusnya pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Yansen menuturkan Polda Metro Jaya telah mengantongi bukti hasil visum dari RS Polri dan P3A, juga keterangan saksi. "Dua alat bukti dalam hal ini telah memenuhi unsur Pasal 184 ayat 1 KUHAP untuk penetapan tersangka, jadi formilnya sudah jelas," ujarnya.
Gedung Rektorat Universitas Pancasila di Jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta, 26 Februari 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Dalam kasus ini, Edie Toet Hendratno dilaporkan atas dugaan pelecehan seksual saat ia menjabat Rektor Universitas Pancasila. Laporan pertama dilayangkan korban RZ ke Polda Metro Jaya pada 12 Januari lalu dengan nomor laporan LP/B/193/I/2024/SPKT/Polda Metro Jaya. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa insiden pelecehan seksual berlangsung pada awal Februari 2023, saat terlapor memanggil korban ke ruangan untuk urusan pekerjaan.
Kemudian laporan kedua dilayangkan ke Badan Reserse Kriminal Polri pada 29 Januari lalu dengan korban DF. Laporan dengan nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri itu belakangan dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.
Yansen menduga Edie Toet tak juga ditetapkan sebagai tersangka karena ada intervensi petinggi Polri dan Tentara Nasional Indonesia. Dugaan intervensi itu muncul saat Edie mengajak pihak korban melakukan mediasi di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan. Saat itu, kata Yansen, Edie mengaku mengenal sejumlah petinggi Polri dan TNI. "Jadi hal itu yang membuat kami menduga apakah itu memang ada kaitannya dengan proses yang lambat ini," ucapnya.
Namun dugaan itu ditepis kuasa hukum Edie, Faisal Hafied. "Intervensi dari pejabat tinggi, ya, sudah tidak mungkinlah. Kan Polri presisi sekarang. Sudah lebih profesional dan lebih baik dari sebelumnya," katanya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 20 Juni lalu.
Faisal mengapresiasi Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Dirreskrimum Polda Metro Jaya. Dia menyebutkan Polri profesional dalam menangani kasus dugaan pelecehan seksual oleh eks Rektor Universitas Pancasila ini.
Dia juga meminta pihak korban tidak mendesak Polri dalam pengusutan kasus ini. "Janganlah didesak-desak yang justru nanti bisa mengakibatkan hasilnya menjadi bias dan tidak obyektif," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yohanes Maharso berkontribusi dalam penulisan artikel ini.