LISTRIK masih sering byarpet. Sementara itu, pencuri-pencuri listrik berdasi boleh merasa lega. Ada kecenderungan, sengatan setrum listrik dayanya menurun di pengadilan. Di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, misalnya, kini sedang disidangkan lima terdakwa pencuri listrik. Oleh jaksa, mereka hanya dituntut hukuman percobaan. Padahal, sebelumnya, pencuri listrik bisa dijerat dengan tuduhan korupsi, bahkan subversi. Kelima terdakwa di Jakarta Barat itu adalah pengusaha pabrik plastik. Mereka adalah Onang, Theo, Budi, Tjandra, dan Cahyono. Tjandra dan Cahyono hanya dituntut hukuman sepuluh bulan dengan masa percobaan dua tahun. Tiga terdakwa lainnya dituntut setahun dengan masa percobaan dua tahun. Kerugian yang ditimbulkan terdakwa masing-masing antara Rp 20 juta dan Rp 65 juta. Menurut jaksa, pencurian itu dibantu oleh orang yang sama, yakni Awi dan Mustamu (pensiunan PLN) keduanya pernah dijatuhi hukuman denda masing-masing Rp 5 juta oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena membantu PT Karya Tulada melakukan pencurian listrik. Caranya, setiap pertengahan bulan, sebelum petugas PLN datang mengecek meteran, mereka memundurkan angka ''kWh'' de- ngan cara memutus kawat segel. Setelah tutup kWh meter dibuka, angka kWh dimundurkan dengan menggunakan tusuk gigi sampai pada angka yang diminta pemesan. Setelah selesai, tutup kWh disegel dengan segel palsu. Supaya pekerjaan rapi, segel palsu itu ditaburi debu agar terlihat seperti segel lama. Kenapa tuntutan jaksa sekarang ringan-ringan? ''Kalau kerugiannya hanya Rp 60 juta, dan mereka sudah membayar tagihan PLN, apa kita tega menghukum berat?'' kata Hasoloan, salah seorang jaksa penuntut. Lagi pula, para terdakwa, menurut jak- sa, menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulanginya. ''Pembayaran mereka menjadi faktor yang meringankan tuntutan,'' ujarnya. Namun, alasan itu tak bisa diterima oleh kalangan praktisi hukum dan anggota DPR. Seorang anggota Dewan, Budi Hardjono, yang sejak tahun lalu gencar mengecam pencurian listrik oleh kalangan pengusaha, menilai tuntutan ringan itu bertentangan dengan komitmen awal kejaksaan, yang pada 1991 menyatakan perang terhadap pencurian listrik. PLN memang pernah dipusingkan oleh pencurian listrik yang dilakukan para pengusaha. Data 1991 menyebutkan, setiap bulan PLN dirugikan sekitar Rp 10 miliar akibat pencurian setrum. Untuk menyelamatkan uang negara ini, akhirnya kejaksaan turun tangan. Seusai menghadap Presiden, Oktober 1991, Jaksa Agung Singgih mengumumkan akan menjerat pencuri listrik dengan pasal korupsi dan subversi. ''Diancam dengan tuntutan pencurian biasa sudah tidak mempan, jadi ada gejala meremehkan wibawa Pemerintah,'' kata Singgih. Untuk mewujudkan tekadnya, saat itu kejaksaan membentuk Tim Opsin (Operasi Intelijen). Tim ini bekerja sama dengan Tim Opal(Operasi Aliran Listrik) milik PLN. Dalam tempo singkat, tim itu berhasil menangkap 11 perusahaan besar di antaranya PT Sandratex, yang sempat diributkan gara-gara kejaksaan mendeponir kasusnya. Tekad Singgih menjerat dengan UU Anti-Korupsi akhirnya memang terbukti. Korban pertama yang terkena UU Anti-Korupsi adalah Anton Rustandi dan Iwan Tanjaya, direktur utama dan manajer umum PT Karya Tulada, Tangerang. Oleh Pengadilan Negeri Tangerang, mereka dijatuhi hukuman masing-masing 3 tahun dan 1 tahun. Selain itu, Anton juga di dihukum denda Rp 10 juta dan diwajibkan membayar ganti rugi Rp 896 juta kepada negara. Putusan berat itu kemudian disambut gembira banyak kalangan. Sayangnya, setelah itu, ''sengatan'' kejaksaan tampak menurun. Dan terakhir terlihat pada kasus yang ditangani Kejaksaan Jakarta Barat itu, yang hanya menuntut pidana percobaan. Karena itulah, banyak praktisi hukum dan anggota DPR kembali berteriak. ''Kalau maling-maling kecil di pinggir jalan divonis dengan hukuman berat, kenapa kejahatan berdasi yang merugikan negara demikian besar hanya dituntut percobaan?'' kata Budi Hardjono kepada Kukuh Karsadi dari TEMPO. Budi, yang pekan ini mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PDI, juga tak sependapat dengan alasan jaksa yang menyebut ringannya tuntutan karena pelaku sudah membayar tagihan susulan PLN. ''Membayar itu tak menghapus tindak pidana yang telah dilakukan.'' Sebab, kalau sekadar membayar, kata Budi, orang berduit akan berpikir, ''Ah, saya mencuri saja. Kalau ketahuan, ya, bayar, selesai.'' Seorang pengacara senior menyambung, ''Pencuri listrik harus dijatuhi hukuman maksimal supaya jera.'' Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, A. Soetomo, membantah keras jika pihaknya disebut mulai kendur semangatnya dalam menangani pencurian listrik yang dilakukan pengusaha. Operasi, katanya, tetap jalan. Tentang tuntutan ringan yang dilaku-kan aparatnya? ''Kami menuntut ringan karena mereka sudah membayar. Soal hukuman, terserah hakim yang memutuskan.'' Hakim belum menjatuhkan vonis untuk kelima terdakwa di Jakarta Barat ini. Putusan yang dijadwalkan dibacakan hakim Sabtu pekan lalu batal karena Pak Hakim sedang mengikuti acara pertandingan bola voli memperebutkan Piala Ketua Pengadilan Tinggi. Padahal, setelah kasus lima terdakwa ini usai, masih menunggu: 39 tersangka pencuri listrik semuanya pengusaha. Aries Margono dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini