Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto memberi penjelasan perihal pernyataannya yang meminta kesediaan calon hakim Mahkamah Konstitusi atau MK Firdaus Dewilmar untuk hadir di Komisi III terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan jika nantinya terpilih. Ia menyatakan tak bermaksud menganggu independensi Hakim Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kemarin dalam salah satu pertanyaan saya yang kemudian dikritisi itu adalah yang menanyakan apakah dikau nanti bersedia kalau terpilih menjadi Hakim MK ketika akan dilakukan judicial review, ada konsultasi dulu sama kami," ujar Bambang saat ditemui usai Uji Kelayakan Hakim MK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 26 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang menyatakan seorang anggota hakim dari DPR tidak ada jeleknya berkonsultasi dengan Komisi III dulu jika ada undang-undang yang akan dilakhkan judicial review.
"Karena sesungguhnya di sana dinamikanya berbeda, di sini berbeda. (Permintaan) itu semata-mata agar beliau lebih paham di dalam mempertahankan undang-undang," ujar Bambang.
Bambang menyatakan konsultasi itu bukan berarti menganggu independensi Hakim MK. "Independensi tetap di dia, tapi dia supaya mempunyai wawasan lebih luas," ujar Bambang.
Bambang Wuryanto yang akrab disapa Bambang Pacul menanyakan kesediaan calon hakim Mahkamah Konstitusi atau MK Firdaus Dewilmar untuk hadir di Komisi III terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan dalam uji kelayakan hakim MK Senin 25 September 2023.
"Sekarang saya pengen tanya kepada Pak Doktor. Apakah nanti sebelum nengambil keputusan dari MK atas pengujian sebuah UU terhadap UUD 1945, Pak Doktor musti bersedia hadir dulu di Komisi 3 untuk membicarakan sebelum rapat diambil keputusan?" ujar Bambang dalam uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test Calon Hakim MK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 25 September 2023.
Selanjutnya: pernyataan Bambang menuai kritik
Dosen hukum tata negara UGM Herlambang P. Wiratraman menyatakan permintaan Komisi III DPR agar hakim MK berkonsultasi dengan mereka sebelum memutus perkara melanggar kode etik. Dia menyebut hal ini sebagai bentuk kartelisasi politik.
"Saya kira itu justru melanggar kode etik, mengancam independensi kelembagaan, dan justru mengkonfirmasi bahwa kekuasaan kehakiman itu pada akhirnya hanya bagian dari apa yang sudah dikritisi oleh banyak ilmuwan sebagai kartelisasi," ujar Herlambang melalui sambungan telepon kepada Tempo, Selasa, 26 September 2023.
Herlambang menjelaskan kartelisasi merujuk kepada sistem politik hari ini yang dipenuhi dengan urusan transaksional. Bahkan, dia menyebut MK sebagai Mahkamah Kartel.
"Itu dimulai dari pendirian partai politik, kemudian masuk ke kontestasi pemilu, dan pada akhirnya mereka yang mendapati representasi formal ketatanegaraan itu juga melahirkan politik kartelisasi di dalam kebijakan-kebijakan termasuk perundang-undangan," ujar dia.
Produk perundang-undangan, menurut Herlambang, merupakan refleksi dari proses kartelisasi. "Ini yang saya sebut embedded oligarchy politics. Jadi politik oligarki yang melekat dalam sistem tatanegara itu melahirkan kartelisasi itu," ujar dia.
Kartelisasi, lanjut Herlambang, akan berdampak signifikan dalam bentuk semakin melemahnya demokrasi. Sebab, kata dia, demokrasi bergeser menjadi otokrasi.
Selanjutnya, Herlambang menilai kartelisasi berkonsekuensi hilangnya hak-hak warga negara terlibat di dalam proses kenegaraan. Hal itu, kata dia, bisa dilihat dari betapa eksesifnya politik kekuasaan membungkam masyarakat sipil atau melegalkan peraturan perundangan-undangan yang mendapatkan protes keras dari publik.
"Itu kan kelihatan banget," kata dia.
Herlambang menambahkan bahwa kartelisasi, pada gilirannya, membuat elite politik terjebak dalam kendali kekuasaan. "Kalau melemah demokrasinya, jadi semakin memperlihatkan karakter otoritarianisme model baru dengan memanfaatkan lembaga ketata negaraan," kata dia.
HAN REVANDA PUTRA