Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Perbedaan Gratifikasi dan Suap Menurut Wamenkumham

Perbedaan antara gratifikasi dan suap terletak pada adanya kesepakatan (meeting of minds).

8 Januari 2022 | 18.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharief Hiariej atau Eddy Hiariej, mengatakan, di dalam undang-undang (UU), setiap gratifikasi dianggap suap. Namun, ada perbedaan mendasar dari istilah yang sering diidentikkan dengan rasuah tersebut. Eddy menjelaskan, saat pembentukan UU, gratifikasi dan suap harus dipisahkan karena ada perbedaan prinsip antara keduanya. Lalu, apa perbedaan gratifikasi dan suap?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir dari kemenkumham.go.id, Eddy mengatakan perbedaan antara gratifikasi dan suap terletak pada adanya kesepakatan (meeting of minds). Pada kasus suap, ada kesepakatan antara penyuap dan yang disuap. Misalnya seseorang menjanjikan imbalan uang kepada koleganya apabila berhasil menaikkan jabatan dan sebagainya dan disepakati oleh kolega tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara gratifikasi tidak ada kesepakatan. Imbalan diberikan tanpa ada kesepakatan sebelumnya. Misalnya, dalam suatu kewenangan seseorang mengangkat bawahannya dalam suatu jabatan. Setelah orang itu diangkat dan kemudian dia datang memberikan sesuatu, ini disebut gratifikasi. “Karena tidak ada meeting of minds,” kata dia di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM, Senin, 4 Oktober 2021.

Menurut Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Yogyakarta ini, gratifikasi dan suap erat kaitannya dengan antikorupsi, di mana integritas, akuntabilitas, dan transparansi menjadi sandarannya. Sebab, kata dia, secanggih apa pun pengawasan yang dilakukan, tetapi jika integritas tidak mendukung, maka korupsi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. “Berbagai modus operandi untuk melakukan praktik korupsi,” kata dia.

Karena itu, kata Eddy, ketika seorang pejabat publik telah menduduki jabatannya, maka yang harus dicegah dan dijaga bukanlah suap, tetapi gratifikasi. Sebab jika seorang pejabat dapat menghindari gratifikasi, maka ia dapat menghindari suap. Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak 2001. Namun, jika penerima gratifikasi melaporkan dalam kurun waktu 30 hari kerja kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) atau Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) paling lambat 30 hari kerja, maka dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus