Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selain dijatuhi hukuman penjara dan denda, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kerap dibarengi mencabut hak politik tersangka korupsi. Misalnya, pencabutan hak politik mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman sehingga tidak bisa dipilih selama tiga tahun.
Selain itu, ada juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Djoko Susilo, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Lutfi Hasan Ishaaq, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewi Yasin Limpo. Termasuk Setya Novanto, eks Mensos Juliari Batubara, mantan Menteri KKP Adhy Prabowo, Nurdin Abdullah dan Anas Urbaningrum terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang.
Pencabutan Hak Politik
Hak politik merupakan hak setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara. Serta sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Umumnya, hak politik dikaitkan pada pemilihan umum, baik sebagai yang dipilih maupun yang memilih untuk turut serta dalam pemerintahan.
Dikutip dari eprints.umm.ac.id, hak politik diatur dalam resolusi 2200A (XXI) MU PBB pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sementara itu, Indonesia sendiri telah meratifikasinya melalui undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Hak politik juga disebutkan dalam pasal 23 undang-undang nomor 39 tahun 1999 sebagai bagian dari hak atas kebebasan pribadi.
Terlepas dari pengertian, hak politik dapat dicabut apabila pejabat publik melakukan tindak pidana korupsi. Aturan ini merupakan bentuk hukuman karena yang bersangkutan tidak amanah dalam memegang jabatan publik dan agar tidak bisa lagi menyalahgunakan wewenangnya.
Pencabutan hak politik dimuat dalam putusan hakim sebagai pidana tambahan. Pencabutan ini berkaitan erat dengan hak asasi manusia atau dikenal non derogable serta derogable. Dimana sifat derogable right bisa dicabut atau diperpanjang apabila terjadi hal genting yang menuntut hak tersebut dicabut.
Berpindah ke KUHP, pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 KUHP. Adapun hak yang dapat dicabut berupa hak memegang jabatan tertentu, hak memasuki Angkatan Bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan pemilu, dan hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, dikutip dari lintar.untar.ac.id.
Selain tercantum di dalam KUHP, pencabutan hak politik juga tertera dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia.
Sementara itu, merujuk pada Pasal 25 Kovenan tentang Hak Sipil, pencabutan hak politik hanya terkait dengan jabatan politik yang diperoleh melalui pemilihan umum, seperti jabatan sebagai anggota parlemen, bupati, gubernur, dan presiden. kendati demikian, pencabutan hak politik tidak dapat dilakukan secara permanen. Hal ini tertera dalam Komentar Umum Nomor 24 yang dirumuskan Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa pembatasan hak politik harus jelas dan transparan.
Disamping itu, pencabutan hak politik terhadap koruptor merupakan tindakan yang memberikan efek jera dalam pemberantasan korupsi di tengah rendahnya vonis kasus korupsi. Namun, diperlukan instrumen hukum tambahan agar mekanisme pencabutan hak politik terhadap koruptor tetap selaras dengan hak asasi manusia dan menjadi gerakan hukum progresif dalam pemberantasan korupsi.
Pilihan Editor: Pencabutan Hak Politik Koruptor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini