INILAH kisah anak jalanan yang terbuang di Kotabaru, Kalimantan Selatan, dan Pinrang, Sulawesi Selatan. Ketujuh bocah di bawah usia dua belas tahun ini nekat mencuri dan berleha-leha dengan perempuan. Di Kotabaru, misalnya, empat bocah dengan nama samaran Isran, Faisal, Suli, dan Dahri sudah tak bersekolah lagi. Dan setahun ini mereka mendorong gerobak mengangkut belanjaan ibu rumah tangga di Pasar Kemakmuran. Dengan upah yang pas buat makan saja -- sekitar Rp 500 sampai Rp 2.000 -- bocah-bocah ini mulai melamun. Mereka lalu mengincar dagangan Solihin, berupa mobil-mobilan yang dapat meluncur kencang. Maka mereka menyatroni rumah Solihin yang tak jauh dari pasar itu Selasa dua pekan lalu. Mereka, menurut polisi, menyusup ke kolong rumah Solihin dan mencongkel lantai. Isran dan Suli naik ke atas rumah. Di situ mereka melihat segepok duit bernilai dua juta rupiah. Ini lebih menggoda mereka daripada tumpukan mobil-mobilan. Isran pun mengantongi duit itu. Empat mobil-mobilan dalam bungkusan mereka jatuhkan ke kolong rumah. Tapi barang itu tercecer karena mereka tergesa kabur. Setelah agak jauh Isran memberi Dahri dan Faisal masing-masing Rp 20.000 sebelum mereka berpencar. Isran dan Suli lalu membeli cincin, gelang, dan kalung emas seharga Rp 230 ribu. Kemudian kedua anak ini menuju tempat pelacuran dengan mencarter sebuah speed boat ke Batulicin. Dan untuk menempuh jalan darat tiga kilometer, mereka membeli sebuah sepeda. Di sarang wanita nakal itu mereka bersebadan, seperti diakui Irsan kepada polisi, masing masing kena lima ribu rupiah. Sementara itu Dahri kembali menyuruk kolong rumah Solihin. Malang buat dia, ada bocah lain melihatnya menenteng mobil mobilan itu. Anak ini membisiki perbuatan Dahri kepada Solihin. Pedagang ini kemudian mengadu ke polisi. Hari itu juga empat serangkai tadi ditangkap. Begitu melihat mereka, Kepala Kepolisian Resor Kotabaru, Letnan Kolonel Athif Ali Mochdat, kaget. Soalnya, ini bukan aksi pertama mereka. "Tapi karena kecil-kecilan, dulu mereka tak sampai ditahan," kata Athif. Reputasi Dahri, yang mengaku bos "gang cilik" ini, lumayan juga. Ia tidak cuma gemar mencuri, namun sudah acap juga pergi ke tempat pelacuran -- seperti diakuinya kepada Almin Hatta dari TEMPO. Kelakuan Dahri ini yang menular kepada Isran dan Suli. Bocah-bocah ini, menurut Athif, ternyata berasal dari keluarga miskin. Kecuali Faisal, tiga bocah lainnya sudah setahun terbuang dari orang tuanya. Faisal sering bolos sekolah dari Tsanawiyah (setingkat SMP) karena ayahnya yang petani tak mampu membiayainya. Dahri sudah ditinggal mati ayahnya sejak empat tahun lalu. Anak tunggal ini sudah setahun menggelandang di Pasar Kemakmuran, ia meninggalkan ibunya di luar kota. Isran anak seorang residivis. "Ibu saya pun pergi entah ke mana," katanya. Sedangkan menurut Suli, ayahnya mabur entah ke mana, dan ibunya pulang ke kampungnya di Sulawesi. Kisah senada juga terjadi di Pinrang, 243 km dari Ujungpandang. Tokohnya adalah Usman, 12 tahun (nama samaran), yang cuma sebulan duduk di kelas 1 SD. Ia mengomandokan dua temannya, Aman, 9 tahun, dan Zaki, 10 tahun, menodai Yuni, 7 tahun. Ketiganya bukan nama asli. Seperti kisah kawanan Dahri, Aman dan Zaki kini ditahan polisi, tapi Usman masih buron. Hari itu, Sabtu dua pekan lalu, rumah Aman kosong. Ibunya di pasar menunggui toko, dan ayahnya sedang ke Kendari. Saat inilah Usman mengajak Yuni main pengantin-pengantinan, disaksikan Zaki dan Aman. Usai itu Usman menyuruh kedua temannya melakukan perbuatan serupa terhadap Yuni. Menurut Yuni, ia dipaksa melakukannya setelah tangan dan kakinya diikat. Mulutnya juga disumbat dengan kain dan diancam dengan parang. Kisah ini hampir terbenam jika ibunya tak melihat kelainan pada anaknya itu. Yuni lalu diperiksakan ke RSU Pinrang. Ternyata selaput daranya telah binasa. Maka peristiwa itu pun jadi urusan polisi. Siapakah Usman? Anak buruh bangunan dari istri kedua yang berjualan sayur ini bekerja menyapu lantai bioskop dekat rumah mereka. Tiap malam menonton, meski untuk 17 tahun ke atas. Usman juga mengaku gemar menenggak alkohol bersama anak muda bergajul sambil menonton video porno. Dari dua kejadian di kalangan bocah ini agaknya cukup alasan untuk menyimak kecemasan Dr Yaumil Agus Akhir, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). "Merasuknya televisi dan film asing ke kota-kota kecil sangat berbahaya," katanya. Karena untuk kota besar, semacam Jakarta, boleh jadi telah dianggap biasa. "Tapi, bagi daerah, apalagi kota sepi, film-film tersebut akan tertancap terus di benak anak-anak," katanya kepada TEMPO. Bukan berarti anti-televisi dan film, Yaumil hanya menganjurkan (meskipun agak klise) orang tua menyortir tontonan yang pantas bagi anak-anaknya. Bersihar Lubis, Linda Djalil, Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini